Keterlibatan perempuan dalam dunia politik diklaim beberapa pihak—terutama kaum feminis dan pengusung gender—akan berkorelasi positif terhadap penyelesaian masalah-masalah yang terus melanda bangsa ini. Perempuan dianggap memiliki sifat-sifat yang khas seperti ketelitian, kerapihan, kehati-hatian, kepekaan yang tinggi, kelemahlembutannya serta sifat baik lainnya yang sangat dibutuhkan dalam menuntaskan persoalan, apalagi dalam hal-hal yang luput dari perhatian laki-laki. Karena itu tidak mengherankan jika kemudian banyak tuntutan yang mengemuka untuk membuka keran peluang dan kesempatan para perempuan berpolitik. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD, dalam pasal 24 ayat (1) huruf c, menyebutkan bahwa jumlah dan prosentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30% untuk setiap daerah pemilihan merupakan salah satu jawaban atas tuntutan peningkatan keterlibatan perempuan dalam ranah politik.
Perempuan, Politik dan Korupsi
Potensi-potensi kebaikan yang dikaruniakan kepada perempuan sangat diharapkan bisa menjadi tameng bagi dirinya ketika terjun ke dunia politik, bahkan dapat menjadi peredam terjadinya tindak pelanggaran yang akan dilakukan rekan sejawatnya yang laki-laki, baik di DPR maupun di dalam pemerintahan. Keterlibatan perempuan di ranah politik dianggap akan membawa angin segar yang lebih mensejahterakan. Namun faktanya, banyak perempuan yang malang-melintang di kancah perpolitikan baik sebagai anggota parlemen maupun sebagai pejabat negara terlibat kasus. Mereka malah ikut masuk ke dalam pusaran korupsi. Sejumlah perempuan pejabat publik dan perempuan penyambung aspirasi rakyat kini dinyatakan terlibat dalam proyek perampokkan uang rakyat dan penjarahan asset negara Mereka di antaranya adalah: Ratu Atut Chosiyah Perempuan yang menduduki jabatan pemerintahan tertinggi di Provinsi Banten sekaligus ketua DPP Golkar bidang Pemberdayaan Perempuan itu akhirnya menjadi tahanan KPK, sejak Jumat (20/12). Ia diduga terlibat kasus suap dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten di MK, serta kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Provinsi Banten.
Ada juga Chairun Nisa. Dia adalah anggota DPR dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII yang membidangi kesejahteraan sosial dan agama. Bertolak belakang dengan jabatan yang pernah dia sandang, dia malah diduga menjadi penerima suap bersama Akil terkait pengurusan perkara sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sebelumnya, ada Angelina Sondakh, bekas Wasekjen DPP Partai Demokrat yang telah divonis bersalah karena kasus dugaan suap pembahasan anggaran di Kemenpora dan Kemendiknas.
Berikutnya adalah Wa Ode Nurhayati, politikus perempuan Partai Amanat Nasional yang dijatuhi hukuman gara-gara keterlibatannya dalam kasus korupsi alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID).
Keempat politikus perempuan ini serta beberapa perempuan lain yang berperilaku sama senyatanya telah menghancurkan harapan para pengusungnya bahkan menggugurkan asumsi bahwa peran aktif perempuan dalam politik praktis akan membawa perbaikan yang mensejahterakan.
Politik Perempuan Hanya Pemanis
Maraknya kasus korupsi yang dilakukan para aktivis politik perempuan memunculkan pertanyaan: Apakah perempuan lebih mudah tergoda untuk bersentuhan dengan korupsi?
Sebenarnya perilaku korup dan kecenderungan tergiur harta haram bukanlah penyakit yang spesifik menimpa perempuan saja, pasalnya banyak pula wakil rakyat dan para pejabat laki-laki yang melakukan perbuatan kotor ini. Memang terdapat fakta bahwa kapitalisme telah melahirkan perempuan-perempuan hedonis dan berjiwa konsumtif. Gaya hidup mewah perempuan di kalangan tertentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Anggaran perawatan kecantikan, fashion, arisan dan kumpul-kumpul di café berharga tinggi sudah menjadi dana rutin yang harus disediakan. Inilah salah satu kondisi yang memicu perempuan melakukan korupsi.
Politik perempuan dalam demokrasi senyatanya bukanlah pemberdayaan, tetapi lebih terkesan sebatas upaya memperalat perempuan untuk memuluskan partai lolos dalam seleksi peserta Pemilu. Apalagi ada fakta bahwa tidak sedikit perempuan yang dijadikan tameng atau batu loncatan dalam beberapa kasus korupsi, seperti tindak pencucian uang pada kasus quota impor daging. Jadi, dalam demokrasi yang terjadi bukanlah pemberdayaan peran politik perempuan, tetapi menjadikan perempuan sebagai gula-gula untuk meraih kemenangan dan penyelamat keadaan.
