Peberadaan ulama di tengah-tengah masyarakat amat penting bagi kehidupan umat. Sosok yang disebut oleh Rasulullah saw. sebagai pewaris para nabi (Waratsatul Anbiya’) dituntut untuk memainkan perannya sebagai pemimpin umat dalam meneruskan dakwah Rasulullah saw.; berdiri di garda terdepan bersama umat menegakkan kalimatilLah di muka bumi.
Ulama adalah figur sentral yang sangat berpengaruh terhadap kondisi suatu masyarakat. Mereka memiliki andil besar apakah suatu masyarakat itu dalam kebaikan ataukah dalam keburukan. Jika ulama menjalankan tugasnya dengan baik niscaya umat dapat menjadi baik. Jika ulama abai terhadap tugasnya, niscaya umat juga menjadi rusak. Gambaran ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad-Din (VII/92): rusaknya masyarakat akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama.
Saat ini kondisi umat Islam begitu memprihatinkan. Hal ini tercermin pada semua lini kehidupan; sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Seluruh negeri Muslim masih dijajah, baik itu secara fisik maupun non-fisik. Alhasil, terjadilah penistaan terhadap Islam dan kaum Muslim. Kemiskinan, dekadensi moral dan perpecahan terus mewarnai kehidupan umat Islam.
Carut-marutnya Dunia Islam tersebut diakibatkan karena umat Islam sudah tak lagi memiliki perisai pelindung bagi umat, sebagai penjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim, sebuah institusi politik penerap syariah Islam secara kaffah. Itulah negara khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Akibat ketiadaan khilafah ini, hukum Islam terus di sia-siakan, sementara hukum kufur justru menjadi kredo para penguasa. Maka dari itu, sudah selayaknya para ulama tak boleh tinggal diam atas perkara besar ini. Ulama harus lantang menyampaikan kebenaran meski itu pahit.
Ulama harus sadar politik. Politik dalam arti pengaturan urusan umat. Menimbang segala permasalahan umat dengan sudut pandang Islam dan mengambil solusi atas segala persoalan dengan solusi Islam. Ulama harus terus melakukan amar makruf nahi mungkar, sigap mengawal penguasa dalam menerapkan hukum-hukum-Nya. Saat peran politik ulama pudar, implikasinya seperti yang dialami dunia Islam saat ini.
Pudarnya Peran Politik Ulama
Pudarnya peran politik ulama dicirikan oleh kemunculan beberapa tipikal ulama berikut:
1. Ulama yang apolitis. Ulama jenis ini tidak hirau dengan persoalan politik umat.
Detik ini negeri-negeri kaum Muslim di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Irak, Suriah, Afrika Tengah, Rohingnya dll terus mengalami penistaan. Pembantaian terus terjadi dengan jumlah kerugian jiwa maupun materi sudah tak terhitung lagi. Sayangnya, banyak ulama yang tidak begitu peduli dengan kondisi ini. Sebagai contoh ada seorang ulama yang dikenal cukup kontroversial asal Indonesia, justru sempat-sempatnya menyindir melalui iklan media massa atas penderitaan saudara di Timur Tengah demi kepentingan kampanye politik sebuah parpol dalam rangka pemenangan Pemilu 2014. Di Saudi Arabia, beberapa waktu lalu keluar fatwa nyleneh dari seorang mufti Kerajaan yang melarang para pemuda Arab berjihad mempertahankan bumi kaum Muslim dan membela saudaranya di Suriah (Saudi Pers Agency, 23/03/13).
2. Ulama salathin pembela penguasa zalim.
Ulama salathin merupakan bagian dari ulama su’. Sebagaimana menurut Imam Al-Ghazali, ada dua jenis ulama: ulama akhirat/ulama al-khair (ulama yang baik) dan ulama dunia/ulama su’ (ulama yang jelek). Ulama akhirat adalah ulama pewaris para nabi. Mereka membimbing ke jalan keselamatan dan menjadi pelita bagi umat. Ulama dunia adalah ulama yang menjadi penyesat dan perusak; ia beramal tak sesuai ilmunya. Mereka begitu mencintai harta dan jabatan sehingga rela menjual agamanya. Keberadaan ulama su’ ini dicela oleh Rasulullah saw., “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’. Mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR. Al-Hakim).
Ulama salathin berada di pintu-pintu penguasa guna menyenangkan para penguasa dengan mengharap imbalan jabatan maupun harta. Kasus ini terjadi di banyak negeri Muslim. Cukup banyak ulama yang telah dikooptasi oleh para penguasa dan menjadi penopang eksisnya sebuah rezim. Para ulama ini acap mengeluarkan fatwa-fatwa pesanan penguasa untuk memuluskan kepentingan tuannya itu. Di Mesir, misalnya, pasca tergulingnya Mursi, seperti diberitakan laman New York Times (25/08/13), Presiden Al-Sisi menggandeng para ulama untuk tampil di media-media setempat guna membunuh karakter lawan politiknya, yakni Ikhwanul Muslimin.
