Ulama adalah pewaris para nabi. Demikian sabda Baginda Rasulullah saw. Sejatinya sepeninggal Baginda Rasulullah saw., para ulama tidak hanya mewarisi risalah beliau; tetapi juga mewarisi misi dakwah dan jihad beliau; mewarisi sifat dan akhlak beliau; juga mewarisi keitiqamahan, keteguhan, kesabaran, semangat dan keberanian beliau dalam memperjuangkan dan membela agama ini tanpa pernah khawatir dan takut terhadap celaan para pencela. Karena itulah, para ulama pun seharusnya ‘mewarisi’ penderitaan Rasulullah saw. yang banyak dihadapkan pada ragam tantangan, celaan, hujatan bahkan penganiayaan secara fisik dari para penentang dakwah beliau.
Sayangnya, hari ini banyak sekali ulama yang mewarisi risalah Rasulullah saw. dengan menguasai banyak khazanah ilmu-ilmu Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Namun, sedikit sekali dari mereka yang mewarisi keistiqamahan, keteguhan, kesabaran, semangat dan keberanian beliau dalam memperjuangkan dan membela agama ini tanpa pernah khawatir dan takut terhadap celaan para pencela. Lebih sedikit lagi ulama yang mau dan siap ‘mewarisi’ penderitaan Rasulullah saw. yang banyak dihadapkan pada ragam tantangan, celaan, hujatan bahkan penganiayaan secara fisik dari para penentang dakwah beliau.
Hari ini banyak ulama yang berdakwah, tetapi dakwah mereka sebatas berada di zona aman dan nyaman; aman dari gangguan para penguasa zalim, nyaman karena kadang mendatangkan materi berkelimpahan.
Jelas, bukan seperti itu karakter ulama pewaris para nabi. Pasalnya, tak ada seorang nabi pun yang menikmati zona aman dan nyaman saat mereka mengemban risalah Allah SWT. Para nabi seperti Nabi Nuh as., Nabi Luth as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as. dan tentu Baginda Nabi Muhammad saw.; semuanya merasakan penderitaan yang sama saat mengemban dakwah. Mereka dicacimaki, diintimidasi, diboikot, dianiaya secara fisik, bahkan diancam untuk dibunuh.
Tampaknya para ulama hari ini perlu mengingat kembali keteladanan para ulama yang benar-benar menjadi pewaris para nabi, baik di era sekarang dan terutama di era masa lalu yang sesungguhnya kisah-kisah emas mereka bertaburan dalam sejarah Islam yang amat panjang.
Berikut ini hanyalah secuil kisah keteladanan para ulama pewaris nabi, yang tentu saja layak diteladani oleh generasi Muslim masa kini, khususnya oleh para ulamanya.
Imam Malik bin Anas
Imam Malik adalah seorang ulama mujtahid sekaligus guru Imam Syafii. Di antara ujian yang beliau derita adalah pada tahun 146 H, yakni saat Khalifah Abu Ja’far melarang beliau menyampaikan suatu hadis. Diam-diam, ada yang bertanya kepada Imam Malik tentang hadis tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadis ini ke khalayak. Mendengar demikian Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah, memukul Imam Malik 30 kali, dalam riwayat lain 70 kali. Sebagian perawi menyebutkan, penyebab Imam Malik dipukul karena fatwa beliau, bahwa pengangkatan Abu Ja’far sebagai khalifah tidak sah karena melalui paksaan.
Izzuddin bin Abdus Salam
Beliau adalah seorang ulama mujtahid sekaligus mujahid. Beliau adalah seorang faqih dari mazhab Syafii. Selain itu beliau adalah seorang pelaku amar makruf nahi mungkar yang terang-terangan tanpa sedikitpun takut kepada penguasa. Karena keagungan dan kebesarannya, beliau digelari Sulthan al-‘Ulama, rajanya para ulama.
Secara khusus beliau juga memiliki perhatian lebih dalam urusan jihad. Bukti perhatian beliau dalam masalah jihad ini terlihat dari kitab beliau yang berjudul Ahkam al-Jihad. Beliau bahkan turun langsung ke medan jihad. Suatu ketika dalam sebuah pertempuran melawan tentara Tatar, ketika rakyat Mesir sudah hampir kalah dan rasa takut telah menghampiri mereka. Dalam perang itu, beliau langsung menyemangati dan ikut berperang dengan penuh semangat dan keberanian sehingga datang pertolongan Allah yang memenangkan kaum mujahidin Mesir.
