Demokrasi Sistem Kufur
Khilafah, demokrasi, teokrasi dan monarki adalah istilah-istilah khusus untuk mengungkap makna-makna tertentu. Istilah-istilah tersebut saling bertentangan dan tidak bisa disepadankan satu sama lain.
Memang, kekuasaan di dalam sistem demokrasi dan Khilafah Islamiyah ada di tangan rakyat. Namun, dalam sistem Khilafah, kafir dzimmi yang menjadi warga negara Khilafah tidak memiliki hak untuk memilih calon khalifah atau mengangkat seseorang untuk menduduki tampuk Kekhilafahan. Dalam sistem Khilafah, hukum mengangkat seorang khalifah (bai’at in’iqad) adalah fardhu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Wanita juga tidak boleh dicalonkan menjadi amil, wali maupun khalifah.
Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, baik Muslim maupun kafir, laki-laki dan wanita, memiliki hak yang sama untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai kepala negara. Di dalam sistem demokrasi tidak dikenal istilah fardhu kifayah dan fardlu ‘ain dalam konteks pengangkatan seorang kepala negara. Dalam sistem Khilafah seluruh dimensi kulliyah maupun juz’iyyah-nya tegak di atas ‘aqidah islamiyyah, sedangkan sistem demokrasi tegak di atas akidah kufur. Lalu bagaimana bisa dinyatakan bahwa sistem Khilafah sepadan dengan sistem demokrasi dalam hal pandangan keduanya terhadap kekuasaan?
Begitu pula sistem Khilafah dengan teokrasi, tidak ada kesamaan dan kesepadanan pada aspek-aspek kulliyyah maupun juz’iyyah. Seluruh aturan yang diterapkan dalam sistem Khilafah benar-benar berasal dari Allah SWT. Adapun aturan yang diklaim sebagai aturan Tuhan dalam sistem teokrasi, sesungguhnya berasal dari manusia, bukan berasal dari Tuhan. Negara-negara Kristen Eropa, meskipun mengklaim sebagai negara teokrasi, kebijakan-kebijakan publiknya tidak mengacu kepada wahyu Tuhan, tetapi mengacu pada pendapat pribadi Paus atau pendeta; atau mengacu pada suara mayoritas (demokrasi). Ini bisa dimengerti karena, Injil yang dianggap sebagai wahyu Tuhan tidak mengatur urusan manusia secara menyeluruh. Bahkan Injil yang diyakini jutaan kaum Nasrani nyata-nyata bukan perkataan Yesus, tetapi perkataan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Yesus. Adapun jika ditinjau dari sisi akidah, Tuhan orang-orang Kristen tidak sama dengan Tuhan orang-orang Muslim. Lalu dari mana bisa dinyatakan bahwa Khilafah sama dengan teokrasi ditinjau dari aspek ini?
Ini ditinjau dari realitas kekuasaan dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah serta realitas hukum Tuhan dalam sistem Khilafah dan teokrasi.
Adapun ditinjau dari sisi hukum mengadopsi istilah-istilah asing, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan. Pertama: Seorang Muslim dilarang mengadopsi istilah-istilah asing yang maknanya bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Contohnya dalam QS al-Baqarah [2] ayat 104. Dalam ayat ini Allah SWT melarang kaum Muslim menggunakan kata “ra’inaa” karena kata ini di-tawriyyah-kan orang-orang Yahudi dengan makna “ru’uunah” (bebal atau bodoh) untuk melecehkan Nabi saw. Tawriyyah adalah mengatakan sesuatu yang lahiriahnya bertentangan dengan apa yang dimaksudkan. Sejak saat itu, kaum Muslim tidak lagi menggunakan kata “ra’inaa”, tetapi menggantinya dengan kata “unzhurnaa”. Padahal secara bahasa, kata “ra’inaa” dan “unzhurnaa” memiliki makna yang sama.
Wajhul-istidlal ayat di atas adalah, seorang Muslim dilarang mengadopsi kata atau istilah asing yang maknanya bertentangan dengan akidah dan syariah Islam; atau bisa dijadikan sarana untuk melecehkan kesucian Islam seperti kata demokrasi, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan lain sebagainya. Sebab, makna yang terkandung dalam kata atau istilah ini jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Adapun kata atau istilah asing yang memiliki makna umum dan tidak bertentangan dengan Islam, maka mengadopsi kata-kata tersebut tidaklah dilarang, seperti konstitusi, yurisprudensi, undang-undang, dan lain sebagainya.