3. Ulama yang mempromosikan sistem kufur: demokrasi, sekularisme, pluralisme, nasiona-lisme, dll.
Jika orang kafir Barat mempromosikan sistem kufur (demokrasi, sekularisme, kapitalisme, nasionalisme, dll), tentu bisa dikatakan wajar. Pasalnya, sistem ini memang lahir dari Barat dan buah pikir para intelektual barat. Namun, akan tampak aneh ketika sistem kufur justru dipromosikan oleh kaum Muslim apalagi ulama. Padahal Allah SWT telah menyediakan sistem-Nya, yakni sistem Islam.
Para ulama ini gencar melakukan promosi sistem kufur melalui khutbah-khutbahnya maupun buku-buku yang telah mereka tulis dengan cara melegimitasi dengan nash-nash syariah. Mereka memaksa untuk mengawinkan Islam dengan sistem kufur. Hasilnya pun cukup berhasil menginspirasi sebagian umat Islam yang kemudian menjadi pengemban dan pembela sistem kufur karena mengikuti ulama tersebut.
4. Ulama “selebriti” yang mengikuti selera pasar.
Tak sedikit ulama yang hanya mengikuti selera pasar dalam materi dakwahnya. Mereka cenderung khawatir ditinggal penggemarnya alias tidak laku lagi sebagai da’i apabila menyampaikan suatu kebenaran. Padahal umat ini membutuhkan dakwah yang bersifat menyeluruh (kaffah) dengan tidak menyembunyikan sebagian syariah yang lain.
Ketika dakwah dilakukan dengan cara memilih dan memilah yang sekiranya materi itu disukai umat, dakwah pun gagal menjadikan umat berkepribadian Islam secara utuh. Misal, umat mungkin rajin shalat dan shalawat, namun mereka masih ridha terhadap demokrasi sistem kufur; atau umat menjadi rajin bersedekah dan berakhlak baik terhadap sesama, tetapi masih akrab dengan riba dan budaya hedonis lainnya.
5. Ulama yang justru menganggap syariah dan khilafah sebagai ancaman.
Ulama seperti ini benar-benar keterlaluan. Entah apa yang ada di benaknya saat menganggap sistem yang dirujuk dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. sebagai ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak segan-segan mereka pun menyatakan penolakan terbuka atas upaya penegakkan syariah dan khilafah dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Bahkan di beberapa kesempatan mereka mencoba melakukan black campaign kepada pejuang khilafah di hadapan khalayak umum.
Faktor Penyebab
Setidaknya ada beberapa faktor penyebab mengapa fenomena di atas bisa terjadi.
1. Ulama tidak memahami Islam sebagai sebuah ideologi atau sistem kehidupan.
Gencarnya serangan pemikiran yang dilancarkan Barat mengakibatkan umat Islam termasuk sebagian ulamanya mengalami kemunduran berpikir. Dampaknya, Islam tak lagi dipandang sebagai sebuah sistem ideologi (mabda’). Ulama yang tak memiliki kesadaraan ideologis ini melakukan syiar agama layaknya rahib-rahib di agama lain. Mereka hanya menitik beratkan pada persoalan ukhrawi saja. Disiplin ilmu yang dikuasai ulama ini pun tak lagi komprehensif. Dakwahnya sebatas persoalan syariah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Adapun syariah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama (politik, ekonomi, dsb) masih belum didalami. Ekonomi Islam, misalnya, dipahami sebatas bank syariah, atau politik Islam dipahami sebatas politik yang jujur dan santun.
2. Ulama terlalu cinta dunia dan takut penguasa.
Banyak ulama yang terlalu mencintai dunia sehingga lisannya mulai kelu untuk menyampaikan kebenaran, terutama di hadapan penguasa. Harta dan jabatan memang tampak manis dan lezat untuk dinikmati. Awalnya ulama tersebut memiliki motivasi tinggi bahwa dengan harta dan jabatan itu akan melancarkan dakwah. Namun, saat dirasa kemewahan dunia itu begitu mempesona, idealisme ulama pun kian pudar. Ia sangat takut kehilangan harta maupun jabatannya apabila menyerukan kebenaran.
