Dari Ibnu Mas’ud ra diriwayatkan bahwasanya beliau berkata, “Ilmu itu bukan tentang banyaknya menyampaikan hadis, tetapi tentang banyaknya rasa takut.”
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Hayyan at-Taimi dari seorang laki-laki, bahwa laki-laki itu berkata, “Dinyatakan, ulama itu ada tiga macam: (1) mengetahui Allah dan perintah-Nya; (2) mengetahui Allah, tetapi tidak mengetahui perintah-Nya; dan (3) Mengetahui perintah Allah SWT, tetapi tidak mengetahui Allah SWT.”
Di dalam Mushannif Ibnu Abi Syaibah dituturkan bahwa Abi Muslim al-Khulani berkata, “Ulama itu ada tiga macam: (1) seorang laki-laki yang hidup dengan ilmunya dan manusia lain bisa hidup bersama dirinya dengan ilmunya; (2) seorang laki-laki yang hidup dengan ilmunya, namun tak seorang pun hidup dengan ilmunya; (3) seorang laki-laki yang manusia hidup dengan ilmunya, namun dirinya sendiri justru binasa.”
Sufyan bin ’Uyainah berkata bahwa sebagian ahli fikih berkata, “Ulama itu ada tiga macam: (1) orang yang mengetahui Allah; (2) orang yang mengetahui perintah Allah; (3) orang yang mengetahui Allah dan perintah-Nya. Orang yang mengetahui Allah adalah orang yang takut kepada Allah, namun tidak mengetahui sunnah. Orang yang mengetahui perintah Allah adalah orang yang mengetahui sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun orang yang mengetahui Allah dan perintah Allah adalah orang yang mengetahui sunnah dan takut kepada Allah SWT. Inilah orang yang disebut dengan penuh keagungan di kerajaan langit.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa “ulama” adalah sebutan bagi orang yang memiliki karakter berikut ini:
a. Takut kepada Allah WT. Rasa takut ini lahir dari: (1) makrifat kepada Allah SWT; (2) makrifat kepada perintah dan larangan-Nya.
b. Menguasai ilmu yang bersumber dari al-Kitab dan Sunnah Nabi saw, melalui metodologi pemahaman yang digariskan oleh para shahabat, tabi’un, dan tabi’ut tabi’iin, serta ulama-ulama mu’tabar. Hanya saja tingkatan penguasaan terhadap ilmu tentu tidak sama. Ada ulama yang mampu menguasai semua disiplin ilmu sekaligus mampu berijtihad secara mandiri menggali hukum dari Al-Quran dan Sunnah. Ada pula ulama yang menguasai sebagian disiplin ilmu saja; seperti tafsir, hadis, bahasa Arab, dan lain sebagainya.
c. Orientasi hidupnya hanya untuk Allah SWT serta lebih mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Peran Ulama di Tengah Umat
Pertama: sebagai pewaris para nabi. Nabi saw. bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud).
Peran ulama sebagai pewaris para nabi tampak pada aktivtas mereka dalam memelihara risalah Allah dari kebengkokan, penyimpangan, penelantaran dan penghapusan. Mereka berjuang demi tegaknya risalah Allah SWT secara kaffah serta menghapus semua kekufuran dan kemaksiyatan dari seluruh muka bumi.
Kedua: Menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan seluruh persoalan mereka baik menyangkut urusan individu, masyarakat maupun negara. Pasalnya, merekalah yang memahami dalil syariah, thariqah istinbath serta hal-hal yang berhubungan dengan hukum syariah. Setiap Muslim tentu diperintahkan untuk menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya timbangan perbuatannya (miqyas al-’amal). Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an Nisa’ [4]: 59).
Merujuk kepada Allah dan Rasul maknanya adalah merujuk pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Artinya, semua persoalan harus diselesaikan hanya dengan syariah Islam yang digali oleh para ulama dan diimplementasikan secara menyeluruh oleh penguasa dan qadliy. Sayangnya, ketika syariah Islam tidak lagi diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan negara, ulama tidak lagi menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat dan negara. Peran dan kendali mereka terhadap urusan negara dan masyarakat diambil-alih oleh kaum sekular.