Beliau bukanlah seorang ulama yang gila kekuasaan dan menghambakan diri pada penguasa. Beliau tidak mencari muka di depan penguasa. Malah beliau tunjukkan harga diri di depan para penguasa dengan nasihat-nasihat terang-terangan yang jitu. Beliau juga tidak berhenti sekadar merasa nikmat dalam shalat dan ibadah-ibadah ritual lainnya, tetapi beliau turut peduli dengan penderitaan umat dengan memimpin jihad untuk membela kaum Muslim.1
Imam Jalaluddin as-Suyuthi
Imam as-Suyuthi rahimahulLah dikenal sebagai seorang ulama yang berani, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syariah dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Beliau tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Beliau telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan peradilan. Namun, beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum Islam tanpa mempedulikan kemarahan penguasa. Bahkan jika ia melihat ada qadhi (hakim) yang menakwilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka, maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya; menerangkan kesalahannya dan meluruskannya. Demikian seperti yang dikemukakan dalam kitab, Al-Istinshar bi al-Wahid al-Qahhar.
Hasan al-Bashri
Hasan al-Bashri adalah salah seorang di antara para ulama yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah. Sebaliknya, ia tak pernah gentar terhadap penguasa dunia yang lalim. Beliau berani menentang penguasa Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ia berani mengungkap keburukan perilaku penguasa tersebut di hadapan rakyat dan menyampaikan kebenaran di hadapannya. Beliau sangat terkenal dengan ucapannya, “Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Karena keberaniannya itulah beliau harus menanggung ragam penderitaan.
Sufyan ats-Tsauri
Sufyan ats-Tsauri adalah ulama besar. Rasa takutnya kepada Allah pun begitu besar. Keberaniannya terhadap penguasa lalim pun tak diragukan. Ia pernah menentang apa yang dilakukan penguasa Abu Ja’far al-Manshur ketika dia mendanai dirinya dan para pengikutnya yang beribadah haji ke Baitul-Haram dalam jumlah yang sangat besar, yang diambil dari Baitul Mal milik kaum Muslim. Dengan sikapnya ini, hampir saja polisi al-Manshur membunuh beliau.
Abu Muslim al-Khaulani
Abu Muslim al-Khaulani adalah salah seorang ulama pada masa Khalifah Muawiyah. Dalam suatu riwayat disebutkan, suatu ketika Khalifah Muawiyah hendak memulai pidatonya. Saat itu Abu Muslim al-Khaulani segera berdiri dan berkata bahwa ia tidak mau mendengar dan menaati Khalifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Karena engkau telah berani memutuskan bantuan kepada kaum Muslim. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu.”
Mendengar itu Khalifah Muawiyah sangat marah. Namun, ia segera turun dari mimbar, pergi dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari Baitul Mal.2
Syaikh Ibn Taimiyah
Salah seorang ulama besar sepanjang sejarah Islam adalah Al-’Allamah Syaikh Imam Ibn Taimiyah. Kebesaran beliau bukan semata-mata dari sisi keilmuannya semata; tetapi juga dari sisi ketakwaan, kesalihan, ketekunan dalam beribadah, kezuhudan, kewaraan, kesabaran, keteguhan serta semangat kepahlwanan dan keberaniannya baik di medan dakwah maupun di medan jihad (perang) fi sabilillah.
Beliau adalah orang yang keras pendirian dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah; mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna; yakni dalam tafsir, akidah, hadis, fikih, bahasa Arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya. Beliau bahkan melampaui kemampuan para ulama zamannya.3
Imam adz-Dzahabi rahimahullâh (w. 748 H) juga berkata, “Pada zamannya, ia adalah satu-satunya yang terbaik dalam hal ilmu, kezuhudan, keberanian, kemurahan, amar makruf nahi mungkar, banyaknya buku-buku yang disusun serta amat menguasai hadis dan fikih.”
Sejarah telah mencatat, Ibnu Taimiyah bukan saja ulama besar wara’, zuhud dan ahli ibadah; tetapi pejuang di medan jihad (perang). Bahkan beliau adalah seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman musuh dengan pedangnya, sebagaimana bahwa beliau adalah pembela akidah umat dengan lisan dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Akhirnya, dengan izin Allah, pasukan Tartar berhasil dihancurkan hingga selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak pada al-haq ternyata menyalakan api kedengkian dan kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafik kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan; dipenjara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
Penjara tidak menghalangi Ibn Taimiyah untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang akidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah. Pengagum-pengagum beliau di luar penjara semakin banyak. Di dalam penjara pun banyak penghuninya yang menjadi murid beliau. Mereka beliau ajari agar selalu ber-‘iltizâm dengan syariah Allah; selalu beristigfar, tasbih dan berdoa; serta selalu melakukan amalan-amalan sahih. Hasilnya, suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersama beliau. Akhirnya, penjara berubah menjadi ‘pesantren’; penuh dengan orang-orang yang mengaji dan menuntut ilmu dari beliau. Beliau akhirnya wafat di dalam Penjara Qal’ah Damaskus pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728H.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah pendiri Hizbut Tahrir sekaligus amir pertamanya. Beliau dilahirkan di Ijzim masuk wilayah Haifa, Palestina. Pendidikan awal beliau terima dari ayah Beliau. Di bawah bimbingan sang ayah, beliau sudah hapal al-Quran seluruhnya sebelum usia 13 tahun. Ibunda beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah yang diperoleh dari kakek beliau Syaikh Yusuf an-Nabhani4—seorang qadhi, penyair, sastrawan dan ulama besar.