Kedua: Islam melarang kaum Muslim meniru-niru orang-orang kafir (tasyabbuh bi al-kuffar). Mengadopsi kata demokrasi termasuk aktivitas tasyabbuh dengan orang-orang kafir yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Imam Ibnu Katsir rahimahulLah mengetengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari shahabat Ibnu ’Umar ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut (HR Ahmad).
Hadis ini mengandung larangan yang sangat keras serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum Muslim (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 1/149-150).
Hanya saja, larangan mengadopsi sesuatu dari orang-orang kafir tidaklah bersifat mutlak. Ada perkara-perkara yang berasal dari non-Mslim yang boleh diambil dan ada pula yang tidak boleh. Dalam perkara-perkara yang bebas nilai (free of value), seorang Muslim boleh mengadopsi, meniru maupun mengambil dari non-Muslim. Contohnya, sains dan teknologi, serta semua hal yang lahir dari keduanya. Seorang Muslim juga tidak dilarang mengadopsi istilah-istilah asing, semampang istilah-istilah tersebut tidak memiliki makna tertentu yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Jika istilah-istilah asing tersebut memiliki makna khusus yang bertentangan dengan akidah dan syariah, seorang Muslim dilarang mengadopsi istilah tersebut. Misalnya, istilah demokrasi, pluralisme, ateisme dan lain sebagainya. Sebaliknya, istilah-istilah asing yang maknanya tidak bertentangan dengan akidah dan syariah Islam boleh diadopsi tanpa ada larangan sedikitpun. Contohnya, istilah konstitusi, yurisprudensi dan lain sebagainya (Lihat Ihsan Samarah, Mafhum al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Fikr al-Islami al-Ma’ashir; 1991. Bandingkan dengan Imam Ibnu al-’Arabiy, Ahkam al-Qur’an, 1/49).
Adapun, hal-hal yang tidak bebas nilai, kaum Muslim dilarang mengambil dan mengadopsi. Contohnya ilmu-ilmu sosial maupun ekonomi yang memuat pandangan hidup maupun sistem hidup kaum sosialis dan kapitalis. Seorang Muslim dilarang mengadopsi dan memberlakukan sistem ekonomi kapitalistik maupun sosialistik. Seorang Muslim dilarang mengadopsi pandangan hidup liberalisme dan pluralisme yang lahir dari kapitalisme. Seorang Muslim dilarang mengadopsi upacara-upacara maupun ritual-ritual orang Hindu maupun Budha. Seorang Muslim juga dilarang memakai produk-produk non-Muslim yang menunjukkan peradaban dan pandangan hidup mereka; misalnya, kalung salib, rumah berbentuk gereja, pura, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, seorang Muslim boleh mempelajari peradaban maupun pandangan hidup non-Muslim dengan tujuan untuk menjelaskan kekeliruan dan ketidaksesuaiannya dengan pandangan hidup Islam. Selain untuk tujuan ini adalah haram.
Islamisasi Demokrasi?
Demokrasi adalah istilah asing yang maknanya jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Demokrasi adalah jalan hidup, tujuan, idealitas dan pilosofi politik orang-orang kafir. Duane Swank, Ph.D. menyatakan, “Democracy is a form of government, a way of life, a goal or ideal, and a political philosophy. The term also refers to a country that has a democratic form of government. The word democracy means rule by the people. United States President Abraham Lincoln described such self-government as “government of the people, by the people, for the people.” (Demokrasi adalah bentuk pemerintahan, jalan hidup, tujuan dan idea serta sebuah fisafat politik. Istilah demokrasi juga berkaitan dengan negara yang memiliki bentuk pemerintahan demokratik. Kata demokrasi sendiri bermakna pemerintahan (kekuasaan) rakyat. Presiden AS Abraham Lincoln mendiskripsikan pemerintahan demokrasi dengan “pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”). (Prof Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu-ilmu Politik).
Demokrasi, baik secara istilah maupun makna, adalah sistem kufur yang haram untuk diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan. Demokrasi adalah thaghut yang harus dienyahkan. Tidak ada islamisasi demokrasi. Islamisasi demokrasi sama artinya menyetarakan keimanan dengan kekufuran, atau memaksakan agar kekufuran menjadi bagian dari ajaran Islam. Islamisasi demokrasi sama artinya dengan memaksakan agar thaghut menjadi sesembahan orang-orang beriman.
Islam Mustahil Tegak dalam Sistem Demokrasi
Sistem pemerintahan satu-satunya yang ditetapkan nas-nas syariah untuk menopang penerapan Islam secara menyeluruh adalah sistem Khilafah. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Bani Israel pernah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. Yang ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah SWT menanya-kan kepada mereka atas pengaturan mereka.” (HR Muslim).
