HTI

Analisis (Al Waie)

Khilafah: Untuk Indonesia Lebih Baik

Alam pemikiran umat hari ini persis kisah satire klasik; orang yang kehilangan barang di tempat gelap, tetapi barang itu dicari di tempat terang dengan alasan di sana tak ada cahaya. Umat gagal mengelaborasi persoalan yang mereka hadapi dengan solusi yang semestinya diambil. Solusi yang dipilih tidak berkorelasi dengan persoalan yang sesungguhnya. Akibatnya, umat berada di labirin yang membingungkan, tak tahu arah mana yang seharusnya ditempuh. Umat hanya mengulangi jalan yang sama untuk mendapatkan kegagalan berulang.

Rumusan Persoalan yang Benar

Dengan membaca buku wartawan senior Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia,  seharusnya mata setiap orang terbuka bahwa pergantian rezim bukanlah obat mujarab untuk membebaskan negeri ini dari keterpurukan, khususnya di bidang perekonomian.  Tidak ada seorang pun presiden Indonesia yang sanggup melepaskan negeri ini dari carut-marut berbagai persoalan yang membelit bangsa. Problematika klasik yang kini amat dibenci publik yaitu KKN tak kunjung bisa terselesaikan.

Kelemahan perundang-undangan keuang-an, tata kelola sektor ekonomi juga SDA yang buruk, membuat kongkalikong penguasa busuk dan pengusaha serakah dapat dengan mudah dan legal menjarah uang rakyat dan kekayaan alam bangsa. Sebut saja kasus BLBI yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tak jelas ending-nya. Sejumlah bank yang dirawat dan disehatkan Pemerintah justru keuntungan-nya dinikmati konsorsium asing. BCA yang mendapat rawat inap di BPPN, melekat 58 triliun rupiah obligasi milik Pemerintah. Setiap tahun disusui Pemerintah sebesar 7 triliun atau sekitar 500 miliar rupiah sebagai pembayaran bunga obligasi. Namun, setelah sehat bank terbesar di Indonesia ini 51 persen sahamnya dijual murah meriah kepada konsorsium Farallon dari Amerika Serikat dan Djarum dengan harga hanya 5,3 triliun rupiah! Artinya, hanya dengan uang 10 triliun rupiah mereka dapat memiliki bank yang memiliki 15 juta nasabah, 700 cabang, 1800 ATM, ditambah obligasi Pemerintah senilai 58 triliun rupiah! Bandingkan dengan uang yang sudah dikeluarkan Pemerintah untuk menyehatkan bank ini. Apalagi ini namanya kalau bukan kebejatan sistem dan moral rendahan para pengambil kebijakan perekonomian negara.

Pergantian rezim juga tak kunjung memperbaiki kualitas penegakkan hukum di Tanah Air.  Realita yang kita saksikan sudah kehilangan wibawa. Pemberian remisi kepada ratu narkoba Schappel Corby adalah tanda lembeknya hukum di Tanah Air. Transaksi narkoba berlangsung di dalam penjara. Bahkan di penjara ekstra ketat Nusa Kambangan jaringan narkoba masih berjalan.

Ada pernyataan menarik dari mantan Ketua Mahkamah Agung Mahfud MD, ketika menguraikan berbagai kecurangan dan permainan uang dalam sistem politik di Indonesia. Ia sampai pada satu pernyataan, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”

Karena itu induk persoalan yang kita hadapi bukanlah sekadar siapa yang memimpin negeri ini, tetapi lebih jauh lagi apa yang diterapkan di dalamnya. Kini kita menyaksikan penelantaran syariah Islam dan pemberlakuan ideologi Kapitalisme. Bercokolnya ideologi Kapitalisme telah menempatkan negara di bawah kekuasaan korporasi dan uang adalah ujung tombaknya. Misalnya, Pemerintah hampir mati kutu menghadapi kelicikan perusahaan tambang asal AS Freeport. Perusahaan ini sudah dua tahun tak membayar deviden kepada negara. Padahal prosentase deviden yang diberikan kepada Pemerintah nilainya juga sedikit. PT Freeport Indonesia juga bertahun-tahun telah menikmati pengerukan mineral ore atau konsentrat mineral yang berkapal-kapal diangkut ke AS dengan alasan belum ada smelter atau sarana pengolahan dan pemurnian. Mineral Ore atau konsentrat mineral tersebut pada hakikatnya selain mengandung tembaga juga diyakini mengandung emas dan sangat mungkin uranium.

Ketika negara mengeluarkan UU No. 4/2009 tentang Minerba yang mewajibkan semua perusahaan pertambangan membangun smelter, kedua perusahaan asing itu melecehkan UU tersebut dengan mengancam akan melakukan PHK massal karena keberatan dengan pemberlakuan kenaikan bea ekspor mineral secara progresif. Sampai sekarang Pemerintah belum menunjukkan sikap tegas menghadapi perusahaan tambang asing Freeport maupun Newmont.