Ketiga: Pendidik dan pembina umat. Sejak awal-awal Islam, ulama berhasil membina dan mendidik umat Islam hingga mereka memiliki pemikiran dan visi politik yang tinggi. Keberhasilan ulama dalam menjalankan peran ini tampak pada keberhasilan umat Islam menguasai percaturan politik dunia, sains dan teknologi, serta mengantarkan peradaban Islam sebagai peradaban nomor satu dunia. Namun, ketika ulama berhasil dikooptasi oleh para penguasa sekular dan peran politik mereka dikebiri hingga titik nadir, umat Islam berangsur-angsur jatuh ke dalam kebodohan dan kemunduran. Dominasi mereka atas dunia semakin melemah. Akhirnya, pelan tapi pasti, orang-orang kafir berhasil menghancurkan kekuasaan dan peradaban Islam yang agung.
Realitas ini memberi sebuah kesadaran bahwa ulama memiliki peran sentral dalam menentukan keberlangsungan masyarakat Islam. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi saw. bersabda:
إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزعه مِنَ النَّاسِ، وَلكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوس اً جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأفْتوا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama Ketika tidak tersisa lagi seorang ‘alim, manusia akan mengambil para pemimpin bodoh. Jika para pemimpin bodoh itu ditanya, mereka akan memberi fatwa tanpa ada pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keempat: mengontrol penguasa (muhasabah li al-hukkam). Sejak dulu para ulama tidak hanya berkutat dalam kajian ilmu belaka, namun juga berdiri di garda terdepan untuk mengoreksi penguasa yang berlaku zalim terhadap rakyat maupun pemimpin yang menyimpang dari Islam. Mereka juga tidak segan-segan menyingkap persekongkolan para penguasa di negeri Islam dengan negara-negara kafir. Mereka melakukan semua itu semata-mata untuk menjaga kesucian Islam dan kemaslahatan kaum Muslim. Ath-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama?” Rasulullah saw. menjawab, “Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.” (HR Ahmad).
Karakter Ulama
Ada beberapa karakter penting yang harus dimiliki seorang ulama. Pertama: kesadaran politik yang tinggi. Kesadaran politik adalah memandang seluruh kejadian yang terjadi di dunia dari sudut pandang Islam. Para Sahabat ra. merupakan cermin paling baik untuk menggambarkan pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Mereka tidak hanya faqih dalam urusan agama, namun juga fokus terhadap peristiwa dan kejadian politik penting di level internasional, khususnya aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh negara-negara besar. Mereka memahami sepenuhnya bahwa pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri tidak akan berjalan secara sempurna tanpa disertai dengan pemahaman dan kesadaran yang utuh terhadap kejadian dan peristiwa politik yang terjadi di dalam dan luar negeri.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab yang berkata, “Kami mendapatkan kaum musyrik tengah berdebat dengan kaum Muslim. Saat itu mereka masih berada di Makkah dan sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, ’Romawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlul kitab dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia). Adapun kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan Majusi?’ Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi (QS ar-Rum 1-2).”
Ini menunjukkan bahwa kaum Muslim di Makkah, sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah, telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik internasional serta hubungan-hubungan internasional.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra pernah bertaruh dengan orang-orang musyrik bahwa kelak Romawi akan dikalahkan. Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menyetujui, bahkan menyuruh Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya (kepada orang musyrik). Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kondisi terakhir suatu negara serta hubungan-hubungan internasionalnya merupakan perkara yang telah diperintahkan kepada kaum Muslim, dan Rasulullah saw telah menetapkan hal ini.
Abu Bakar ra. juga mendiskusikan langkah politik yang paling tepat untuk menangani nabi-nabi palsu dan orang-orang yang menolak pensyariatan zakat. Begitu para Sahabat besar lainnya seperti Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Kefaqihan dan kezuhudan tidak menjadikan mereka tenggelam dalam dunia asketik belaka. Justru dua sifat itu telah mengantarkan mereka menjadi negarawan dan politikus sejati yang tidak bisa dipalingkan oleh gemerlap dunia.
