Dari kajian sebelumnya kita tahu bahwa Mu‘âwin Tafwîdh adalah wazîr yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah mendelegasikan kepada dirinya pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melaksanakan tugasnya berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 130). Dengan demikian Khalifah memberi dia wewenang secara umum dan juga posisi untuk mewakili Khalifah.
Lalu apakah dengan semua itu Mu‘âwin Tafwîdh bebas melakukan apa saja tanpa perlu melapor dan meberitahu Khalifah terkait keputusan pengaturan urusan yang dia buat? Ataukah dengan kewenangan umum yang diberikan oleh Khalifah sekaligus sebagai wakil Khalifah, Khalifah berlepas diri dan tidak perlu mengontrol aktivitas Mu‘âwin Tafwîdh?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam: Pertama, pasal 45 yang berbunyi: “Mu’awin Tafwîdl wajib memberikan laporan kepada Khalifah tentang apa saja yang telah diputuskan, atau apa yang dilakukan, atau tentang penugasan wali dan pejabat, agar wewenangnya tidak sama seperti Khalifah. Mu’awin Tafwîdh wajib memberikan laporan kepada Khalifah dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Khalifah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 179);
Kedua, pasal 46 yang berbunyi: “Khalifah wajib mengetahui aktivitas Mu’awin Tafwidh dan pengaturan berbagai urusan yang dia lakukan, agar Khalifah dapat menyetujui apa saja yang sesuai dengan kebenaran dan mengoreksi kesalahan. Hal ini karena pengaturan urusan umat adalah tugas Khalifah yang dijalankan berdasar ijtihadnya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 180).
Mu’awin Tafwîdh Wajib Melapor Kepada Khalifah
Mu‘âwin Tafwîdh adalah orang yang ditunjuk Khalifah untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya, Mu‘âwin Tafwîdh harus menyampaikan kepada Khalifah setiap pengaturan urusan pemerintahan yang telah dia rencanakan, serta melaporkan kepada Khalifah berbagai pengaturan urusan pemerintahan yang telah dia jalankan. Agar Mu‘âwin Tafwîdh dalam melaksanakan mandat dan wewenang yang dia miliki tidak menjadi seperti Khalifah—karena dia memang bukan Khalifah dan hanya mewakili Khalifah, maka kewajiban Mu‘âwin Tafwîdh adalah menyampaikan laporan kepada Khalifah sekaligus melaksanakan tugas-tugasnya selama Khalifah tidak menghentikan pelaksanaannya (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 133; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 59).
Dalil atas masalah itu adalah realita Mu‘âwin itu sendiri sebagai wakil Khalifah dalam hal-hal yang dibebankan kepada dia. Mu‘âwin melaksanakan aktivitas dalam kapasitasnya sebagai wakil dari orang yang memberi mandat kepada diriinya sehingga Mu‘âwin tidak terlepas sama sekali dari Khalifah, bahkan ia akan terus melaporkan semua aktivitasnya kepada Khalifah. Hal ini persis seperti yang dilakukan oleh Umar ketika menjadi wazîr bagi khalifah Abu Bakar. Saat itu Umar melaporkan setiap kebijakannya kepada Khalifah Abu Bakar dan melaksanakan kebijakan beliau. M
Maksud dari penyampaian laporan itu bukanlah untuk meminta izin dalam semua persoalan hingga pada hal-hal yang detil. Sebab, jika demikian maka hal ini bertentangan dengan realita Mu‘âwin itu sendiri yang telah diberi kewenangan secara umum sekaligus sebagai wakil Khalifah. Jadi, maksud dari penyampaian laporan itu adalah bahwa Mu‘âwin harus selalu menyampaikan setiap hal kepada Khalifah, misalnya adanya suatu wilayah yang membutuhkan seorang wali yang betul-betul memiliki kemampuan, atau mengenai perlunya mengatasi masalah minimnya bahan makanan yang tersedia di pasar yang diadukan oleh masyarakat, ataupun semua urusan negara yang lainnya; atau Mu‘âwin hanya sekadar menyampaikan masalah-masalah tersebut kepada Khalifah, yakni melapor kepada Khalifah dan Mu‘âwin akan mengikuti apa yang menjadi keputusan Khalifah.
Dengan demikian, pelaporan ini saja telah cukup bagi Mu‘âwin untuk bisa melaksanakan setiap perkara dengan segala rinciannya tanpa memerlukan keluarnya izin dari Khalifah atas aktivitas tersebut. Namun, jika ada hal yang tidak boleh dilaksanakan dalam laporan tersebut, maka Mu‘âwin tidak boleh melaksanakan perkara yang tidak dibolehkan itu. Artinya, penyampaian laporan itu adalah semata-mata menyampaikan perkara atau melaporkan perkara itu kepada Khalifah, bukan meminta izin kepada Khalifah untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, Mu‘âwin Tafwîdh berhak melaksanakan apa yang dia laporkan selama Khalifah tidak menghentikan atau melarang pelaksanaannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 180; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 133; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 59).
Adapun apa yang tertulis pada akhir pasal 45 dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam tersebut, yakni “dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Khalifah”, adalah karena Mu‘âwin Tafwîdh tidak memiliki otoritas kekuasaan sendiri sebagaimana Khalifah, melainkan ia mendapatkan otoritas kekuasaan itu karena adanya mandat dari Khalifah. Dengan demikian, apabila Khalifah memerintah dia dengan suatu perintah, maka ia wajib melaksanakan perintah itu, dan tidak boleh menolak. Apabila Khalifah telah memberi dia kewenangan untuk mengatur semua urusan dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, maka ia menjalankan semua tugas dan wewenangnya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya sendiri, selama Khalifah tidak memerintahkan dia dengan sesuatu yang berbeda dengan pendapat dan ijtihadnya. Apabila Khalifah memerintahkan Mu‘âwin Tafwîdh untuk melaksanakan suatu perkara yang berbeda dengan pendapat dan ijtihadnya, maka wajib atas Mu‘âwin Tafwîdh melaksanakan apa yang diperintahkan Khalifah kepada dia, dan tidak boleh melaksanakan selain dari yang diperintahkan oleh Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 180).