Nabi saw. tidak hanya menyampaikan risalah Allah SWT semata, namun beliau juga diperintahkan untuk mengatur urusan umatnya, sebagaimana para nabi yang diutus Allah SWT untuk mengatur urusan Bani Israel. Hanya saja, sepeninggal Nabi saw. tugas pengaturan urusan umat tidak diserahkan kepada nabi yang lain (seperti halnya Bani Israel), namun, diserahkan kepada para khalifah. Sebab, Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, dan tidak ada nabi sepeninggal beliau.
Hadis di atas menjelaskan kepada kita semua bahwa penguasa yang ditunjuk oleh Asy-Syari’ untuk mengatur urusan umat Islam adalah khalifah, bukan raja, presiden, kaisar, dan lain sebagainya. Hadis di atas juga menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang ditetapkan wahyu adalah sistem Khilafah. Para ulama mu’tabarah dari seluruh mazhab telah menetapkan bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah termasuk perkara yang telah disepakati (mujma’ ‘alayhi). Di dalam Kitab Al-Asybah wa an-Nazha’ir, karya Imam as-Suyuthi disebutkan:
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fiihi) dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati (mujma’ ‘alayhi)”. (As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, I/285).
Penerapan Islam dalam sistem demokrasi, sebagaimana yang diusung beberapa kelompok kaum Muslim, jelas-jelas telah menyalahi perkara yang telah disepakati. Pasalnya, presiden, raja, kaisar atau perdana menteri bukanlah pihak yang ditunjuk oleh syariah untuk mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam. Seperti halnya anak perempuan bukanlah pihak yang ditunjuk oleh syariah untuk menjadi wali nikah. Jika anak perempuan menikahkan seorang wanita, pernikahannya tidak sah. Sebab, anak perempuan tidak sah dijadikan sebagai wali pernikahan. Begitu pula wewenang untuk menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam sebuah negara. Wewenang ini diberikan kepada seorang khalifah dan orang-orang yang ditunjuk oleh Khalifah, bukan diberikan kepada raja, presiden, perdana menteri, maupun kaisar.
Menegakkan Islam Via Demokrasi?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi adalah sistem kufur dan “najis li dzatihi”. Oleh karena itu, demokrasi tidak boleh dimanfaatkan, dinikmati, apalagi diadopsi sebagai jalan untuk menegakkan Islam. Sebab, Islam adalah agama sempurna yang menjelaskan semua persoalan umat manusia. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak dijelaskan oleh Islam; termasuk di dalamnya jalan untuk menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah). Menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menegakkan syariah Islam sama artinya dengan menggunakan kekufuran sebagai alat untuk memperjuangkan keimanan dan ketaatan; serta menganggap bahwa Islam belum menjelaskan jalan untuk meraih kekuasaan dan menegakkan Islam. Dua hal ini sama-sama batilnya.
Selain itu seorang Muslim wajib mengikatkan dirinya dengan jalan (thariqah) yang telah digariskan Rasulullah saw., tanpa bergeser seujung rambut pun. Allah SWT berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (QS an-Nur [24]: 63).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud fras ‘an amrihi adalah jalan, manhaj, thariqah, sunnah dan syariah Nabi saw. Seluruh perkataan dan perbuatan ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Yang sejalan diterima, sedangkan yang menyelisihi ditolak (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir/QS an-Nur [24]: 63).
Menempuh jalan demokrasi, sejatinya adalah menempuh jalan taghut. Menempuh jalan taghut sama artinya telah menyimpang dari manhaj Rasulullah saw. yang lurus.
Dari sisi fakta, gerakan-gerakan Islam yang berusaha memperjuangkan Islam melalui demokrasi nyata-nyata telah kandas dan gagal. Fakta juga menunjukkan, meskipun di antara mereka ada yang memenangkan Pemilu secara demokratis, mereka tidak berdaya untuk menerapkan Islam secara kaffah. Bahkan ketika mereka hendak mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam, keberadaan mereka justru diberangus oleh musuh-musuh Islam dengan dalih menyelamatkan demokrasi. Contoh yang paling baik adalah FIS di Aljazair, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Jika bukan dengan jalan demokrasi, lantas dengan jalan apa? Jawabannya adalah dengan jalan Rasulullah saw. Beliau menempuh tiga fase dakwah yakni: (1) tatsqif (pembinaan/kaderisasi); (2) tafa’ul ma’a al-ummah (berinteraksi dengan masyarakat) dengan menyampaikan Islam secara terang-terangan; (3) istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) dengan metode thalabun-nushrah (meminta dukungan dari ahlu al-quwwah). Inilah jalan syar’i yang dicontohkan Nabi saw. untuk memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]