Ideologi Kapitalisme juga membuat penguasa, parpol dan politisi dapat dibeli oleh korporasi. Skandal suap SKK Migas yang diduga dilakukan perusahaan tambang Kernell Oil makin kompleks karena diduga melibatkan sejumlah politisi yang menjadi anggota DPR.

Dengan prinsip kebebasan seluas-luasnya, Kapitalisme membuat negara hanya berperan sebagai regulator dalam kebebasan. Negara tidak berhak melarang atau membatasi keinginan rakyat walaupun hanya sebagian kecil dan merugikan banyak pihak. Dalam kasus minuman keras di Tanah Air, negara hanya menyerahkan regulasinya kepada setiap pemda, tak ada pelarangan sama sekali. Padahal jumlah korban tewas akibat miras berjatuhan setiap saat. Tak adanya larangan terhadap peredaran miras bisa dipahami karena penjualan miras dan cukai dari miras termasuk pendapatan bagi negara. Tercatat negara mengantongi Rp 123 miliar dari pendapatan cukai etil alkohol, serta pendapatan cukai minuman etil alkohol sebesar Rp 3,2 triliun.

Jelas ini bukan persoalan rezim, tetapi persoalan kerusakan ideologi yang dianut oleh bangsa ini. Kapitalisme telah membuat negara dan moral bangsa jatuh ke bawah tumpukan uang.

Sekularisme yang menjadi asas ideologi Kapitalisme telah mengabaikan aspek ruhiyah, insaniyah, moral kecuali materi. Berbagai konflik rumah tangga seperti perceraian, pertikaian anak dengan orang tua, KDRT bahkan kekerasan seksual dalam keluarga yang terus marak adalah bagian dari tercerabutnya nilai moral, insaniyah dan ruhiyah dalam masyarakat.

Racun sekularisme ini juga telah merasuk ke dalam kehidupan pribadi umat hinga bahkan banyak tokoh agamawan yakni kyai atau ulama yang ikut terasuki. Umat dengan mudah menjumpai tokoh Islam yang tunduk pada kepentingan penguasa dan kaum kapitalis karena iming-iming uang. Tidak sedikit tokoh agama yang menggadaikan agamanya dengan menjadi dukun demi mendapatkan secuil dunia. Bahkan kerap kita temui tokoh agama yang bermoral bejat semisal melakukan pencabulan atau perbuatan mesum di alam sekulerisme ini.

Perubahan Masif

Kerusakan yang bersumber dari ideologi tak bisa ditangani dengan perbaikan parsial atau gradual. Usaha melakukan perbaikan secara parsial akan segera tergerus dengan kebijakan yang lain. Ketika kaum Muslimin berusaha menegakkan satu hukum Islam, ia segera dihadang oleh kebatilan lewat pintu lain.

Perubahan yang harus dilakukan umat seharusnya terjadi secara asasiyah, syamilah dan sekaligus. Asasiyah artinya mendasar; membongkar asas kehidupan masyarakat yang batil semisal sekularisme dan mengembalikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan dan berpikir umat. Dengan asas yang sahih ini umat akan senantiasa mentautkan keimanan; pahala dan dosa, sebagai pertimbangan dalam pemikiran dan perbuatan; bukan lagi asas manfaat yang menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan pribadi ataupun negara.

Dengan akidah Islam sebagai asas, manusia hanya akan tunduk kepada Allah SWT, bukan kepada sesama manusia, kekuasaan apalagi uang.  Masyarakat juga memahami tujuan hidup dan apa yang harus diraih dalam kehidupan. Dengan begitu mereka akan menghargai makna kehidupan dan hubungan sesama manusia.

Perubahan asasiyah amat fundamental karena di atasnya akan dibangun sistem kehidupan Islam yang melahirkan berbagai aturan. Syariah Islam tak akan dapat ditegakkan minus transformasi asas kehidupan. Dengan mengubah asas kehidupan umat, umat akan melakukan perubahan karena kesadaran penuh; bukan semata motivasi kemaslahatan, tetapi karena dorongan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Transformasi masyarakat menuju kehidupan Islam juga harus terjadi secara menyeluruh dan serentak. Perubahan yang dilakukan secara parsial hanya akan menimbulkan persoalan baru dan secara pasti merupakan kemaksiatan di hadapan Allah karena menelantarkan hukum-hukum Islam yang lain. Sebagai contoh, berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah dan asuransi syariah di Tanah Air justru menimbulkan polemik dan dinilai banyak kalangan cacat secara syar’i dalam tataran konsep dan operasionalnya.

