Pertengahan Februari 2014 lalu saya berkesempatan bertemu dengan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ahmad Syafi’i Mufid. Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Rudy Pratikno, wakil ketua FKUB dari utusan Keuskupan Katholik, Pedanda Panji Sogata dari Hindu dan sejumlah pimpinan organisasi Islam.
Kesempatan tersebut merupakan upaya untuk menjelaskan bagaimana Islam memandang kerukunan. “Hakikatnya, Islam tidak memiliki persoalan dengan pluralitas (kemajemukan). Al-Quran menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Bahkan ketika Rasulullah saw. berhasil menegakkan pemerintahan Islam di Madinah, hidup pula di sana non-Muslim dari suku Aus dan Khajraj, Yahudi dan Nasrani dari Najran. Belakangan Yahudi memang diusir dari Madinah karena melanggar perjanjian,” jelas Juru Bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto.
“Begitu pula ketika Khilafah tegak. Khilafah tegak di tengah masyarakat yang majemuk, bahkan mulai dari ujung Barat di Spanyol sampai Ujung Timur di Asia. Jadi, Islam tidak memiliki persoalan dengan pluralitas,” tambahnya.
Bahkan saat Khilafah menguasai Spanyol, para ahli menyebutnya sebagai wilayah dengan the three religion, wilayah tiga agama.
Terkait dengan pendirian rumah ibadah, Ismail mengatakan bahwa persoalannya bukan sekadar pada pendiriannya, melainkan terdapat sejumlah persoalan sosial yang menyertainya. Misalnya, hanya terdapat beberapa orang non-Muslim di tengah-tengah suatu masyarakat Muslim hendak mendirikan gereja. Mereka berupaya mendatangkan peserta (jamaah) dari luar daerah. Fungsi tempat tersebut bukan sekadar untuk peribadatan, melainkan juga untuk pemurtadan. Cara agar mendapatkan ijin mendirikan bangunannya pun ditempuh dengan pemalsuan tanda tangan. Nah, inilah yang memunculkan penolakan dari kaum Muslim. Kalau pemurtadan ini tidak ada, tidak akan muncul persoalan tersebut. Oleh sebab itu, hentikan pemurtadan.
Merespon hal tersebut, Pak Rudy dari PWI menyatakan apresiasinya tentang penjelasan bahwa Islam tidak ada persoalan dengan pluralitas. Dia juga menyatakan bahwa tidak ada yang namanya pemurtadan. Berikutnya, dia bertanya apakah HTI bersedia diajak berdialog untuk dapat membantu menjelaskan kepada masyarakat tentang realitas yang terjadi sehingga pendirian rumah ibadah tidak menimbulkan persoalan.
Namun, kami dari HTI menyatakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa pemurtadan itu ada. “Kami punya segepok data terkait pemurtadan. Bahkan sekarang sedang menangani satu kasus terkait pemurtadan ini,” tegas Jubir HTI.
Oleh karena itu, HTI tidak dapat serta-merta mengiyakan permintaan tersebut. Harus dilihat dulu faktanya seperti apa. Apabila memang realitasnya terjadi pemurtadan, penipuan, pemalsuan tanda tangan dan sebagainya maka HTI akan mengatakan apa adanya. “Kami harus melindungi akidah umat,” ungkap Ketua DPP HTI, Rokhmat S. Labib.
Sementara itu, Pedanda Panji Sogata dari Hindu mengungkapkan terima kasih atas penjelasan bagaimana sikap Islam terhadap berbagai agama yang berbeda. “Ini penjelasan yang menyejukkan. Hakikatnya memang kita ini harus rukun,” ungkapnya.
“Memang, ketika kami berjuang menegakkan syariah dan Khilafah, kami tidak sedang berhadapan dengan agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha atau agama lain. Kami sedang menghadapi penjajahan negara kafir yang sedang mencengkeram dunia. Negara kafir itu sering membajak agama untuk melegalisasi tindakannya. Justru, kapitalisme itu musuh bersama,” tegas Jubir HTI.
“Bahkan kami mengajak bapak-bapak semua untuk mendukung syariah dan khilafah ini,” pungkasnya.
Saya menambahkan, “Bapak-bapak tidak perlu takut dengan HTI. Kami berupaya menegakkan syariah dan khilafah untuk menyelamatkan bukan hanya umat Islam, melainkan juga seluruh umat manusia. Salah satu isi syariah Islam adalah sabda Nabi Muhammad saw.: Man adza dzimmiyan ka annahu adzani (Siapa saja yang menyakiti kafir dzimmi maka seolah-olah ia menyakiti aku). Masalah keyakinan, ibadah, makanan, minuman, tatacara pernikahan, dan masalah pribadi lainnya diserahkan kepada agamanya. Namun, dalam masalah publik harus diatur oleh syariah Islam.”
Rokhmat S. Labib menegaskan, “Pengharaman riba diberlakukan kepada keseluruhan warga baik Muslim ataupun non-Muslim. Kalau ada orang yang membunuh tanpa haq, maka ia dibunuh lagi tanpa membedakan apa agamanya.”
Pedanda Panji Sogata segera menjawab, “Memang dalam agama Hindu riba itu dilarang, zina dilarang, mabuk dilarang dan membunuh pun dilarang.”
Rudy Pratikno, mengajukan pertanyaan. “Kalau suatu ketika khilafah itu berdiri, bagaimana dengan nation state (negara bangsa) ini?” tanyanya serius.
“Islam itu datang untuk seluruh manusia. Nation state itu baru ada sejak Perjanjian Sykes-Picot. Kenyataannya, nasionalisme ini justru menjadikan bangsa-bangsa berkelahi dan terpecah,” jawab penulis buku Tafsir al-Wa’ie, Rokhmat S. Labib.
“Sebelumnya ada peradaban Romawi dan Persia, lalu digantikan oleh peradaban Islam hingga runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1924. Setelah itu, dimunculkanlah konsep negara bangsa (nation state) dengan sosialisme/komunisme dan kapitalisme yang diterapkan. Kerusakan pun terjadi dalam segala bidang. Kini, kita perlu peradaban baru. Kami menawarkan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah sebagai pengganti peradaban kapitalisme itu,” tambah Ismail.
Ahmad Syafi’i Mufid menimpali, “Sekarang ini dunia sedang berupaya menyatu. Salah satu wujudnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak instrumen yang dibuat, di antaranya adalah World Bank dan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, lembaga ini dinilai banyak pihak sebagai kepanjangan tangan Barat sehingga sangat merugikan umat Islam. Nah, dalam kondisi seperti ini, dipandang perlu ada alternatif. Alternatif yang ditawarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itulah Khilafah,” ungkap peneliti senior di Litbang Departemen Agama tersebut.
“Apakah betul pembacaan saya tersebut, Pak Rahmat,” tanya beliau kepada saya.
Saya pun mengatakan, “Ya, benar. Oleh sebab itu, jangan takut kepada ajakan syariah dan khilafah dari HTI. Sebab, perjuangannya menegakkan syariah dan khilafah itu bagi kebaikan semua umat manusia.”
Setelah acara selesai, seorang tokoh Islam yang hadir mengatakan kepada saya, “Bagus. Ini adalah dakwah dan penjelasan yang mencerahkan.”
Para tokoh pun tampak dapat memahami sikap HTI. Memang, yang diperlukan saat ini adaalah penjelasan yang nyata, balâghun mubîn. [Muhammad Rahmat Kurnia]