HTI

Hiwar (Al Waie)

KH Musthafa Ali Murtadho: Ulama Ahlus Sunnah Mewajibkan Khilafah

Pengantar Redaksi:

Islam dan politik sesungguhnya tak bisa dipisahkan. Karena itu ulama dan politik pun sejatinya tak bisa dijauhkan. Hanya saja, politik Islam berbeda bahkan bertolak belakang dengan politik sekular demokrasi saat ini. Dalam Islam, politik tidak lain adalah bagaimana mengurus rakyat dengan syariah Islam, dan ini tak mungkin terwujud kecuali dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah).

Jika demikian, bagaimana posisi ulama sesungguhnya dalam politik Islam? Bagaimana pula peran ulama di hadapan para penguasa sebagai pengurus rakyat, khususnya saat ini? Jika pengurusan umat dengan syariah Islam hanya mungkin dapat diwujudkan dalam isntitusi Khilafah, bagaimana pula peran ulama dalam perjuangan menegakkan Khilafah?

Itulah beberapa pertanyaan di antara sejumlah pertanyaan Redaksi yang dijawab oleh KH Mustafa Ali Murtadha, Ketua Lajnah Khash li al-Ulama (LKU) DPP HTI. Berikut petikannya.

Salah satu ide yang dipakai menjauhkan ulama dari politik adalah ide bahwa agama tidak mengatur masalah politik. Bagaimana menurut Kiai?

Prof. Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jamu Lughah al-Fuqaha’ (I/253) menjelaskan, politik dalam Islam adalah: ri’âyah syu‘ûn al-ummah bi ad-dakhil wa al-khârij wifqa asy-syarî’ati al-islâmiyyah; artinya pemeliharaan urusan umat di dalam dan luar negeri sesuai dengan syariah Islam. Makna inilah yang ada dalam hadis Nabi saw. riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra: “Bani Israil itu diurus oleh para nabi (tasûsuhum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat maka akan diganti nabi (yang baru). Namun tidak ada nabi setelahku dan akan ada para khalifah dan jumlahnya banyak.”

Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VI/316), menjelaskan pengertian tasusuhum al-anbiyâ’, yaitu mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat-(nya).

Ringkasnya, politik dalam Islam adalah permeliharaan (ri’ayah) urusan umat di dalam dan luar negeri, yang subyeknya adalah negara dan umat. Negara secara real melaksanakan pemeliharaan itu. Umat melakukan kontrol terhadap ri’ayah oleh negara.

Dari situ, kita mafhum mengapa para fuqaha’ saat mengkaji masalah politik, selalu mengaitkan dengan Imamah, atau Khilafah. Sebab, tanpa Khilafah dan Imamah, aktivitas politik dalam Islam tidak akan sempurna. Imam al-Ghazali, di dalam Ihya’ Ulumuddin (I/17) menyatakan, “Agama itu pokok. Kekuasaan itu layaknya pelindung. Sesuatu yang tidak ada pokok atau fondasinya maka akan hancur. Sesuatu yang tidak ada pelindungnya maka akan hilang.”

Jadi, dalam Islam, politik itu perkara ma’lumun minad din bidh-dharurah.  Memisahkan politik dari Islam serta menjadikan Islam sebatas ritus dan moral adalah pendiskreditan Islam. Ide pemisahan Islam dengan politik itu merupakan ide ‘nyleneh’ yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam.

Sering dikatakan, agama itu bersih, sementara politik itu kotor. Apakah karena itu ulama jangan terjun berpolitik sebab nanti akan ikut kotor?

Dr. Samih Athif az-Zain menjelaskan, bahwa politik adalah pemeliharaan serta perbaikan, penegakan, petunjuk dan bimbingan. Artinya, politik itu identik dengan kebaikan dan perbaikan.

Namun, saat ini memang politik identik dengan perilaku menyimpang dari yang haq; identik dengan kebohongan, kecurangan dan penyesatan. Hal itu akibat perilaku politisi dan penguasa yang banyak menyimpang dari yang haq, bertindak zalim dan merampas kepentingan rakyat. Semua itu akhirnya mengaburkan dan mengacaukan pengertian politik yang bersih. Ini adalah fakta politik dalam demokrasi.  Siapa yang melibatkan diri penuh di dalamnya memang bisa tercemar, termasuk ulama.  Jadi ulama menjadi hina bukan karena aktivitas politiknya semata, tetapi karena terlibat dalam aktivitas politik dalam sistem demokrasi. Dalam Islam, keterlibatan dalam aktivitas politik justru akan menjadikan para ulama mulia, akan menjadikan para ulama sebagai sayyidusy-syuhada’.

Bagaimana sebetulnya posisi ulama di tengah umat menurut Islam?

Di dalam Islam, makanah atau posisi ulama sangat istimewa.  Hujjatul Islam Imam al-Ghazali al-Asy’ari asy-Syafi’i, di dalam Ihya’ Ulumuddin (I/5) menjelaskan, “Nabi saw bersabda, “Ulama adalah pewaris nabi.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibn Hibban). Yang pasti, tidak ada posisi melebihi posisi kenabian, dan tidak ada kemuliaan melebihi kemuliaan pewaris kedudukan tersebut.”