Khilafah Islamiyah akan kesulitan memperbaiki perekonomian masyarakat bila tidak menghapuskan praktik riba dan menerapkan sistem mata uang dinar dan dirham. Negara juga tidak akan mampu menciptakan keamanan bagi masyarakat jika sistem pidana Islam tidak dilaksanakan. Begitupula eksistensi negara akan terancam bila masih tunduk kepada peraturan internasional yang semena-mena yang diberlakukan PBB atau Barat, misalnya.

Melaksanakan syariah Islam secara bertahap juga merupakan kemaksiatan. Kaum Muslim telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersegera melaksanakan perintah dan meninggalkan apa yang Dia larang. Nabi saw. bersabda:

إِنْ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kalian menelantarkannya; telah memberikan sejumlah batasan maka janganlah melanggarnya; dan telah melarang sejumlah perkara maka janganlah melakukannya (HR ad-Dâruquthniy, hadis hasan).

Adapun pendapat yang menyatakan kebolehan melaksanakan hukum Islam secara bertahap (tadarruj) maka hal itu adalah lemah. Tidak pernah ada satu hukum Islam pun yang telah diturunkan oleh Allah SWT yang dilaksanakan bertahap oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim.  Hukum keharaman khamr dan riba yang sering dijadikan argumen  pelaksanaan hukum Islam secara bertahap nyatanya tidaklah demikian. Semua hukum tersebut dilaksanakan secara totalitas dan seketika.

Lagipula saat ini seluruh ayat dan hukum Allah telah turun sempurna sehingga tak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan-nya. Menunda pelaksanaan hukum Allah adalah kemaksiatan, baik itu hukum ibadah, muamalah, pemerintahan dan jihad. Tidak diterima alasan bagi seorang Muslim yang bermuamalah ribawi dengan argumen untuk nafkah keluarga dan daripada digunakan orang kafir, atau seorang pria Muslim tidak mengerjakan shalat Jumat dengan alasan dilarang oleh kantor tempatnya bekerja. Semua hambatan itu harus ia pecahkan dan semua hukum Allah harus ia kerjakan seketika.

Proses Transformasi

Proses perubahan menuju Khilafah Islamiyah dan tegaknya syariah Islam bukanlah gerakan segelintir elit tanpa menyertakan umat. Justru umatlah yang harus menjadi basis kekuatan proses transformasi ini. Gerakan umat yang menuntut perubahan ini bukanlah gerakan sporadis tanpa arah, atau hanya sekadar meluapkan kekecewaan mereka kepada penguasa. Umat harus bergerak karena kesadaran setelah terbentuk melalui opini umum dan perasaan umum yang dibangun oleh partai Islam.

Karena itu tugas partai politik Islam bukanlah mendulang suara lima tahun sekali jelang Pemilu, tetapi mengedukasi umat hingga mereka paham arti pentingnya transformasi ke arah Islam. Umat harus ditempatkan bukan sebagai komoditi, melainkan objek dakwah untuk penanaman mabda’ (ideologi) ke dalam diri mereka. Dengan demikian mabda’ bersenyawa dan mengkristal dalam kepribadian umat. Apa yang umat lakukan dan tuntut adalah tegaknya mabda’ Islam, bukan sekadar tuntutan isi perut. Proses transformasi menuju tegaknya syariah Islam dan Khilafah adalah transformasi ideologis, bukan karena dorongan materi dan kepentingan hidup.

Selain proses kristalisasi ke dalam tubuh umat, Rasulullah saw. juga mencontohkan pentingnya merebut dukungan dari kalangan ahlul quwwah, atau orang-orang yang memiliki kekuatan politik, militer dan ekonomi dalam proses transformasi. Di penghujung dakwah di Makkah, Rasulullah saw. terus-menerus melakukan dakwah kepada pimpinan-pimpinan sejumlah kabilah untuk mendapatkan dukungan mereka. Akhirnya, Allah SWT membuka pertolongan melalui suku Aus dan Khazraj. Ashabu-quwwah ini memiliki peran strategis dalam proses transformasi karena mereka akan mengawal dan menjaganya.

Langkah ini pun harus diambil dalam dakwah hari ini. Transformasi menuju masyarakat Islam harus didukung oleh para kalangan berpengaruh di masyarakat. Jatuhnya Mursi dari tampuk kepresidenan di antaranya karena tidak mendapat dukungan dari kalangan militer. Begitupula nasib yang dialami FIS di Aljazair yang ditumbangkan oleh militer setelah memenangkan Pemilu.

Terakhir, kemenangan dakwah Islam tentunya membutuhkan kedekatan hubungan para dai dengan Allah SWT. Mereka harus menjaga setiap amanah dakwah, menjaga hukum-hukum Allah dalam keseharian dan memperbanyak taqarrub kepada-Nya. Karena milik Allah SWT segala pertolongan berada, maka siapa saja yang mengharapkan kemenangan sejati sudah sepatutnya menundukkan diri ke hadapan-Nya.

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (QS ar-Rum [30]: 47).

[Iwan Januar; (Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*