Saking cintanya pada dunia, ulama ini pun menjadi takut dengan penguasa. Ia takut mengambil risiko atas dakwahnya jika harus mengoreksi penguasa. Hal ini bertolak belakang dengan para ulama dulu Mereka begitu berani mengingatkan penguasa meski harus berhadapan dengan hukuman yang bisa mengancam nyawanya.
3. Ulama gagal memahami fakta dan realitas: ideologi kufur, pemikiran kufur, dll.
Ideologi dan pemikiran kufur seperti halnya demokrasi memang didesain oleh Barat sedemikian rupa supaya tampak indah. Hasilnya, umat termasuk sebagian ulama mempunyai kesimpulan yang keliru terhadap realitas demokrasi. Misal, demokrasi dianggap tidak bertentangan dengan Islam karena mirip dengan syura (musyawarah). Padahal menyamakan syura dengan demokrasi adalah kesimpulan yang prematur. Demokrasi adalah sebuah pandangan hidup yang menyerahkan kedaulatan (kewenangan membuat hukum) berada di tangan manusia. Dalam demokrasi, manusialah yang berhak membuat hukum dan undang-undang yang kemudian diwakilkan kepada wakil rakyat. Adapun syura dalam Islam adalah perkara teknis pengambilan pendapat yang itu boleh dilakukan asal dalam koridor syariah Islam.
4. Ulama terpengaruh pemikiran sekular yang memisahkan agama dengan politik.
Virus sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan) juga menjangkiti sebagian ulama. Contohnya muncul ungkapan-ungkapan dari beberapa ulama bahwa syariah Islam memang cocok diterapkan pada zaman Nabi saw., tetapi tidak cocok diterapkan pada zaman sekarang. Bukankah al-Quran dan as-Sunnah itu berlaku hingga akhir zaman.
Ada pula yang beranggapan bahwa syariah Islam itu tidak perlu diformalisasikan dan cukup substansinya saja. Padahal tidak ada ideologi manapun yang bisa ditegakkan hanya cukup substansinya saja. Karena itu, jika ulama mendukung syariah Islam cukup hanya substansinya berarti mereka mendukung formalisasi ideologi lain.
5. Ulama bingung mencari akar penyebab persoalan umat.
Tak sedikit ulama yang masih bingung mencari persoalan utama umat sehingga muncul ragam anggapan. Pihak yang menganggap akar persoalan umat ialah ekonomi bergeraklah di bidang ekonomi seperti pendirian lembaga keuangan syariah. Pihak yang beranggapan bahwa persoalan umat ialah pada keterbelakangan ilmu fokus pada bidang pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah. Pihak yang menganggap persoalan umat terletak pada bidang sosial bergerak di bidang sosial. Demikian seterusnya.
Apakah aktivitasnya itu keliru? Tentu tidak. Namun, bilamana yang dilakukan sebatas itu dan tidak bersedia ikut memperjuangkan tegaknya ideologi Islam, sesungguhnya hal itu tak akan dapat membangkitkan umat. Pasalnya, persoalan-persoalan umat seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dll bermuara pada tidak adanya penerapan syariah Islam secara kaffah dalam nanungan negara khilafah. Inilah persoalan utama umat.
6. Ulama yang memang dipromosikan oleh Barat.
Faktor lain penyebab pudarnya peran politik ulama ialah datang dari ulama-ulama yang memang direkomendasikan oleh Barat. Mereka adalah ulama-ulama yang berpikiran moderat dan juga berpikiran liberal sehingga disukai dunia Barat. Amerika Serikat kepergok beberapa kali turut membesarkan nama ulama-ulama ini dengan cara memberikan mereka penghargaan khusus. Seorang ulama terkemuka asal Indonesia pada tahun 2008 misalnya pernah menyabet beberapa penghargaan dari lembaga-lembaga Amerika Serikat, seperti dari Simon Wiethemthal Center, yang memberikan penghargaan soal HAM, atau lembaga Mebal Valor yang memberikan penghargaan terkait pembelaan kaum minoritas.
Umat Merindukan Ulama Akhirat
Dari realitas di atas terbaca betapa umat amat membutuhkan kiprah ulama akhirat yang benar-benar menjalankan tugas keulamaannya dengan baik, yang menuntun umat menuju jalan selamat dunia-akhirat.
Secercah asa pun kini kian terang. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya para ulama yang mulai menyadari peran dan tanggung jawab mereka. Salah satu contohnya ialah ketika pada tahun 2009 lalu ribuan ulama berkumpul dalam sebuah muktamar guna membahas persoalan umat. Mereka bersepakat untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam dengan tegaknya syariah dan khilafah. Sungguh umat sangat merindukan ulama akhirat.
Wallahu a’lam. [Ali Mustofa Akbar; Maktab I’lamiy HTI Soloraya]