HTI

Tafsir (Al Waie)

Allah SWT. Melaknat Mereka yang Menyakiti Kaum Mukmin

(Tafsir QS al-Buruj [85]: 8-10)

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ * الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ * إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ

Mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,  Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar (QS al-Buruj [85]: 8-10).

 

Tafsir

Allah SWT berfirman: Wamâ naqamû minhum illâ an yu‘minû bil-Lâh al-‘Azîz al-Hamîd  (Mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji). Ayat ini masih menerangkan tentang kisah dua kaum yang diberitakan dalam ayat sebelumnya. Dhamîr wâwu al-jamâ’ah (kata ganti orang ketiga jamak) pada kata naqamû menunjuk kepada ash-hâb al-ukhdûd  (para penggali parit) yang melakukan penyiksaan terhadap kaum Mukmin. Adapun dhamîr hum (kata ganti orang ketiga jamak) pada kata minhum menunjuk kepada al-mu‘minîn (kaum Mukmin) yang disiksa oleh para penggali itu.

Diberitakan dalam ayat ini, satu-satunya alasan yang membuat mereka bertindak kejam dan biadab itu adalah karena keimanan orang-orang Mukmin itu kepada Allah SWT. Tidak ada alasan lain selain itu. Kesimpulan ini dengan jelas dapat dari ayat ini. Dalam bagian pertama ayat ini disebutkan kata yang menegasikan, yakni: Wamâ naqamû minhum. Huruf di sini merupakan an-nafiy (peniadaan). Tidak ada alasan yang membuat mereka menghukum kaum Mukmin. Kemudian disusul dengan kata yang mengecualikannya, yakni: illâ an yu‘minû bil-Lâh. Huruf illâ merupakan al-istitsnâ‘ (pengecualian). Keseluruhan kalimat memberikan makna bahwa satu-satunya sebab yang mendorong mereka menyiksa kaum Mukmin adalah keimanan mereka terhadap Allah SWT. Susunan kalimat yang terdiri dari nafi (peniadaan) dan diiringi dengan istitsnâ (pengecualian) merupakan susunan al-qasyr (pembatasan) yang paling kuat.

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari mengatakan, “Tidaklah kaum kafir yang menyiksa kaum Mukmin dengan api itu mendapati sesuatu; juga tidak ada sebab yang membuat mereka melakukannya kecuali karena kaum Mukmin itu beriman kepada Allah SWT.”1

Ibnu Juzyi al-Kalbi juga menuturkan, “Tidak ada yang diingkari oleh kaum kafir terhadap kaum Mukmin kecuali mereka beriman kepada Allah, dan semestinya hal itu tidak diingkari.”2

Dikemukakan juga oleh al-Zajjaj, “Tidak ada satu pun dosa yang mereka cela kecuali keimanan mereka (kaum Mukmin).”3

Ibu Katsir berkata, “Penyiksaan itu mereka lakukan hanya karena orang-orang Mukmin tersebut tetap beriman kepada Allah.”4

Inilah satu-satunya ‘kesalahan’ mereka menurut kaum kafir itu sehingga mereka tega berbuat kejam. Realitas seperti juga diberitakan dalam firman Allah SWT:

هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللهِ

Apakah kalian memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah (QS al-Maidah [5]: 59).

Menarik dicermati adalah penggunaan bentuk al-mudhari’ (yakni kata: tu‘minû, yang menunjukkan waktu sekarang atau akan datang). Dalam ayat ini tidak digunakan amanû (bentuk al-madhi, waktu lampau) Padahal kisah itu telah terjadi di masa lalu. Menurut Fakhruddin ar-Razi dan Ibnu Juzyi al-Kalbi, karena penyiksaan disebabkan oleh konsistensi keimanan mereka. Mereka tidak disiksa karena keimanan mereka pada masa sebelumnya. Seandainya mereka kufur pada masa yang akan datang, mereka tidak akan disiksa. Karena itu seolah-olah dikatakan: kecuali karena mereka melanggengkan keimanan mereka.5

Dengan demikian, jelaslah bahwa satu-satunya alasan orang-orang kafir bertindak kejam dan biadab terhadap kaum Mukmin adalah konsistensi mereka dalam memegang keimanan mereka.