Sejak usia dini Syaikh Taqiy telah bergelut dengan masalah politik ketika dibimbing oleh sang kakek. Begitu pula ketika beliau kuliah di Dar al-‘Ulum dan al-Azhar. Teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktivitas tanpa lelah beliau dalam diskusi politik dan keilmuan. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritisi kemunduran umat dan mendorong aktivitas politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peran aktif dalam membangkitkan umat.5
Setelah kembali dari studi di al-Azhar, beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat, seputar upaya membangkitkan kembali umat Islam. Syaikh Taqiy pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama Mujahid masyhur Syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.6
Pada akhir 1952 dan awal 1953 beliau mendirikan Hizbut Tahrir di al-Quds.7 Namun, Pemerintah Yordania mengeluarkan larangan terhadap Hizbut Tahrir dan menyatakan aktivitasnya sebagai ilegal. Hizb mengabaikan hal itu dan terus beraktivitas hingga sekarang.8
Pada tahun 1953, Syaikh Taqiy bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di Al-Quds.
Syaikh melakukan perjalanan ke Irak beberapa kali untuk tujuan thalabun-nushrah. Beliau pernah ditangkap dan disiksa di sana. Namun berbagai siksaan yang ditimpakan interogator itu tidak mendapatkan hasil. Akibat ragam siksaan, tangan beliau lumpuh dan beliau sangat lemah akibat keras dan jahatnya siksaan yang dilakukan para thaghut itu kepada beliau. Semua itu hanya karena satu hal: keteguhan dan keistiqamahan beliau dalam memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah.
Syaikh Abdul Qadim Zallum
Syaikh Abdul Qadim Zallum adalah amir kedua Hizbut Tahrir. Beliau dilahirkan pada tahun 1342 H – 1924 M, menurut perkataan paling rajih, di kota al-Khalil (Hebron), Palestina. Beliau berasal dari keluarga yang dikenal luas dan terkenal keberagamaannya (relijius). Ayah beliau rahimahuLlâh adalah penghapal al-Quran (hafizh Quran).
Beliau menempuh pendidikan dasar di Madrasah al-Ibrahimiyah di al-Khalil. Setelah beliau genap berusia lima belas tahun, ayahanda beliau mengirimkan beliau ke Universitas al-Azhar Kairo. Hal itu terjadi pada tahun 1939 M. Beliau memperoleh ijazah al-Ahliyah al-Ulâ pada tahun 1942 M. Berikutnya memperoleh ijazah Pendidikan tinggi (Syahâdah al-Aliyah) Universitas al-Azhar pada tahun 1947. Kemudian beliau memperoleh Ijazah al-Alamiyah dalam bidang keahlian al-Qadhâ’ (peradilan)—setara ijazah doktor sekarang ini—pada tahun 1368 H – 1949 M.
Selama perang Palestina-Israel, Syaikh Zallum beraktivitas menghimpun para pemuda dan kembali dari Mesir untuk berjihad di Palestina.
Syaikh Zallum berjumpa dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlâh pada tahun 1952. Lalu Syaikh Zallum pergi ke al-Quds untuk bergabung dengan Syaikh Taqiyuddin dan melakukan kajian serta berdiskusi seputar masalah partai (Hizb). Beliau telah bergabung dengan Hizbut Tahrir sejak awal mula aktivitas Hizb.
Beliau pernah ditangkap dan dijebloskan di Penjara al-Jafar ash-Shahrawi di bagian selatan Yordania. Penjara ini khusus untuk para tahanan politik. Beliau menempati penjara itu selama beberapa tahun sampai Allah memberikan karunia dengan pembebasan beliau.
Syaikh Zallum rahimahuLlâh lebih mengedepankan dakwah dari keluarga, anak-anak dan kenikmatan-kenikmatan dunia yang berlimpah. Beliau rahimahuLlâh senantiasa menyampaikan dan berjalan di dalam kebenaran, tidak takut sedikitpun di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Beliau terus beraktivitas tanpa kenal lelah dan tidak pernah bersikap lemah di jalan dakwah. Beliau dikenal dengan kesabaran dan kekuatan di jalan dakwah. Beliau hidup terasing dan dikejar-kejar oleh orang-orang zalim hingga Allah SWT mewafatkan beliau. [abi]
Catatan kaki:
1 Dr. Salman bin Fahd al-‘Audah, Sulthan al-‘Ulama.
2 Al-Badri, Al-Islâm bayna al-Ulamâ’ wa al-Hukkâm, hlm. 101.
3 Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Ibn Taymiyah, Bathal al-Islâh ad-Dîni, (Damaskus: Maktabah Darul-Ma’rifah, 1977).
4 Hizb ut-Tahrir’s Media Office, The Founder of Hizb at-Tahrîr ut-Tahrir, Hizb-ut Tahrir.org.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid.