Agama tak perlu mengurusi negara. Negara pun tak boleh ikut mencampuri urusan agama. Begitu kira-kira jargon kaum sekular terkait hubungan agama dan negara.
Namun, bukan sekular namanya kalau tak pandai bersilat lidah dan melanggar prinsipnya sendiri. Pasalnya, manfaat-madarat atau untung-rugi tetaplah tolok-ukurnya. Karena itu prinsip di atas tak harus diterapkan secara rigid. Negara bisa saja mengurusi agama jika di sana ada keuntungan bagi negara. Zakat, misalnya, diurusi negara. Bahkan negara pun berkepentingan membuat UU Zakat. Itu karena zakat berkaitan dengan potensi uang puluhan triliun warga negaranya yang Muslim. Negara perlu mendukung program ini karena bisa membantu mengentaskan kemiskinan sebagian besar warganya yang tak pernah sukses diatasi negara. Dukungan negara terhadap program zakat juga tentu bermanfaat untuk sedikit mengalihkan perhatian masyarakat dari kemiskinan struktural yang diciptakan oleh negara.
Demikian pula haji. Haji pun diurus negara. Jelas karena di sana ada potensi uang umat yang juga puluhan triliun setiap tahunnya, yang sebagiannya masuk ke kas negara. Negara perlu menerbitkan UU Perbankan Syariah karena memang berkaitan dengan potensi uang umat yang juga berlimpah. Belakangan negara pun berhasrat mengurusi sertifikasi halal, juga karena di situ ada potensi pendapatan ratusan miliaran rupiah yang tentu menguntungan negara.
Bagaimana dengan masalah warga negaranya yang Muslim yang tidak shalat? Bagaimana dengan urusan warga negaranya yang Muslimah yang ingin memakai jilbab? Bagaimana dengan urusan warga negaranya yang menolak tempat-tempat hiburan malam dan pelacuran yang memang bertentangan dengan ajaran agama mereka? Bagaimana dengan masalah pemurtadan (kristenisasi), Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya? Bagaimana pula dengan keinginan mayoritas Muslim untuk menerapkan syariah Islam secara formal oleh negara?
Nah, di situ baru negara harus diam; tak boleh mencampuri urusan agama warganya. Alasannya jelas, tak ada hal yang menguntungkan jika negara memaksa orang yang tak shalat agar mereka shalat; tak juga menguntungkan jika negara melegalkan jilbab bagi kaum Muslimah yang sangat ingin berjilbab. Bahkan jika tempat-tempat hiburan dan pelacuran (lokalisasi) dihapuskan oleh negara, itu bisa mengurangi potensi pendapatan negara—melalui pajak dari tempat-tempat tersebut—yang berarti merugikan negara. Tak ada untungnya bagi negara mengurusi masalah kristenisasi, Ahmadiyah atau ragam aliran sesat lainnya yang merusak akidah umat Islam. Tak ada untungnya pula negara meluluskan keinginan warga negaranya yang Muslim untuk memformalisasikan syariah melalui institusi negara. Dalam semua itu, prinsip “negara tak boleh mencampuri urusan agama” harus benar-benar ditegakkan.
*****
Demikian pula sebaliknya. Agama tak perlu mencampuri urusan negara. Bahkan agama tak boleh dibawa-bawa ke ranah politik. “Politik jangan bawa-bawa agama.” Begitu kira-kira.
Namun, prinsip ini pun tak mutlak. Itu hanya berlaku jika agama tak memberikan keuntungan atau tidak menghasilkan manfaat secara politik. Menjelang Pemilu, sah-sah saja orang membawa-bawa agama. Ayat-ayat al-Quran boleh dikutip sebagai “bumbu” saat kampanye. Baju koko, kopiah, kerudung dan jilbab pun sah-sah saja dikenakan oleh para calon wakil rakyat dalam kampanye mereka untuk pencitraan atau menciptakan kesan islami.
Negara pun boleh membawa-bawa agama saat dibutuhkan. Dengan menggunakan lisan ulama, negara sah-sah saja mengharamkan golput dan mewajibkan warga negara menggunakan hak pilihnya. Dengan meminjam fatwa ulama, negara menguatkan kebijakannya untuk menerima tamu penguasa negara kafir penjajah, seperti Presiden AS Obama. Ditegaskanlah bahwa menerima dan menghormati tamu adalah bagian dari kewajiban dalam Islam. Padahal sang tamu yang kafir dan penjajah itu telah menumpahkan darah umat Islam di mana-mana, merampas kekayaan umat di berbagai negeri Muslim serta membiarkan penindasan umat Islam di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya kafir. Dengan menggunakan lisan ulama pula, ditegaskan kewajiban warga negara untuk selalu taat kepada ulil amri (pemerintah). Padahal negara sendiri tidak tunduk dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya karena menolak penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan warganya.
Kita tentu khawatir jika sikap negara yang sekular dan sangat kapitalistik ini menular kepada para ulamanya. Kita tentu tidak ingin ulama—khususnya yang terhimpun dalam MUI—amat fokus mengurusi sertifikasi halal, tetapi tidak terlalu fokus untuk terus menekan negara agar melegalkan Polwan (juga para wanita Muslimah di institusi negara maupun yang lain) untuk berjilbab. Kita tentu tak ingin ulama dan MUI hanya sibuk mendorong umat agar rajin membayar zakat tetapi tidak sibuk mendesak negara untuk meninggalkan utang luar negeri ribawi, merebut kembali kekayaan umat yang terlanjur diserahkan kepada perusahaan-perusahaan asing, dlsb. Kita tentu tak ingin ulama dan MUI amat keras memfatwakan keharaman golput dalam Pemilu daripada secara tegas memfatwakan kembali keharaman sekularisme (yang melahirkan sistem demokrasi yang bobrok dan busuk serta sistem kapitalisme yang jahat dan merusak), pluralisme dan liberalisme. Kita pun tak ingin ulama dan MUI begitu ‘gagah’ memfatwakan agar warga negara harus taat kepada ulil amri, tetapi ‘loyo’ dan tak punya nyali untuk memfatwakan bahwa negara wajib taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam intitusi negara sekaligus mencampakkan sekularisme.
Adanya oknum ulama/kiai petinggi MUI di salah satu daerah yang diduga terlibat dalam perzinaan dengan dua wanita—sekaligus terlibat dalam pembuatan video perzinaannya—sudah seharusnya menjadi pelajaran amat berharga, bahwa siapapun (termasuk ulama, kiai, da’i, ustadz) bisa tergilas oleh keganasan mesin sekularisme dengan seluruh sistemnya (demokrasi, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, dll) yang rusak dan merusak.
Haruskah kita menunggu korban lebih banyak lagi? Tak cukupkah kerusakan di semua lini kehidupan akibat sistem sekular ini mendorong kita untuk memaksa negara mencampakkan sekularisme dan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah? Ataukah kita tetap hanya akan mempraktikkan Islam ritual bercampur aroma sekularisme dan kapitalisme yang amat menjijikkan? Silakan saja jika Anda kuat menghadapi azab Allah di akhirat nanti!
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]