Al-Qâdhi merupakan isim fa’il (kata benda pelaku) dari kata qadhâ–yaqdhî–qadhâ’an fahuwa qâdhin. Jadi, al-qâdhi secara bahasa adalah orang yang melakukan al-qadhâ’. Menurut Zainuddin Ibn Nujaim dalam Bahr ar-Râ’i’ secara bahasa al-qadhâ’ maknanya antara lain: keputusan, ketetapan, kelonggaran, binasa atau mati, pelaksanaan, penyelesaian, telah melaksanakan, membuat, menetapkan dan mewajibkan.
Sekalipun demikian, secara tradisi akhirnya istilah al-qadhâ’ lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariah pun memutlakkan istilah al-qadhâ’ dalam masalah praktik dan putusan peradilan.
Adapun secara syar’i, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Farhun dalam Tabshirah al-Hukâm, Ibn Rusyd yang dikutip oleh Abu Abdillah dalam Mawâhib al-Jalîl, ‘Alauddin ath-Tharablusi al-Hanafi dalam Mu’în al-Hukâm, al-Bahuti al-Hanbali dalam Kasyâf al-Qinâ’ dan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam Nizhâm al-Hukmi fî al-Islam, al-Qadhâ’ adalah al-ikhbâr bi al-hukm asy-syar’i ‘alâ sabîl al-ilzâm (pemberitahuan tentang suatu hukum syariah yang bersifat mengikat). Abu Abdillah dalam Mawâhib al-Jalîl (vi/86) menjelaskan bahwa yang dimaksud ikhbâr itu bisa disalahpahami sebagai ikhbâr lawan dari insyâ’, yang berkemungkinan benar atau dusta. Bukan itu maksudnya. Akan tetapi, maksudnya merupakan perintah Qadhi tentang suatu hukum syariah yang bersifat mengikat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa al-qadhâ’ itu merupakan penyelesaian persengketaan di antara masyarakat, menghalangi apa yang bisa membahayakan hak jamaah serta menghilangkan perselisihan yang terjadi antara orang (rakyat) dengan seseorang yang ada dalam struktur negara baik dia seorang penguasa atau pegawai, seorang khalifah atau para pejabat dan aparatur di bawahnya.
Dalam banyak ayat dan hadis, Islam mewajibkan untuk memutuskan perkara dengan hukum-hukum syariah, misalnya dalam QS al-Maidah [4]: 48-49, an-Nur [24]: 48 dan lainnya. Kewajiban itu merupakan fardhu kifayah. Ibn Qudamah di dalam Al-Mughni mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat atas pensyariatan al-qadhâ’. Mereka mengatakan bahwa pelaksanaan al-qadhâ’ itu merupakan bagian dari fardhu kifayah. Mereka beralasan bahwa urusan masyarakat tidak akan lurus tanpa al-qadhâ’ sehingga menjadi kewajiban kifâ’i seperti jihad dan imamah (khilafah).
Pada masa Rasul saw., beliau sendiri yang melakukan aktivitas al-qadhâ’. Beliau memutuskan perkara yang terjadi di tengah masyarakat, dalam berbagai perkara; dalam perkara pernikahan, masalah harta, muamalah dan ‘uqubat umumnya. Juga dalam masalah persengketaan yang terjadi di antara anggota masyarakat, seperti perselisihan Zubair dengan seorang Anshar tentang pengairan, perselisihan perwalian antara Sa’ad dan Abdu bin Zam’ah, dsb. Juga dalam masalah hisbah, yaitu pelanggaran terhadap hak jamaah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur gandum basah dengan gandum kering. Juga dalam masalah mazhalim mengenai penetapan harga atau pengaduan atas panjangnya bacaan Muadz bin Jabal yang kala itu menjadi pejabat qadhi di Yaman.
Imam Muhammad Abu Faraj al-Qurthubi menghimpun sebagian dari keputusan-keputusan Rasul saw itu dalam bukunya, Aqdhiyah ar-Rasul, yang memuat sekitar seratus keputusan Rasul saw. dalam berbagai perkara.
Ketika kekuasaan Negara Islam makin luas, Rasul saw. mengangkat beberapa sahabat sebagai qadhi (hakim), baik untuk di Madinah yakni Umar bin al-Khathab, atau yang beliau tempatkan di beberapa daerah di antaranya: Muadz bin Jabal di daerah Janad, Ali bin Abi Thalib di daerah Yaman, ‘Utab bin Usaid di Makkah, Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami di Bahrain dan Abu Musa al-‘Asy’ari di Yaman. Beliau juga mengangkat Ibn Mas’ud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah ibn al-Yaman dan lainnya sebagai qadhi.
Ibn Khaldun menjelaskan pelaksanaan al-qadhâ’ setelah masa Rasul saw. Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah (hlm. 220-221) menjelaskan bahwa al-qadhâ itu termasuk dalam tugas al-khilafah asy-syar’iyah. Sebab, itu merupakan jabatan untuk menyelesaikan perkara di antara masyarakat dalam hal perselisihan menurut hukum-hukum syariah yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Karena itu para khalifah sepanjang masa Islam langsung melakukan sendiri tugas itu atau mendelegasikannya kepada orang lain. Yang pertama mendelegasikannya kepada orang lain adalah Umar bin al-Khathab. Ia mengangkat Abu ad-Darda’ di Madinah, Syuraih di Bashrah, Abu Musa al-Asy’ari di Kufah dan Umar menulis untuk dia surat yang terkenal seputar hukum al-qadhâ’. Para khalifah sesudahnya mendelegasikan al-qadhâ’ kepada orang lain. Padahal itu adalah bagian dari tugas Khilafah dan yang terkait dengannya. Hal itu karena para khalifah melakukan as-siyâsah al-‘âmah (ri’ayatusy syu’un al-ummah) dan banyak melakukan jihad, futuhat, menjaga perbatasan, melindungi keamanan, mengatur berbagai urusan negara lainnya. Karena itu, dalam tugas al-qadhâ’ mereka mengangkat orang lain yang melakukan al-qadha’ sebagai wakil dari para khalifah itu.