Kemudian disebutkan beberapa sifat Allah SWT yang wajib diimani. Sifat pertama yang disebutkan adalah al-‘Azîz. Menurut az-Zamakhsyari, ‘Azîz[an] berarti Ghâlib[an] yukhsyâ ‘iqâbuhu (Yang Mengalahkan lagi ditakuti hukuman-Nya).6  Sifat tersebut juga menunjukkan bahwa jika seseorang berlindung di sisi-Nya, niscaya tak ada satu pun makhluk dapat yang menghalangi Allah SWT untuk memberikan perlindungan.7

Menurut Fakhruddin ar-Razi, pengertian al-‘Azîz adalah al-Qâdir (yang berkuasa) yang tak terkalahkan dan al-Qâhir (yang memaksa) yang tidak dapat ditolak. Secara keseluruhan, sifat tersebut menunjukkan kekuasaan yang sempurna.8

Sifat berikutnya adalah al-Hamîd. Diterangkan oleh az-Zamakhsyari, Hamîd[an] berarti Mun’im (Pemberi nikmat). Wajib bagi Allah SWT segala pujian atas kenikmatan-Nya dan diharapkan pahala-Nya.9 Al-Khazin menuturkan bahwa sifat tersebut menunjukkan bahwa Dialah  Yang berhak dipuji dan Dia pula yang layak untuk itu, yakni Allah Jalla Jalâluhu.10 Menurut al-Razi, sifat ini mengisyaratkan ilmu. Sebab, yang tidak mengetahui akibat sesuatu, tidak mungkin mengerjakan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian al-Hamîd menunjukkan atas al-’ilm secara sempurna.11

Kemudian Allah SWT berfirman: Al-Ladzî lahu mulk al-samâwâti wa al-ardh (Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi). Ayat ini menambahkan berita tentang sifat Allah Yang Maha Sempurna. Dia adalah Pemilik kerajaan langit dan bumi beserta semu isinya. Karena itu layak bagi Allah untuk diimani dan ditauhidkan. Dikatakan oleh al-Qurthubi, “Tidak ada sekutu dan tandingan bagi Allah di langit dan bumi.”12 Ibnu Jarir ath-Thabari juga mengatakan, “Dilah Zat Yang memiliki kekuasaan langit yang tujuh dan bumi beserta seluruh isinya.”13 

Sebagai konsekuensinya, semua yang berada di langit dan bumi wajib menyembah dan tunduk kepada Allah SWT. Demikian dikatakan az-Zamakhsyari.14

Menurut ar-Razi, sifat ini mengisyaratkan kekuasaan yang sempurna. Sifat ini diakhirkan dari sifat-sifat sebelumnya karena kekuasaan dan kerajaan yang sempurna tidak akan terjadi kecuali telah sempurna dalam kekuasaan dan ilmu. Karena itu Zat Yang disifati dengan sifat-sifat tersebut layak untuk diimani, sedangkan yang lain tidak diimani. Lalu bagaimana bisa orang-orang kafir yang bodoh itu menetapkan keimanan seperti ini sebagai sebuah kesalahan?15

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wal-Lâh ‘alâ kulli syay[`in] Syahîd (Allah Maha menyaksikan segala sesuatu). Ayat ini menegskan bahwa tidak ada satu pun yang luput dan tersembunyi dari pengamatan Allah SWT. Semuanya berada jangkaun pengawasan-Nya. Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, “Terhadap perbuatan kaum kafir yang membuat parit untuk kaum Mukmin yang mereka siksa, sungguh Allah menyasikannya. Allah pun menyaksikan perbuatan mereka selainnya dan perbuatan seluruh makhluk-Nya. Dia memberikan balasan bagi  mereka.”16

