HTI

Syari'ah

Al-Muhtasib

al ihtisabAl-Muhtasib, bentuk isim fa’il dari kata ihtasaba, mashdar-nya adalah al-ihtisâb;  berasal dari al-hisbah yangsecara bahasamemiliki bermacam makna.  Di antaranya, al-ajru (ganjaran), husnu at-tadbîr wa an-nazhri (manajemen dan pandangan yang baik); thalab al-ajri wa tahshîluhu (meminta dan memperoleh ganjaran); al-ikhtibâr (pengujian) dan pengingkaran.  Dikatakan: ihtasaba ‘alayhi al-amr idzâ ankarahu ‘alayhi (jika ia mengingkarinya).

Secara ‘urfi, jumhur fukaha mengartikan al-hisbah sebagai al-amru bi al-ma’rûf idzâ zhahara tarkuhu wa an-nahyu ‘an al-munkar idzâ zhahara fi’luhu (memerintahkan kemakrufan jika tampak ditinggalkan dan melarang dari yang mungkar jika tampak dilakukan) (Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah).

Al-Muhtasib adalah orang yang melakukan al-hisbah itu.  Secara luas para fukaha menggunakan sebutan al-muhtasib untuk orang yang ditunjuk oleh waliyul amri untuk melakukan tugas al-hisbah.  Para fukaha juga menyebut dengan nama wâli al-hisbah (Abdul Karim Zaydan, Nizhâm al-Qadhâ’ fî al-Islâm, hlm. 319).

Ibn al-Ukhuwah dalam bukunya Ma’âlim al-Qurbah fî Thalab al-Hisbah menjelaskan, al-muhtasib adalah orang yang diangkat oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya untuk memeriksa kondisi-kondisi rakyat dan menyingkap urusan mereka dan berbagai kemaslahatan mereka.

Para fukaha juga menyebut wilâyah al-hisbah dengan sebutan qadhâ’ al-hisbah; al-muhtasib disebut juga qâdhi al-hisbah. Ibn al-Qayim al-Jauziyah di dalam Thuruq al-Hukmiyah menjelaskan, qadhâ’ al-hisbah adalah putusan hukum dalam jenis pelanggaran yang tidak bergantung pada adanya tuntutan.  Dalam konteks ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm menjelaskan, al-muhtasib adalah qadhi yang memeriksa semua perkara yang merupakan hak umum dan di dalamnya tidak ada penuntut sehingga tidak masuk dalam masalah hudud dan jinayat.

Wilâyah al-hisbah ini merupakan kewenangan yang syar’i.  Dasarnya adalah as-Sunnah.  Abu Hurairah ra., ia menuturkan:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ. قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

Rasulullah saw melewati seonggok makanan, lalu beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan makanan itu dan jari-jari beliau sampai pada bagian yang basah, maka beliau bersabda, “Apa ini, wahai pemilik makanan?”  Pemilik makanan itu berkata, “Terkena hujan, ya Rasulullah.”  Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau letakkan di atas makanan supaya orang melihatnya. Siapa yang menipu maka ia bukan bagian dari golongan kami.” (HR Muslim).

Masalah dalam hadis ini merupakan hak umumnya masyarakat. Rasul saw memeriksa dan memutuskan agar makanan yang basah ditempatkan di atas onggokan makanan itu untuk menghilangkan penipuan.  Ini mencakup semua hak dalam jenis ini, tetapi tidak mencakup hudud dan jinayat karena bukan dari jenis ini.

Juga diriwayatkan bahwa Rasul saw. pernah menghadapi orang yang menipu dan melarang dia untuk menipu.  Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasul saw. pernah memperingatkan para pedagang agar tidak berlebihan dan banyak sumpah dalam menawarkan dagangan.  Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Minhal bahwa Zaid bin Arqam dan al-Bara’ bin ‘Azib berserikat membeli perak dengan kontan dan secara tempo. Lalu hal itu sampai kepada Rasul saw. Beliau menetapkan yang kontan boleh, sedangkan yang tempo agar mereka kembalikan.

Jadi, Rasul sendiri langsung melaksanakan tugas hisbah itu.  Beliau memeriksa pasar dan meluruskan pedagang yang melakukan kekeliruan dan menghalangi/melarang penipuan. Beliau juga memeriksa transaksi di pasar dan menjelaskan bagaimana transaksi itu seharusnya.  Dalam semua itu ada hak umum; pelanggaran yang terjadi itu bisa membahayakan publik secara umum.  Sebagai tontoh, penipuan dalam masalah barang yang dijual yang di dalam hadis itu berupa makanan, yakni makanan basah disembunyikan di bagian dalam. Itu bisa menimpa siapa saja dari publik yang bertransaksi dengan pedagang tersebut.