Akibat Demokrasi-Kapitalis
Mengapa dewasa ini banyak orang mudah terjebak dalam lingkaran korupsi? Padahal sebelumnya mereka diharapkan bisa menjadi pejuang kebenaran atau paling tidak diakui sebagai orang yang baik. Faktanya, tidak sedikit caleg baik dan jujur kemudian berubah menjadi orang culas dan berani menggelapkan uang yang bukan haknya. Alhasil, dalam sistem demokrasi-kapitalis kebaikan individu saja tidak cukup kuat melawan kebobrokan dan kerusakan yang telah dilahirkan sistem itu. Sebaliknya, sistem ini malah melunturkan idealisme para penyambung lidah rakyat dan para pejabatnya. Karena itu tidak salah kalau dikatakan bahwa demokrasi-kapitalis adalah sistem yang rusak dan merusak!
Demokrasi membutuhkan biaya yang mahal. Pelaksanaan Pemilu 2009, misalnya, telah menyedot dana yang fantastis jumlahny, yang terbagi dalam beberapa pos pengeluaran berupa: anggaran KPU Rp 47,9 Triliun; biaya kampanye Pilpres minimal Rp 100 miliar per kandidat (Associate Media Director Hotline Advertising, Zainul Muhtadin dalam tempointeraktif.com 24/01/08). Uang miliaran bahkan triliunan yang dikeluarkan ketika kampanye bisa diibaratkan seperti modal seorang pedagang. Artinya, siapapun akan berusaha keras untuk mengembalikan modal tersebut sekaligus dengan kelebihan labanya untuk biaya hidup dan persipan dana kampanye berikutnya. Karena itu, para caleg yang lolos jadi anggota DPR akan memanfaatkan setiap peluang yang bisa segera melunasi modal kampanyenya sekalipun harus menempuh cara yang merugikan rakyat dan mengorbankan idealismenya seperti tindak korupsi.
Selain itu, paket demokrasi kapitalisme yang mengagung-agungkan uang telah melahirkan politik transaksional. Aktivitas dalam politik praktis tidak lagi mengindahkan visi-misi perjuangan, tetapi lebih mengedepankan kemaslahatan materi. Akibatnya, kebijakan yang digodog DPR atau kewenangan yang dimiliki pejabat negara rawan diselewengkan demi meraup tumpukan rupiah. Pada titik inilah celah terjadinya kolusi dan korupsi, baik melibatkan wakil rakyat atau pejabat laki-laki laki-laki maupun perempuan.
Politik Islam Mencegah Korupsi
Dalam Islam, berpolitik adalah hak dan kewajiban kaum Muslim, laki-laki maupun perempuan (QS Ali Imran [3]: 104). Terjun dalam aktivitas politik lahir karena dorongan akidah untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Islam juga telah memberikatan rambu-rambu dan panduan dalam berpolitik. Politik dalam Islam bukan untuk meraih kekuasaan, juga tidak untuk membuat hukum dan perundang-undangan. Politik adalah pengurusan urusan umat dengan hukum Islam Dalam Islam, keberadaan wakil rakyat di Majelis Umat bukan untuk menetapkan hukum sehingga berpeluang memunculkan transaksi suap dan korupsi untuk meloloskan sebuah undang-undang seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi.
Salah satu aktivitas politik dalam Islam adalah menjadi anggota Majelis Umat yang merupakan hak setiap Muslim baik laki-laki dan perempuan. Mekanisme pemilihannya sangat praktis dan sederhana sehingga tidak membutuhkan biaya mahal. Dari aspek pembiayaan ini, proses pemilihan dalam Islam akan menutup celah politik uang juga tidak akan melahirkan para pejabat yang memanfaatkan jabatan untuk mengembalikan modal pemilihan.
Islam menetapkan beberapa aturan yang mengatur sumber-sumber pendapatan para pejabat dan pegawai Negara. Di antaranya adalah larangan tentang risywah (suap). Rasulullah saw. bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap dalam kekuasaan/pemerintahan.” (HR at-Tirmidizi).
Rasulullah saw. juga mengharamkan upaya memberikan hadiah kepada pejabat negara. Karena itu, hadiah yang diterima pejabat adalah harta haram. Rasul saw. ,pernah menegur pegawainya, Ibnu Atabiyyah, yang telah menerima hadiah untuk dirinya ketika dia menjadi pengumpul zakat. Khalifah Umar bin al-Khaththab senantiasa menghitung dan mencatat harta setiap wali dan amil yang belia angkat. Pada akhir masa jabatan akan dilakukan penghitungan ulang Jika ada harta yang diragukan maka harta itu akan disita dan dimasukkan ke kas Baitul Mal.
Semua perangkat aturan ini akan membatu para pejabat dan politikus berperilaku bersih serta jauh dari jeratan korupsi. Tentu saja hal ini dipadukan dengan ketakwaan individu dan kontrol masyarakat yang akan terus mengawasi jalannya pemerintahan supaya tidak terjadi pelanggaraan hukum syariah. WalLahu a’lam. [Dedeh Wahidah Achmad]