Menurut al-Khazin,  dalam kalimat ini terdapat janji kebaikan yang besar bagi kaum Mukmin, sekaligus ancaman besar bagi kaum kafir.17 Dikatakan juga oleh Abu Hayyan al-Andalusi, “Ini merupakan ancaman bagi mereka, yakni Dia mengetahui apa yang mereka perbuat sehingga Dia membalas mereka.”18

Penjelasan serupa dikemukakan az-Zamakhsyari dan asy-Syaukani.19

Kemudian  Allah SWT berfirman dalam ayat selanjutnya: Inna al-ladzîna fatanû al-Mu‘minîna wa al-mu‘minât (Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang Mukmin laki-laki dan perempuan). Kata fatanû berasal dari kata futnah. Menurut ar-Razi, pada asalnya kata al-fitnah berarti al-balâ‘ wa al-imtihân (cobaan dan ujian). Disebut demikian karena orang-orang kafir itu menguji dan mencoba orang-orang Mukmin, melemparkan mereka ke dalam api dan membakar mereka.20

Menurut sebagian mufassir, fatanû dalam ayat ini bermakna kharaqûhum (mereka membakar mereka) dengan api.21 Penafsiran ini juga dikemukakan Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah adh-Dhahhak, dan Ibnu ‘Abza.22 Sebab, kata fitnah juga berarti memasukkan emas ke dalam tungku untuk diketahui kualitasnya.

Ibnu Jarir ath-Thabari menggabungkan kedua penafsiran itu, yakni orang-orang yang menguji kaum yang beriman kepada Allah dengan menyiksa mereka dan membakar mereka dengan api.23

Kemudian disebutkan: tsumma lam yatûbû (kemudian mereka tidak bertobat). Pengertian tobat adalah mereka berhenti dari apa mereka kerjakan dan meyesali apa yang telah terlanjur mereka lakukan. Demikian diterangkan Ibnu Katsir.24 Ditegaskan dalam ayat ini, mereka tidak bertobat. Itu berarti, mereka melakukan kekejan terhadap kaum Mukmin hingga selesai, tidak berhenti dan tidak ada penyesalan hingga mati.

Terhadap mereka, diberikan balasan amat dahsyat, yakni: falahum adzab Jahannam (maka bagi mereka adzab Jahanam). Inilah balasan bagi mereka. Mereka dimasukkan ke dalam Jahanam, sebuah nama neraka di akhirat. Inilah balasan setimpal bagi orang-orang yang bertindak kejam, bengis dan biadab kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya.

Diberitakan pula: walahum adzab al-harîq (dan bagi mereka adzab [neraka] yang membakar). Mereka juga mendapatkan balasan semisal dari apa yang telah mereka kerjakan.25 Jika mereka telah membakar hidup-hidup orang-orang beriman, mereka akan merasakan siksa semacamnya, yakni dibakar. Tentu, azab tersebut jauh lebih dahsyat.

Berdasarkan ayat ini, Abu Hayyan al-Andalusi berkesimpulan bahwa mereka mendapatkan dua azab, yakni azab karena kekufuran mereka dan azab karena fitnah yang mereka lakukan kepada kaum mukmin.26 Sebagaimana dikatakan al-Baidhawi, azab al-harîq merupakan azab tambahan karena fitnah mereka.27

Menurut ath-Thabari, azab Jahanam di akhirat, sedangkan azab pembakaran di dunia.28

Inilah balasan yang ditimpakan kepada orang-orang yang menyakiti dan berbuat kejam terhadap kaum Mukmin. Meskipun ayat ini memberitakan tentang azab yang bakal diterima ash-hâb al-ukhdûd, ayat ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup semua orang yang melakukan perbuatan tersebut. Ditegaskan ar-Razi, pengertian ini lebih tepat karena redaksi umum dan hukumnya pun umum. Karena itu, memberlakukan takhhîsh (mengkhusukan hanya untuk pelaku tertentu, dalam konteks ayat ini adalah ash-hâb al-ukhdûd) berarti meninggalkan zhahir-nya ayat tanpa dalil.29