Khulafaur-Rasyidin yang empat melaksanakan sendiri tugas hisbah, selain menunjuk petugas khusus untuk itu.  Di dalam Al-Muwatha’ dan Musnad asy-Syafii dinyatakan bahwa Umar bin Khathab ra. pernah menunjuk Abdullah bin ‘Utbah untuk melakukan hisbah di pasar Madinah.  Ibnu Abdil Bar di dalam al-Isti’âb menyebutkan bahwa Umar ra. juga menunjuk Saib bin Yazid bersama Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud untuk tugas hisbah di pasar Madinah.  Umar ra. pun mengangkat Asy-Syifa’ Ummu Sulaiman bin Abi Hatsmah sebagai qadhi hisbah di pasar Madinah. Para qadhi hisbah itu, sebagaimana Khalifah sendiri dan Rasul saw., berkeliling di pasar melakukan inspeksi untuk memastikan transaksi berjalan sesuai syariah serta tidak terjadi penipuan dan berbagai bentuk distrorsi pasar lainnya.  Kondisi seperti itu terus berlangsung sampai pada masa Khalifah al-Mahdi. Beliau menjadikan hisbah sebagai struktur tersendiri dan menjadi bagian dari struktur qadha’. Pada masa Harun ar-Rasyid qadhi hisbah berkeliling di pasar-pasar meneliti timbangan, takaran, penipuan dan memeriksa muamalah para pedagang.

Dengan demikian qadhâ’ al-hisbah menjadi struktur permanen di dalam Daulah Khilafah sebagai bagian dari struktur qadha’ (peradilan). Karena termasuk qadhi, al-muhtasib disyaratkan seperti syarat qadhi umumnya yaitu Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, fakih dan paham menerapkan hukum terhadap fakta.

Semua itu adalah qadhâ’ al-hisbah atau al-muhtasib. Penyebutan qadhi yang memutus-kan persengketaan atau pelanggaran yang membahayakan hak jamaah/publik sebagai hisbah atau al-muhtasib adalah istilah untuk tugas tertentu dalam Daulah Islamiyah. Tugas tersebut adalah memonitor para pedagang dan pengrajin untuk menghalangi mereka dari penipuan dalam perdagangan, pekerjaan, dan hasil buatan mereka serta menindak mereka atas pelanggaran yang bisa membahayakan hak jamaah.

Topik al-hisbah adalah memberikan berbagai hak dan bantuan atas pemenuhan hak-hak itu dalam hal yang berkaitan dengan sistem umum;  melarang semua hal yang menyempitkan di jalan-jalan sehingga tidak menghalangi/menghambat sistem lalu-lintas; menghalangi pelanggaran atas batas-batas tetangga. Perkara yang berkaitan dengan hak-hak yang masuk dalam cakupan tugas al-muhtasib sangat luas, di antaranya berkaitan dengan transaksi di pasar semisal kecurangan dalam takaran, pengurangan timbangan, penipuan harga, manipulasi barang, penimbunan, dsb;  gangguan ketertiban umum; distorsi pasar; pemisahan tempat antara penumpang laki-laki dan perempuan di angkutan umum, di tempat publik, dsb; berkaitan dengan industri semisal pelaksanaan good manufacturing practises (GMP) di berbagai industri makanan, obatan-obatan, dsb; penanganan limbah, cerobong asap industri, dsb; berkaitan dengan masalah jalan, urusan lalu-lintas, penyerobotan jalan dan trotoar, dsb; masalah keteraturan, fungsi dan bentuk bangunan, penyerobotan fasilitas umum; pelanggaran atas sesuatu yang di dalamnya masyarakat berserikat dalam memanfaatkan-nya; dan pelanggaran-pelanggaran lain yang bisa mengganggu atau membahayakan hak publik.

Al-Muhtasib memiliki wewenang memeriksa dan membuat keputusan hukum dalam berbagai pelanggaran yang membahayakan hak publik secara langsung di manapun, tanpa perlu adanya majelis peradilan, dan tidak perlu ada penuntut atau pelapor.  Pasalnya, dalam masalah hisbah ini tidak ada pihak yang menuntut dan dituntut, melainkan yang ada adalah hak publik yang dilanggar atau pelanggaran terhadap syariah yang harus diselesaikan. Tambahan lagi, di dalam hadis shubrah ath-tha’am, Rasul saw. sedang berjalan di pasar, tidak ada yang mengadukan pemilik onggokan makanan, tetapi Rasul menginspeksi dan memeriksa. Saat beliau mengetahui ada pelanggaran, beliau lalu memberikan putusan.

Cakupan perkara dan masalah yang masuk dalam kewenangan al-muhtasib begitu luas.  Untuk melaksanakan tugasnya, al-muhtasib bisa menunjuk para wakil yang diberi weweang sebagaimana al-muhtasib.  Para wakil itu bisa ditugaskan di tempat tertentu yang ditentukan.  Hal itu jika al-muhtasib diberi wewenang melakukan penunjukan itu.  Bisa juga al-muhtasib itu dibantu oleh para ahli atau banyak panel ahli dalam berbagai bidang sesuai cakupan wewenang al-muhtasib. Mereka bisa membantu al-muhtasib memeriksa masalah serta memberikan informasi dan pertimbangan yang tepat kepada al-muhtasib dalam berbagai bidang itu.  Di bawah al-muhtasib ditempatkan para polisi atau petugas untuk mengeksekusi apa yang menjadi putusan al-muhtasib.  Putusan al-muhtasib langsung dieksekusi, tanpa perlu penundaan.

Dalam hal ini al-muhtasib sebagai qadhi bisa menjatuhkan hukuman atas para pelanggar dalam bentuk sanksi ta’zir mulai dari yang paling ringan sekadar berupa nasihat, lalu celaan dan pengingkaran, diekspos dalam berbagai tingkat, pelarangan berdagang, atau dalam bentuk denda, cambuk, penahanan dan bentuk-bentuk sanksi ta’zir lainnya sesuai koridor syariah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*