Inilah kedudukan ulama dalam pandangan Islam.  Maka dari itu, ma’qul kalau ulama adalah panutan, menjadi rujukan dan uswah bagi umat.

Sekarang tentang ulil amri. Sejauh mana umat wajib taat kepada ulil amri?

Allah SWT memang memerintahkan untuk taat kepada ullil amri, yakni dalam QS an-Nisa’ ayat 59. Al-Allamah al-Hafidz asy-Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir (II/166) menjelaskan, “Ulil Amri adalah para imam, para sultan, para qadhi dan setiap orang yang ada padanya kekuasaan syar’i: bukan kekuasaan thaghut”.  Karena itu para ulama ketika membahas tentang ulil amri selalu terkait dengan khalifah, amirul mukminin dan Khilafah Islam. Mengapa?  Karena muqtadha hal-nya memang begitu.

Maka dari itu, pembahasan ulil amri itu al-ashlu konteksnya adalah di dalam sistem Islam, di dalam kehidupan Islam, di dalam Khilafah Islam. Syariah menetapkan batasan mendengar dan taat adalah selama tidak diperintahkan maksiat pada Allah SWT.  Perintah taat pada ulil amri di atas kurang pas kalau diimplementasikan dalam sistem demokrasi. Bahkan penguasa dalam sistem demokrasi (yang menerapkan hukum selain hukum Allah), penguasa yang zalim, penguasa yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, eksploitasi, imperialisme asing-kafir di negeri Islam, sebutannya bukan ulil amri; tetapi menurut Al-Allamah az-Zamakhsari adalah al-lushush al-muthaghallibah (pencuri yang kebetulan menang).

Ada pandangan nasihat dan kritik terhadap penguasa memang penting, tapi tidak boleh dilakukan di depan umum. Betulkah begitu?

Pendapat bahwa menasihati penguasa harus disampaikan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi otomatis tertolak kalau kita kembali pada al-Quran, as-Sunnah serta apa yang muqarrar ‘inda ahli al-ilm, sepanjang sejarah keemasan Islam. Banyak kisah dan riwayat tentang amar makruf nahi mungkar oleh para sahabat dan para ulama terhadap penguasa yang dilakukan secara terbuka.  Kisah seperti itu banyak sekali, termasuk yang dikisahkan oleh Ibn Khalikan dalam Wafiyyat al-A’yan (II/511), tentang muhasabah lil hukkam oleh Imam Ibn Thawwus, imam ahlus sunnah wal jama’ah, kepada Abu Ja’far al-Manshur. Muhasabah lil hukkam itu disampaikan secara terbuka dan disaksikan langsung oleh Amirul Mukminin fil Hadits, Imam Darul Hijrah, Imam Malik ibn Anas.

Alhasil. bagi ahlu al-ilm, berbagai kisah dan riwayat itu lebih dari cukup untuk mendudukkan kekeliruan pendapat bahwa koreksi pada penguasa itu tidak boleh secara terbuka, dan harus dilakukan secara tertutup, alias dengan sembunyi-sembunyi.

Jadi, bagaimana seharusnya ulama berpolitik?

Kongkretnya, dengan menjadikan para ulama terdahulu radhiyallahu anhum sebagai panutan. Realnya? Berada di garda terdepan dalam menunaikan kewajiban syar’i sebagaimana tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104, yakni menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian penting dari aktivitas politik. Mengapa? Pasalnya, aktivitas ini mencakup amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. Bahkan ini merupakan aktivitas yang terpenting sehingga merupakan bagian dari aktivitas politik paling penting. Ulama tentu lebih wajib dibandingkan dengan umat pada umumnya.

Dalam konteks saat ini, apakah berarti para ulama harus terlibat aktif memperjuangkan Khilafah?

Ya, itu sahih. Mengapa? Banyak nash-nash syariah yang menyatakan tentang ri’ayah asy-syu’un, amar makruf nahi mungkar, muhasabah li al-hukkam, dll. Dalalah al-iltizam nash-nash itu mewajibkan kita, umat Islam, untuk mewujudkan Khilafah Islam, sebagai satu-satunya  institusi politik untuk melaksanakan fungsi ri’ayah asy-syu’un, untuk melaksanakan fungsi menerapkan hukum Allah. Karena itu terlibat langsung, aktif berada di garda terdepan dalam perjuangan menegakkan Khilafah, bukan hanya partisipasi politik, tetapi kewajiban syar’i kita sebagai umat Islam, terutama para ulamanya. Al-Hafizh asy-Syaukani ketika menjelaskan firman Allah surah Ali Imran ayat 104, beliau menegaskan, bahwa kewajiban untuk melaksanakan firman Allah SWT ini adalah fardhu kifayah, dan kewajiban tersebut dikhususkan untuk ahlu al-ilm (ulama).

Namun, ada yang ingin menjauhkan ulama dari perjuangan ini dengan mengatakan khilafah itu bukan kewajiban syar’i, itu hanya politik. Bagaimana sikap kita?