Beberapa Perkara Penting

Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: Pemilik kerajaan langit dan bumi beserta isinya adalah Allah SWT. Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam raya sekaligus Rajanya. Semua makhluk-Nya bertasbih memuji kebesaran-Nya. Dia juga Zat Yang Maha Menyaksikan segala sesuatu. Di tangan-Nya pula segala urusan di kerajaan langut dan bumi. Tak ada yang menandingi, menyamai dan menjadi sekutu-Nya. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat, seperti dalam QS al-Furqan [25]: 2.

Oleh karena itu, Dialah satu-satunya adalah Zat yang berhak disembah, diibadahi dan ditaati. Sebagai salah makhluk ciptaan-Nya dan diberi kesempatan hidup di kerajaan-Nya, semestinya manusia tunduk dan patuh kepada seluruh hukum-Nya. Sungguh aneh ada manusia yang berani menentang mengingkari keberadaan-Nya, menentang hukum-hukum-Nya dan menantang siksa-Nya, Sungguh tindakan itu hanya akan mengantarkan pelakunya ke dalam kecelakaan.

Kedua: Kepastian azab bagi orang yang mendatangkan fitnah atas kaum Mukmin. Siapa pun yang melakukan perbuatan tersebut akan diberikan balasan berupa azab yang mengerikan, yakni Neraka Jahanam dan azab pembakaran. Apalagi satu-satunya alasan mereka menyakiti kaum Mukmin hanyalah keimanan mereka.

Ketiga: Kemuliaan orang-orang Mukmin dan kecintaan Allah kepada mereka. Azab yang dahsyat yang ditimpakan kepada siapa pun yang mendatangkan fitnah terhadap Mukmin jelas menunjukkan hal itu. Allah SWT telah memerintahkan seluruh manusia beriman kepada-Nya. Allah pun menjanjikan balasan surga kepada manusia yang menyambut seruan-Nya. Allah SWT mencintai dan memuliakan mereka, di dunia dan akhirat. Dia juga tidak ridha kepada siapa pun yang menyakiti mereka hanya karena keimanan mereka.

Oleh karena itu, seorang yang telah memegang keimanan selayaknya menjaga dan memelihara keimanannya, apa pun risikonya. Tak perlu merasa rendah diri dan bersedih hati jika mereka konsisten dengan keimanan.

Keempat: Kesempatan bartobat bagi orang-orang yang terlanjur berdosa. Dalam ayat ini diterangkan bahwa balasan Neraka Jahanam dan azab pembakaran kepada orang yang menyiksa kaum Mukmin dan tidak bertobat. Seandainya mereka bertaubat, niscaya mereka tidak termasuk dalam ancaman tersebut. Ini menunjukkan secara pasti bahwa Allah menerima tobat. Karena itu, wahai para pelaku dosa, selagi pintu ampunan masih terbuka, segeralah bertobat dan melakukan perbaikan. Jangan sampai terlambat, hingga penyesalan tak berguna.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 343

2         Ibnu Juzyi, At-Tasy-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1986), 469

3         Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 500

4         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H),  112; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1999), 358

5         Ibnu Juzyi, At-Tasy-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 469.

6         Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta‘wîl, vol. 5, (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 301

7         Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358

8         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112.

9         Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1977), 732; al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta`wîl, vol. 5, 624

10        Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 413.

11        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112.

12        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 295.

13        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.

14        Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 732

15        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112

16        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.

17        Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 413; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 501.

18        Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol.  11 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 445

19        Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 731; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 501;

20        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 113.

21        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 295.

22        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8,  365.

23        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.

24        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8,  365.

25        Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8,  365.

26        Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol.  11, 445; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 566.

27        Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta‘wîl, vol. 5, 301

28        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.

29        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 113.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*