Perbedaan adalah hal biasa. Manusia itu tidaklah bisa disamakan dari sisi pemahamannya terhadap sesuatu. Satu keluarga pun bisa terjadi perbedaan pendapat, apalagi dalam satu negara atau suatu kaum. Akan tetapi, ada perbedaan yang boleh dibiarkan dan ada yang harus diselesaikan. Saat ini, semua perbedaan dibiarkan sehingga sebuah perbedaan yang bertentangan dengan agama pun menjadi sesuatu yang harus ditoleransi.
Perbedaan di tubuh kaum Muslim sudah terjadi sejak zaman para sahabat. Para sahabat memiliki kemampuan untuk menggali sendiri hukum syariah atas sesuatu hal. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena beberapa hal; di antaranya perbedaan dalam membaca fakta, perbedaan dalam nash yang digunakan serta perbedaan dalam intelektual mujtahidnya. Perbedaan pendapat selama berdasar atas dalil syar’i tidak menjadi masalah. Masing-masing saling menghormati hasil ijtihad sahabatnya. Akan tetapi, ketika Khalifah mengadopsi salah satu pendapat, seluruh kaum Muslim wajib melaksanakan pendapat yang diadopsi tersebut walaupun bertentangan dengan pendapatnya. Sebagai contoh, pada saat Abu Bakar menjadi khalifah, beliau menerapkan aturan bahwa setiap hasil rampasan perang harus dibagi sama rata atas seluruh kaum Muslim. Pada saat itu, Umar memiliki pendapat yang berbeda, tetapi Umar taat akan aturan yang diterapkan Abu Bakar. Begitu juga dengan kaum Muslim yang lain. Pada saat Umar menjadi khalifah, ia menerapkan pendapatnya yaitu setiap hasil rampasan perang tidak dibagi sama rata, tetapi diberikan sesuai keadaan masing-masing; di antaranya siapa yang lebih dulu masuk Islam, siapa yang lebih membutuhkan dan pertimbangan lainnya. Semua sahabat taat dan melaksanakan apa yang diadopsi Khalifah Umar walaupun mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan Umar.
Perbedaan juga tampak pada banyaknya mazhab di kalangan kaum Muslim. Khalifah akan mengakomodasi semua perbedaan tersebut. Karena banyaknya hasil ijtihad menunjukkan bahwa kaum Muslim produktif. Akan tetapi, Khalifah tidak menerapkan salah satu mazhab yang ada. Yang khalifah lakukan adalah menerapkan hukum Islam yang satu. Adapun sumbernya bisa jadi berasal dari salah satu mazhab, ataupun hasil ijtihad khalifah sendiri. Ketika sudah diadopsi oleh Khalifah, itu menjadi hukum positif dan akan mengikat semua warga negara.
Suatu mazhab yang tidak diadopsi oleh negara bukan berarti tidak boleh diajarkan kepada umat. Negara membolehkan upaya mengajarkan atau mendakwahkan hukum tertentu yang berasal dari mazhab tertentu. Namun, untuk penerapan oleh negara, hukum positif yang berlaku hanyalah hukum yang diadopsi oleh negara. Hal tersebut mengakibatkan kaum Muslim tetap produktif menghasilkan karya-karya tertentu, berlomba-lomba melakukan ijtihad dengan berlandaskan dalil syar’i. Yang penting, ketika suatu hukum sudah diadopsi negara, maka kaum Muslim harus ikhlas menaati hukum negara walaupun mereka mempunyai pemahaman atau mazhab yang berbeda dengan hukum positif yang ada. Dengan demikian, adanya adopsi suatu hukum oleh Khalifah akan menyatukan kaum Muslim. [Yara Yulistia Permana; Ponpes Darul Muttaqien, Parung-Bogor]
Khilafah mensejahterakan umat