Itu hanya opini tanpa dasar. Istilahnya opini “qâla wa qîla”, atau konon kabarnya. Opini seperti itu untuk para ulama malah akan jadi guyonan atau tertawaan. Para ulama tahu persis bahwa menegakkan Khilafah, mengangkat imam, mengangkat khalifah adalah kewajiban syar’i kolektif kita sebagai umat Islam.  Jika kita merujuk kitab-kitab fikih, kita akan menemukan para ulama berbagai mazhab muttafaq bahwa menegakkan Khilafah itu wajib. Kewajiban ini adalah kewajiban yang bersifat syar’i, bukan bersifat ‘aqli.

Imam Alauddin al-Kassani, ulama besar mazhab Hanafi, dalam kitab Bada’iush-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i (XIV/406), menegaskan: “Mengangkat imam yang agung (khalifah) adalah fardhu, tanpa ada perbedaaan di antara ahlul haq.” Hal senada ditegaskan oleh Al-Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi al-Asy’ari asy-Syafi’i dalam kitab Syarh Shahih Muslim (VI/291). Al-Allamah asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitsami asy-Syafi’, dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (1/25), bahkan menegaskan, “Ketahuilah bahwa sahabat ra. telah sepakat bahwa mengangkat imam setelah lewatnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka ra. menjadikan mengangkat imam tersebut sebagai kewajiban paling penting. Mereka (lebih) menyibukkan diri mereka untuk mengangkat imam tersebut daripada memakamkan (jenazah suci) Rasulullah. Perbedaan mereka dalam penentuan (siapa yang menjadi imam) tidak menodai ijmak (shahabat) yang disebutkan.”

Bagaimana jika ada yang menyatakan bahwa Khilafah bukanlah tujuan dari perjuangan ulama ahlul sunnah wal jamaah?

Khilafah memang bukan tujuan perjuangan ahlus sunnah wal jamaah. Kalau kita perhatikan aqwal para ulama ahlus sunnah wal jamaah, mengangkat khalifah memang bukan tujuan. Namun, Khilafah adalah satu-satunya institusi untuk menerapkan hukum Allah, untuk menjaga kesucian Islam, dll. Syaikh Manshur al-Buhuthi al-Hanbali, ulama besar mazhab Hanbali, dalam kitab Kasysyaf al-Qina’ ‘an-Matn al-Iqna’ (XXI/61), menyatakan,  “(Mengangkat imam/khalifah) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah) karena masyarakat membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kesucian, mempertahankan wilayah, menegakkan hudud dan  menunaikan hak; juga untuk  memerintahkan yang makruf serta melarang yang mungkar.”

Jadi, menegakkan Khilafah Islamiyah memang bukan tujuan. Namun, kita wajib menegakkan Khilafah sebagai thariqah  satu-satunya untuk menerapkan hukum Allah SWT.

Terakhir, khusus untuk Indonesia, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama?

Dalam konteks Indonesia, kita sadar betul bahwa biang krisis multidimensional adalah sistem demokrasi yang diterapkan di negeri kita. Maka dari itu, pertama, harus ada kesadaran masyarakat atas realitas yang rusak, atas rusaknya sistem demokrasi. Sistem inilah yang menjadikan negeri kita tenggelam dalam krisis multidimensional. Inilah sistem yang zalim, yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, dominasi serta penjajahan asing-kafir atas negeri kita. Sistem ini pula yang menerapkan hukum selain hukum Allah. Sistem ini jelas bertentangan dengan Islam.

Kedua, harus ada kesadaraan masyarakat tentang realitas sistem penggantinya, yakni harus ada pemahaman tentang Khilafah Islam, Umat harus sadar bahwa hanya Khilafah Islam yang merupakan sistem yang shahih dan shalih. Lebih dari itu, Khilafah Islamiyah itu identik dengan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya saw.

Di sinilah pentingnya peran para ulama. Para ulama sebagai guru, rujukan dan panutan masyarakat, sangat menentukan cepat-lambatnya terbentuknya kesadaran di tengah-tengah masyarakat tentang tiga hal di atas. Para ulama sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya pembentukan opini umum.

Peran ulama sebagai sebagai ashab al-fa’aliyyah sangat menentukan. Seperti yang dilakukan oleh Saad bin Muadz ra.  dengan kaumnya Bani Abdul Asyhal, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh as-Suhaili dalam Rawdh al-Unuf fi Syarh Gharib as-Siyar (II/258). Saad bin Muadz, setelah masuk Islam, menyeru kaumnya Bani Abdul Asyhal untuk masuk Islam. Sore harinya sebagian besar kaumnya pun telah masuk Islam. Pola rekrutmen seperti itu, yang mampu melakukan di antaranya adalah ulama.

Alhasil, dalam konteks Indonesia peran ulama dalam dakwah difokuskan pada dua hal: mempercepat akselarasi perwujudan opini umum (tentang kewajiban menerapkan syariah dalam institusi Khilafah, red.) dan melejitkan laju rekrutmen. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*