Kedua: pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap Islam. Seorang ulama tidak hanya menguasai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah-ibadah mahdhah, namun juga memahami hukum-hukum Islam yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Dengan kata lain, ulama mampu memahami sistem Islam secara utuh serta bagaimana cara menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara. Memang benar, tingkat pemahaman dan penguasaan, serta konsens ulama terhadap khazanah Islam bertingkat-tingkat dan berbeda-beda. Kepakaran dan fokus mereka dalam salah satu disiplin ilmu juga berlainan. Namun, semua itu tidak menjadikan mereka lalai akan kewajiban menerapkan Islam secara utuh dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah. Konsentrasi mereka dalam bidang hadis, fikih, tafsir, tasawuf, dan lain-lain tidak membuat mereka lalai terhadap kewajiban menegakkan Islam secara menyeluruh, serta kewajiban mengganti sistem kufur dengan sistem Islam. Meski mereka ahli di bidang tasawuf, hal itu tidak menenggelamkan mereka dalam dunia asketik belaka. Mereka juga tampil ke depan menjadi pembela Islam dan kaum Muslim saat Islam dan kaum Muslim ditindas oleh para penguasa kafir, zalim dan fasik. Begitu pula mereka yang ahli di bidang hadis, tafsir, fikih, dan bidang-bidang ilmu lainnya; mereka tidak hanya berpangku tangan atau tenggelam dalam dunia keilmuwan mereka saja. Mereka pun turut berjuang memimpin umat untuk membebaskan kaum Muslim dari semua bentuk penindasan dan pendzaliman.
Imam Abu Zakaria an-Nawawi adalah seorang ulama ahli hadis, fikih, dan disiplin ilmu lainnya. Ia tercatat dalam sejarah pernah menentang kebijakan penguasa Damaskus, Dhahir Bebris, yang beliau anggap zalim dan membebani rakyat. Ketika sang penguasa memaksa beliau untuk mendukung kebijakannya, beliau tetap teguh dalam pendiriannya meskipun beliau harus menanggung risiko diusir oleh sang penguasa dari Damaskus.
Al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah, seorang ulama besar yang menguasai hampir semua disiplin ilmu, ketika menyaksikan umat Islam dirundung masalah dan terus terpuruk dalam kemunduran, beliau segera tampil ke depan dan memimpin umat untuk berjuang menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, demi kelangsungan kehidupan Islam. Keikhlasan dan keberanian beliau menentang para penguasa fasik dan zalim mengakibatkan beliau harus menghadapi sejumlah siksaan, ancaman, dan upaya-upaya pembunuhan. Namun, kecintaannya yang tinggi kepada Islam dan kaum Muslim menjadikan beliau abai terhadap semua risiko.
Ketiga: peduli dan fokus terhadap urusan umat. Seorang ulama bukanlah orang yang hanya peduli terhadap urusannya sendiri, tetapi ia mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Mereka juga mampu mengindera persoalan utama umat Islam serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Mereka tidak segan-segan dan tidak pernah surut menentang setiap bentuk kekufuran, kemaksiatan dan kezaliman meskipun untuk itu mereka harus menghadapi siksaan, ancaman dan pembunuhan.
Peran Penting Ulama Kini
Pertama: memimpin dan menuntun umat dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Sesungguhnya pangkal persoalan yang menyebabkan umat Islam terus didera oleh problem multidimensi adalah tidak adanya penerapan syariah Islam secara kaffah. Semua itu bermula ketika Khilafah Islamiyah lenyap dari kehidupan umat Islam. Atas dasar itu, perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah sejatinya adalah perjuangan untuk mengembalikan supremasi Islam, sekaligus membebaskan manusia dari penderitaan akibat penerapan sistem kapitalis-sekular.
Ulama harus berada di garda terdepan dalam perjuangan mulia ini dengan cara memimpin dan membina umat agar mereka memberikan dukungan kepada perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.
Kedua: menjaga dan membentengi umat dari pemikiran-pemikiran kufur yang menyebabkan umat terpuruk. Ide-ide kufur semacam demokrasi, sekularisme, pluralisme, HAM, dan ide-ide kufur lainnya harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari benak umat Islam. Ulama harus menjelaskan kekufuran dan kerusakan pemikiran-pemikiran tersebut dari sudut pandang Islam. Ulama juga harus meningkatkan taraf pemahaman umat terhadap Islam, dengan cara terus mendidik umat hanya dengan tsaqafah islamiyah belaka.
Ketiga: perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan yang sangat berat, tidak mungkin dilakukan seorang diri. Perjuangan mulia ini harus dilakukan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen umat Islam, khususnya pihak-pihak yang memiliki kemampuan. Di antara segmen masyarakat yang memiliki kemampuan (kafa’ah) adalah ulama. Oleh karena itu, ulama harus bergabung dalam organisasi Islam yang bertujuan melangsungkan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Ulama tidak boleh mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan enggan bergabung dalam gerakan Islam yang sahih.
Inilah beberapa peran penting yang harus dijalankan oleh para ulama agar jatidiri mereka sebagai “waratsatul anbiya’” benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata.
WalLahu al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]