Al-Qasim bin Nu’man al-Ju’i adalah ulama shalih yang hidup semasa dengan Imam Ahmad. Suatu saat di Damaskus beliau berbicara di sebuah majelis mengenai itsar (altruisme), yakni sikap mengutamakan orang lain meski yang bersangkutan membutuhkan.
Tak disangka, saat Al-Qasim berbicara, seseorang dari luar majelis tiba-tiba masuk dan menghampiri beliau. Kemudian lelaki tak dikenal itu berusaha melepas surban yang dipakai Al-Qasim. Al-Qasim pun memutar kain surbannya, membantu laki-laki itu melepas surban tersebut. Setelah itu si laki-laki itu memakai surban Al-Qasim. Al-Qasim pun tetap melanjutkan nasihatnya (Thabaqat al-Awliya’, hlm. 395).
*****
Al-Khair bin Na’im dikenal sebagai hakim Mesir yang adil. Suatu saat datanglah kepada beliau dua orang yang bersengketa mengenai unta cacat. Pembeli melihat unta itu cacat saat ia beli dan ia ingin membatalkan jual-beli unta itu. Sebaliknya, si penjual menolaknya karena tidak melihat adanya kecacatan saat menjual unta itu.
Keduanya datang kepada Al-Khair saat waktu shalat magrib tiba. Karena itu sang hakim menunda proses hukum pada esok harinya agar tidak terlewatkan waktu shalat.
Penjual dan pembeli itu pun menginap. Tanpa diduga, pada malam hari unta yang disengkatakan mati. Pagi harinya, kedua orang itu datang kepada hakim menyampaikan status unta, siapa yang harus mengganti harga unta yang mati itu? Al-Khair pun menjawab, “Wahai putraku, bukan penjual atau pembeli yang mengganti, tetapi hakim yang menunda proses hukum yang harus mengganti.”
Akhirnya, Al-Khair pun mengganti harga unta itu (Ad-Durrar al-Munadzdzam, hlm. 231).
*****
Qadhi Nuh bin Maryam adalah pemimpin sekaligus qadhi di Marwa yang memiliki putri yang sangat cantik. Karena kecantikan sang putri, banyak tokoh dan pembesar yang ingin memperistri putrinya itu.
Sang qadhi memiliki pembantu yang bertugas menjaga kebunnya. Suatu saat Qadhi Nuh pergi ke kebun dan meminta sang pembantu agar memetik anggur untuk dirinya. Sang pembantu pun memberikan anggur, yang ternyata rasanya masam. Qadhi Nuh berkata, “Berikan yang manis!”
Sang pembantu kembali memetik anggur lain, yang ternyata rasanya juga masam. Sang Qadhi mulai merasa jengkel, “Engkau tidak tahu mana yang manis dan yang masam?”
Sang pembantu pun menjawab, “Ya, karena Anda memerintahkan saya untuk menjaga kebun anggur ini, tidak untuk memakannya. Siapa yang tidak makan, dia tidak tahu (rasanya).”
Sang Qadhi merasa takjub dengan pernyataan sang pembantu. Ia menilai sang pembantu memiliki sifat jujur dan amanah. Akhirnya, sang Qadhi menikahkan pembantu itu dengan putrinya. Dari pasangan pembantu dan putri qadhi itu, lahirlah Ibnu Mubarak, ulama besar yang dikenal dengan keshalihan dan keilmuannya (An-Nur as-Safir, hlm. 442).
*****
Qadhi Suraih pernah menyatakan bahwa jika beliau tertimpa musibah maka beliau mengucapkan hamdalah sebanyak empat kali. “Pertama, aku mengucapkan hamdalah karena tidak tertimpa musibah yang lebih berat. Kedua, aku mengucapkan hamdalah karena aku dianugerahi kesabaran atasnya. Ketiga, aku mengucapkan hamdalah karena dengan itu aku mengucapkan kalimat istirja’ hingga aku memperoleh pahala. Keempat, aku mengucapkan hamdalah karena musibah itu tidak menimpa agamaku,” katanya (Siyar A’lam an-Nubala, IV/101).
*****
Imam Syamsuddin ar-Ramli adalah ulama besar Syafiiyah Mesir yang murid-muridnya kebanyakan adalah murid ayahnya, Imam Syihabuddin ar-Ramli yang telah wafat. Salah seorang murid beliau adalah ulama besar Syaikh Nashiruddin ath-Thablawi. Saat itu usia Imam Syamsuddin ar-Ramli setaraf dengan usia putra Syaikh ath-Thablawi.
Karena berguru kepada orang yang usianya jauh lebih muda, banyak cibiran yang ditujukan kepada ath-Thablawi, namun tidak beliau hiraukan. “Aku tidak berguru kepada dia jika memang aku telah memperoleh ilmu yang tidak aku ketahui.” (Khulashah al-Atsar, III/329-333).
*****
Ahmad bin Abi al-Hawari adalah seorang ulama ahli ibadah. Ia pernah dilamar oleh seorang wanita bernama Rabi’ah, yang juga ahli ibadah. Namun, Ahmad menolak lamarannya, “Demi Allah, aku tidak memiliki minat terhadap wanita karena kesibukanku terhadap kondisi diriku sendiri.”
Rabi’ah pun menjawab, “Demi Allah, aku lebih sibuk terhadap diriku sendiri draipada engkau. Hanya saja, aku memiliki harta banyak, peninggalan suamiku. Aku ingin membelanjakan harta itu untuk saudaraku ahli ibadah sehingga bisa menjadi jalanku menuju Allah.”
Ahmad pun meminta waktu untuk meminta izin kepada guru beliau. Sang guru menjawab, “Nikahilah ia. Sesungguhnya ia adalah wali Allah. Perkataannya adalah perkataan para siddiqin.”
Akhirnya, Ahmad menikahi Rabi’ah, bukan karena hartanya, tetapi karena Rabi’ah adalah wali Allah, sebagaimana kata gurunya. Tak hanya menikahi Rabi’ah, Ahmad juga menikahi tiga wanita shalihah lainnya semata-mata sebagai sarana taqarrub kepada Allah. Rabi’ah memperlakukan Ahmad dengan baik. Ia biasa memberikan makanan-makanan yang lezat kepada suaminya itu sembari berkata, “Pergilah dengan aktivitas dan tenagamu kepada para istrimu.” (Thabaqat al-Awliya’, hlm. 26).
*****
Imam ats-Tsauri suatu saat menyantap menu makan malam hingga kenyang. Usai makan, beliau berkata, “Sesungguhnya seekor keledai, jika pakannya ditambah, maka kerjanya pun lebih lama.”
Setelah itu Imam Ats-Tsauri pun melaksanakan shalat malam lebih lama dari biasanya hingga datang waktu subuh. (Manaqib Imam Ats-Tsauri, hlm. 48).
*****
Di bawah naungan Khilafah Islam pada masa lalu, kisah-kisah keteladanan para wali Allah SWT seperti di atas sungguh luar-biasa banyaknya. Keteladanan mereka rasanya sukar kita bayangkan terjadi di alam sekular seperti saat ini.
Selayaknya generasi umat ini merindukan hidup dalam asuhan para orangtua yang paham agama, di bawah didikan para ulama yang bertakwa, dalam lingkungan masyarakat yang islami dan di bawah naungan sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan itulah akan banyak lahir generasi yang tak hanya luas ilmu agamanya, tetapi juga tinggi adab dan akhlaknya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]