Khalifah Wajib Mengontrol Aktivitas Mu‘âwin Tafwîdh
Sekalipun Khalifah telah memberi Mu‘âwin Tafwîdh wewenang secara umum dan juga posisi untuk mewakili Khalifah, Khalifah tetap wajib mengontrol tugas-tugas Mu‘âwin Tafwîdh dan pengaturan berbagai urusan pemerintahan yang dia lakukan agar Khalifah bisa menyetujui apa saja yang sesuai dengan ketentuan, serta mengarahkan dan meluruskan setiap yang belum sesuai ketentuan. Sebab, pengaturan berbagai urusan umat pada dasarnya adalah sesuatu yang diwakilkan kepada Khalifah dan dijalankan sesuai pendapat dan ijtihadnya. Hal ini sesuai dengan hadis tentang tanggung jawab mengurusi urusan rakyat, yaitu sabda Rasulullah saw.:
الْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, Khalifah yang diserahi tugas untuk mengatur berbagai urusan rakyat bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus atau dia pimpin. Dalam hal ini, Mu‘âwin Tafwîdh tidak bertanggung jawab secara langsung untuk mengurusi urusan rakyat. Akan tetapi, ia hanya bertanggung jawab atas tugas-tugas yang ia laksanakan. Tanggung jawab mengurusi urusan rakyat hanya adapa pada Khalifah. Karena itu, Khalifah wajib mengontrol tugas-tugas Mu‘âwin Tafwîdh dan pengaturan yang dia lakukan. Dengan mengontrol semua aktivitas Mu‘âwin Tafwîdh, Khalifah benar-benar bisa dikatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan rakyat.
Selain itu, karena Mu‘âwin Tafwîdh bisa saja berbuat kesalahan, dan kesalahan yang dilakukan oleh Mu‘âwin harus diluruskan. Jadi, Khalifah harus mengontrol semua tindakan Mu‘âwin Tafwîdh karena dua alasan ini: (1) pelaksanaan tanggung jawab mengurusi urusan rakyat; (2) pelurusan kesalahan yang dilakukan oleh Mu‘âwin Tafwîdh (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 181; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 134; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 61).
Dalam menjalani roda kehidupan ini, tentu setiap orang tidak ingin salah menunjuk atau mengangkat orang lain untuk mewakili dirinya menjalankan suatu aktivitas yang seharusnya ia lakukan sendiri Demikian pula Khalifah ketika menunjuk Mu‘âwin Tafwîdh untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Apabila Mu‘âwin Tafwîdh itu adalah seorang wazîr (pembantu) yang baik, jujur, lurus dan benar, maka ia akan memberi manfaat yang besar bagi Khalifah, karena ia akan mengingatkan Khalifah dengan segala kebaikan dan membantu Khalifah untuk melaksanakan semua kebaikan itu. Aisyah ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا أَرَادَ الله بِالأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَه وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهَ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَه وَإِذَا أَرَادَ الله بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَه وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dia seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar; jika ia lupa, wazir itu akan mengingatkan dirinya, dan jika ia ingat, wazir itu akan membantu dirinya. Jika Allah menghendaki terhadap amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan bagi dia wazîr yang jahat/buruk; jika ia lupa, wazir itu tidak mengingatkan dirinya, dan jika ia ingat, wazir itu tidak membantu dirinya.” (HR Ahmad).
An-Nawawi berkata bahwa sanad hadis ini bagus (jayyid). Al-Bazzar meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad yang dinyatakan oleh al-Haitsami bahwa para perawinya adalah perawi yang sahih (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 56).
Namun, meskipun Mu‘âwin Tafwîdh adalah seorang wazîr (pembantu) yang baik, jujur dan lurus, Khalifah tetap wajib mengontrol dia. Sebab, bagaimanapun juga Mu‘âwin Tafwîdh itu adalah manusia dan tetap manusia yang berpotensi untuk berbuat salah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Ini juga sebagai bentuk tanggung jawab Khalifah dalam mengurusi urusan rakyat.
Khatimah
Mungkin tidak sedikit orang yang khawatir bahwa dengan Khalifah memberi wewenang secara umum pada Mu‘âwin Tafwîdh, juga posisi untuk mewakili Khalifah, maka Mu‘âwin Tafwîdh akan memanfaatkan wewenang dan posisinya ini untuk kepentingan pribadinya, keluarganya dan koleganya. Tentu munculnya kekhawatiran seperti ini adalah wajar saja, dan kemungkinan terjadinya juga perkara yang lumrah dan biasa, jika kita melihatnya dengan kacamata sistem sekarang yang diterapkan di dunia, termasuk di Indonesia, yakni demokrasi sekular, sistem sampah. Namun, dengan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 45 dan 46 ini, kekhawatiran itu tidak perlu ada lagi. Hanya saja, UUD yang agung ini tidak bisa diterapkan dalam sistem sampah sebab bisa-bisa menjadi sampah juga. Untuk itu tentu diperlukan sistem pemerintahan yang agung pula. Di dunia ini tidak ada sistem pemerintahan yang agung, kecuali sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti cara-cara kenabian.
Dengan demikian, jika kita ingin menerapkan UUD yang agung, warisan dari orang yang agung, Rasulullah Muhammad saw, maka yang harus dilakukan terlebih dulu adalah mendirikan sistem pemerintahan yang agung itu, yakni sistem negara Khilafah Rasyidah. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.