Bolehkah Khilafah menjadi negara yang menganut mazhab tertentu atau mengadopsi hukum Islam di tengah-tengah masyarakat berdasarkan mazhab tertentu? Jawabannya, tentu tidak boleh. Mengapa? Pertama: karena Khilafah adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang bisa menjadi wadah bagi mereka, dengan perbedaan latar belakang paham keagamaan dan politiknya. Khilafah juga akan menjadi pemersatu umat Islam dalam satu wadah. Dengan begitu umat ini akan menjadi satu umat, satu negara dan satu kepemimpinan.
Kedua: karena umat Islam di seluruh dunia memiliki berbagai mazhab keislaman, baik dalam konteks akidah maupun hukum. Keberagaman pemahaman ini merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan, karena dua faktor yang sama-sama dibenarkan oleh Islam; (1) faktor nash, yang berpotensi untuk dipahami secara berbeda; (2) faktor intelektual, yang berpotensi menghasilkan pemahaman secara berbeda satu sama lain. Dengan kenyataan ini, bukan berarti persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia tidak bisa diwujudkan. Kesatuan umat bisa diwujudkan kalau ada negara dan negara tersebut tidak berpihak pada mazhab tertentu, tetapi mengayomi semua mazhab, bahkan agama, etnik dan bangsa.
Fakta-fakta di atas hanya bisa diwujudkan jika negara Khilafah dibangun berdasarkan akidah dan hukum Islam, bukan mazhab tertentu; baik dalam konteks akidah maupun hukum Islam. Ini artinya, negara tidak boleh mengadopsi pemikiran mazhab dan furû’ akidah tertentu. Karena dengan pengadopsian pemikiran mazhab dan furû’ akidah tertentu, berarti negara akan memaksa orang yang telah memeluk Islam untuk memeluk pemikiran akidah tertentu. Tentu ini lebih tidak boleh, karena memaksa orang kafir—yang notabene belum memeluk Islam—untuk memeluk Islam saja tidak boleh (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 258). Selain itu, jika ini ditempuh oleh negara, maka kebijakan negara ini pasti akan menimbulkan haraj (kesulitan) di tengah-tengah kehidupan umat, sementara hal ini juga tidak dibenarkan dalam Islam (Lihat: QS al-Hajj [22]: 78).
Meski begitu, negara harus menjadikan akidah Islam secara umum sebagai landasan dan payung bagi semua mazhab atau furû’ pemikiran akidah tertentu. Negara juga dibenarkan, bahkan harus mengadopsi, dalil mana yang bisa dijadikan sebagai dalil akidah dan tidak. Seluruh pemikiran dan hukum yang kemudian menjadi undang-undang juga harus dibangun berdasarkan prinsip, bahwa semuanya itu merupakan pemikiran dan hukum Islam, bukan pandangan kemazhaban. Meski pada awalnya pemikiran dan hukum tersebut diambil dari mazhab fikih tertentu, ketika diadopsi oleh negara, itu bukan sebagai pandangan mazhab fikih tertentu, melainkan sebagai hukum syariah. Setelah itu, hukum tersebut akan menjadi hukum positif dan mengikat semua penganut mazhab. Dalam hal ini, kaidah syariah mengatakan, “Li shulthan an yaqdhiya ma yahdutsu min al-musykilah (Seorang penguasa [Khalifah]) berhak menetapkan hukum berdasarkan kasus yang sedang terjadi.” [Nur Amalia; Ibu Rumah Tangga asal Blitar]