Hanya saja, ungkapan Ibn Khaldun bahwa Umar adalah yang pertama mendelegasian al-qadhâ’ kepada orang lain kurang tepat. Sebab, Rasul saw. telah mengangkat sejumlah sahabat sebagai qadhi dan itu juga berlanjut pada masa Khalifah Abu Bakar.
Orang yang melakukan aktivitas al-qadhâ‘ itu adalah al-qâdhi. Di sinilah Ibn Taimiyah dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyyah mengatakan bahwa, “Al-Qâdhi adalah sebutan untuk setiap orang yang memutuskan perkara di antara dua orang dan menghukumi di antara keduanya; baik dia adalah khalifah, sultan atau wakilnya, atau wali; ataupun orang yang secara khusus diangkat untuk memutuskan perkara menurut syariah atau wakilnya, sampai orang yang menghukumi di antara dua anak-anak dalam hal tulisan jika keduanya meminta keputusan. Begitulah yang disebutkan oleh para sahabat Rasul saw. dan itu yang zhahir.”
Karena itu Al-Kasani dalam Badâ‘i’ ash-Shanâ‘i’ (VII/3) menyimpulkan, mengangkat al-qâdhi merupakan perkara yang wajib. Sebab, ia menegakkan kewajiban syar’i yaitu al-qadhâ’ yang merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas Khilafah. Akan tetapi, Khalifah tidak mungkin melakukan kewajiban ini akibat kesibukan menjalankan urusan-urusan penting lainnya sehingga ia memerlukan wakil yang menggantikan dirinya menunaikan kewajiban itu, dan wakil itu adalah al-qâdhi.
Jabatan al-qâdhi terus ada sejak masa Rasul saw. dan berkembang menjadi struktur negara yang tetap. Sebutan al-qadhâ’ digunakan untuk menyebut lembaga atau struktur negara yang terdiri dari para qadhi itu.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam perkara hisbah yang di antaranya mengawasi transaksi di pasar agar sesuai syariah, Khalifah Umar ra. pernah mengangkat qadhi yaitu ash-Shifa’, dan jabatannya disebut wilâyah as-sûq. Baru pada masa Khalifah al-Mahdi diangkat qadhi khusus untuk menangani hisbah yang disebut qâdhi al-hisbah, yang jabatannya disebut wilâyah al-hisbah atau wilâyah al-muhtasib dan akhirnya di sebut al-muhtasib saja, dan sejak saat itu terus terpelihara sebagai bagian al-qadhâ’. Keberadaan al-muhtasib ini bersandar pada as-Sunnah berupa perbuatan Rasul saw. tersebut.
Dalam perkara mazhalim, Imam al-Mawardi menjelaskan dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah bahwa Rasul saw. menangani langsung perkara mazhalim seperti dalam kasus penetapan harga. Khulafaur-Rasyidin juga menangani langsung perkara mazhalim. Baru Khalifah Abdul Malik bin Marwan menyediakan waktu khusus untuk meneliti masalah mazhalim, tanpa langsung memutuskan. Jika ada masalah atau perlu keputusan hukum, ia ajukan kepada Qadhi-nya yaitu Abu Idris al-Azadi (al-Awadi) yang akan memutuskan dalam perkara mazhalim yang diajukan kepada dirinya oleh Khalifah Abdul Malik itu. Abu Idris adalah Qadhi Mazhalim saat itu. Baru pada masa Kekhilafahan Abassiyah diangkat qadhi khusus untuk menangani perkara mazhalim ini. Jabatan ini terus ada dan disebut wilâyah al-mazhâlim dan qadhi-nya disebut qâdhi al-mazhâlim.
Pada akhirnya, untuk perkara hisbah yaitu pelanggaran terhadap hak jamaah dan untuk perkara mazhâlim, yaitu perselisihan rakyat dengan negara, penguasa dan aparatur negara, dipisahkan dari cakupan tugas al-qadha’ yang biasa. Dr. Abdurrahman dalam al-Qadhâ’ wa Nizhâmuhu fî al-Kitâb wa as- Sunnah menyatakan, “Meski sudah dikurangi perkara hisbah dan mazhâlim, wilayah al-qadhâ’ yang biasa itu tetap merupakan daerah yang paling luas dalam medan al-qadhâ’. Sebab, itu merupakan asas dalam perselisihan hukum dan penyelesaian persengketaan. Hukum-hukum (vonis)-nya mengikat dan wajib diimplementasikan karena merupakan bagian dari al-Imâmah al-Kubra (Khilafah) dan keluar dari wilâyah (kekuasaan) ‘âmah. Karena pentingnya jenis ini maka penyebutan hakim di situ dominan dengan sebutan al-qâdhi, berbeda dengan jenis-jenis al-qadhâ’ lainnya. Dalam perkara at-tahkîm disebut al-muhakkim, dalam perkara hisbah disebut al-muhtasib dan dalam perkara mazhâlim disebut an-nâzhir (qâdhiy al-mazhâlim).”
Akhirnya, sebutan al-qâdhi khusus untuk yang menangani al-qadhâ’ selain perkara hisbah dan mazhâlim. Dengan demikian, al-qâdhi adalah orang yang diangkat oleh Khalifah untuk memutuskan perkara dalam masalah persengketaan di antara masyarakat dalam masalah muamalah dan ‘uqubat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurahman]