Fakta penelitian menunjukkan bahwa ada 565 nama kota, desa, gunung, sungai dan danau, dll, yang terbagi dalam 484 nama di Amerika dan 81 nama di Kanada, ternyata secara etimologis berasal dari bahasa Arab. Kondisi ini ditunjukkan oleh para penduduk setempat jauh sebelum kedatangan Columbus. Banyak dari nama-nama ini sebenarnya sama dengan nama-nama tempat-tempat suci Islam misalnya Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina di New York, dll.
Struktur rumah dan gedung yang ditemukan dalam penggalian arkeologi yang dilakukan di Afrika Utara dan Amerika Utara menunjukkan tingkat kesamaan antara bangunan-bangunan abad kesembilan. Misalnya struktur rumah Berber dari Pegunungan Atlas, Maroko, persis sama dengan sebuah rumah di New Mexico. Kesamaan yang persis terlihat antara Kastil Montezuma yang ditemukan di Arizona dan sisa-sisa reruntuhan yang ditemukan di Mesa Verde di Colorado dengan struktur umum bangunan-bangunan Berber. Profesor Cyrus Thomas (Smithsonian Institute) menunjukkan dalam salah satu penelitiannya bahwa terdapat kesamaan antara sebuah pondok kecil yang dibangun dari tumpukan batu yang ditemukan di Ellenville, New York, dengan sebuah kabin, yang juga terbuat dari batu, yang ditemukan di sekitar Aqabah, Arabia Selatan, sekitar abad kedelapan.
Dalam banyak sumber-sumber Islam, meskipun referensi mengenai Amerika hampir tidak didokumentasikan, penting dicatat bahwa selama periode Kekhalifahan Andalusia, umat Islam di Spanyol dan Afrika Utara telah membuat banyak perjalanan ke luar negeri. Hal ini sangat mungkin bahwa banyak dari mereka sebenarnya bepergian menuju Amerika.
Benteng Islam terakhir di Spanyol, Granada, jatuh sebelum terjadinya Inkuisisi Spanyol yang didirikan pada tahun 1492. Inkuisisi itu memaksa banyak orang non-Kristen untuk pindah agama menjadi Katolik atau menghadapi pengasingan sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dari tindakan kejam. Selama periode ini, Raja Spanyol Charles V mengeluarkan perintah yang melarang terjadinya imigrasi kaum Muslim ke pemukiman di Barat Spanyol. Perintah ini kemudian diperluas dengan mengusir semua Muslim keluar dari Koloni Spanyol tahun 1543. Semua ini, ditambah dengan bukti-bukti lain, menunjukkan kehadiran kaum Muslim di Spanyol yang berbahasa Spanyol Amerika sebelum tahun 1550.
Meskipun kaum Muslim menderita kerugian teritorial di Spanyol, kehadiran mereka di wilayah-wilayah seperti Amerika rupanya tidak diperhitungkan. Namun, jantung peradaban Islam, Khilafah, terus menjadi mercusuar yang dihormati. Otoritas politik Kekhalifahan mendominasi koridor-koridor kekuatan dari wilayah-wilayah yang kemudian menjadi penting di arena internasional. Lebih dari dua abad kemudian, kekuasaan politik Kekhalifahan masih kuat berdiri.
Pada tahun 1783, Amerika mengerahkan kapal-kapal pertama angkatan lautnya, yang mulai berlayar di perairan internasional. Dalam waktu dua tahun, kapal-kapal itu ditangkap oleh angkatan laut Kekhalifahan Utsmani, dekat Aljazair. Angkatan Laut Kekhalifahan itu berasal dari wilayah yang termasuk governorat Afrika Utara dari Aljazair, Tunisia dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sebagai perbandingan mencolok, wilayah ini pada hari ini, adalah wilayah terbaru dari front perang yang dibuka oleh Amerika dan NATO yang mengincar lokasi yang strategis dan cadangan minyak.
Penangkapan kapal-kapal Amerika membawa Amerika ke dalam konflik langsung dengan Khilafah sehingga hubungan tingkat negara dengan negara Khilafah menjadi perlu.
Pada tahun 1786 Thomas Jefferson, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Prancis, dan John Adams, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Inggris, bertemu di London dengan Sidi Haji Abdul Rahman Adja, Duta Besar Khilafah untuk Inggris. Pertemuan itu dalam rangka menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian, yang akan didasarkan pada pendanaan dari pemungutan suara di Kongres. Ini mungkin merupakan kontak tingkat tinggi pertama antara pejabat tinggi Amerika dan Khilafah.
Setelah pertemuan itu, kedua orang yang merupakan Presiden Amerika masa depan, melaporkan kepada Kongres AS, dan memberikan informasi mengenai alasan permusuhan umat Islam terhadap Amerika dengan kata-kata ini: “…bahwa (Kekhalifahan) didirikan berdasarkan Hukum Nabi mereka, bahwa hal itu ditulis dalam al-Quran mereka; bahwa semua negara yang tidak mengakui otoritas mereka adalah negara yang berdosa; bahwa hak dan kewajiban mereka untuk berperang terhadap negara-negara itu di mana saja mereka bisa ditemukan…; dan bahwa setiap Musselman (Muslim) yang terbunuh dalam peperangan pasti akan masuk surga.”
Kesan pertama dari umat Islam, yang bersatu di bawah naungan Khilafah, pada para duta besar Amerika adalah sangat berlawanan dengan realitas pada saat ini. Para penguasa negeri-negeri Muslim bersaing untuk dihargai oleh para duta besar Amerika. Seperti yang diungkapkan Wikileaks, para penguasa yang memalukan itu mencari dan meminta semua jenis bantuan, dan kemudian berterima kasih kepada para duta besar mereka atas bantuan dalam mencapai jenjang kekuasaan. Selain itu, mereka melaporkan persaingan di dalam negeri mereka kepada para dubes itu, dan mencari bantuan untuk mengatasi satu sama lain.
Dalam hal status quo, kaum Muslim di bawah Kekhalifahan sangat berbeda dengan realitas pada hari ini. Pada tahun 1793, Amerika sekali lagi memasuki wilayah perairan yang didominasi oleh Khilafah, dan kali ini 12 kapal Angkatan Laut Amerika ditangkap. Untuk menanggapi hal ini, Kongres Amerika memberikan mandat pada Presiden Washington, pada bulan Maret 1794, untuk membelanjakan hingga 700.000 koin emas dengan tujuan membangun kapal-kapal untuk armada angkatan laut yang kuat yang terbuat dari baja. Namun, armada ini hilang lagi dalam konfrontasi dengan Angkatan Laut Khilafah itu.
Sejak itu Amerika telah menyadari mereka berhadapan dengan kekuatan negara adidaya: Khilafah. Setahun kemudian Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Barbary dengan negara Khilafah. Kata Barbary merujuk pada governorat Afrika Utara untuk wilayah Aljazair, Tunisia dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.
Ketentuan dalam Perjanjian Barbery itu mewajibkan Amerika untuk membayar sejumlah besar uang kepada Khilafah sebagai imbalan izin untuk berlayar di Samudera Atlantik dan Laut Mediterania serta mengembalikan kapal-kapal yang ditangkap, mulai dengan pembayaran dengan metode one off payment yang bernilai $ 992.463. Sebagai imbalannya, Pemerintah Amerika harus membayar lagi $ 642.000 yang setara dengan emas. Selain itu, Amerika setuju untuk membayar pajak tahunan (upeti) senilai $ 12 000 dalam bentuk emas.
Sangat menarik untuk dicatat, Khilafah lebih lanjut menegaskan supremasi diplomatiknya, dengan mewajibkan Amerika untuk membayar upeti tahunan, menurut kalender Islam dan bukan menurut kalender Kristen. Selanjutnya, sebagai tebusan untuk tentara Amerika yang ditangkap, Amerika harus membayar $ 585.000. Selain dari upeti yang bernilai sangat besar ini, Amerika setuju untuk membangun dan memberikan dengan biaya sendiri armada kapal baja bagi Khilafah. Kerelaan Amerika ini sebenarnya telah ‘menjerumuskan’ Amerika sendiri ke dalam pembayaran kurang lebih tiga puluh kali lipat perkiraan uang yang harus di bayar sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian. Pasalnya, biaya kapal-kapal yang terbuat dari baja, biaya untuk tiang-tiangnya dan papan-papan baja yang berat, sangatlah besar biayanya. Belum lagi di tambah bahan-bahannya sulit untuk didapatkan, dan biaya transportasi pengiriman ke Turki Utsmani yang besar.
Perjanjian ini kemudian sesuai dengan status quo kekuasaan yang ditulis dalam bahasa negara Khilafah, yaitu bahasa Turki dan ditandatangani oleh Presiden Washington. Perjanjian itu merupakan satu-satunya dokumen hukum Amerika yang pernah dibuat dalam bahasa asing. Yang menarik, ini merupakan satu-satunya perjanjian yang pernah ditanda tangani Amerika yang menyetujui untuk membayar pajak tahunan kepada bangsa lain. Perjanjian itu tetap berlaku, sampai Khilafah runtuh. [Sharique Naeem]
Sharique Naeem adalah seorang insinyur, komentator politik dan penulis. Tulisan-tulisannya diterbitkan di surat kabar-surat kabar nasional Pakistan, Bangladesh, India, Yaman dan Iran