Pada setiap Pemilu diskusi tentang sikap golput selalu ramai. Meski Pileg sudah lewat, pembicaraan itu tetap bakal ramai sebab dua bulan lagi masih ada Pilpres. Sudah jelas bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban, artinya tidak memilih tidak bisa dipersalahkan. Meski begitu, ada bermacam anggapan dan alasan yang tak jarang “mempermasalahkan” sikap itu. Bermacam anggapan seputar sikap tidak ikut Pemilu dan tidak memilih itu, redaksi bahas dalam wawancara dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ustadz M Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Pileg sudah usai. Namun, angka golput mencapai 34,18 persen, jauh lebih tinggi dari partai pemenang Pileg. Bagaimana menurut Ustadz?
Sebenarnya adanya banyak anggota masyarakat yang golput adalah fenomena yang wajar dalam politik. Itu memang selalu terjadi dalam tiap kali Pemilu sejak tahun 1955 dulu hingga sekarang. Saya kira golput akan tetap terjadi dalam Pemilu-pemilu mendatang.
Banyak faktor mengapa orang tidak memilih. Ada karena masalah teknis. Sebutlah golput teknis, misalnya karena sakit, hujan atau TPS-nya jauh di kampung sana, dan sebagainya. Ada juga masalah psikologis (golput psikologis), yakni kekecewaan seseorang pada partai-partai yang ada akibat perilaku korup, abai terhadap kepentingan rakyat dan sebagainya. Bisa juga karena masalah politik dan ideologi (golput ideologis). Partai-partai yang ada dinilai tidak sesuai dengan pandangan politik dan ideologi yang dianut. Apapun latar belakangnya, golput adalah juga hak rakyat yang tidak bisa atau tidak boleh dipersoalkan. Ini kurang lebih sama dengan sikap abstain dalam voting di gedung parlemen. Kalau anggota parlemen boleh abstain, mengapa rakyat tidak boleh?
Bukan hanya di Indonesia, di AS yang disebut negara paling demokratis sekalipun golput juga ada. Pemilihan Presiden AS baru lalu hanya diikuti oleh sekitar 57%. Artinya, 43% golput. Dalam 40 tahun terakhir, jumlah partisipasi pemilih dalam Pemilu di berbagai belahan dunia memang terus menurun. Kondisi serupa juga terlihat di Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Latin. Kenyataan ini bahkan sudah menjadi bahasan tersendiri di antara para pakar ilmu politik dalam beberapa tahun terakhir.
Kalau ada yang harus disalahkan dari fenomena merebaknya golput mestinya adalah anggota parlemen dan partai-partai yang telah banyak menimbulkan kekecewaan pada rakyat. Mereka membuat peraturan perundangan yang merugikan rakyat, korup dan abai terhadap kepentingan rakyat. Intinya, ada distrust (ketidakpercayaan) rakyat terhadap partai politik yang amat parah. Kalau sekarang rakyat tidak lagi mau memilih mereka, mengapa rakyat yang disalahkan?
Bagaimana seharusnya tolok ukur sikap terkait Pemilu termasuk memilih dan tidak memilih itu?
Mestinya orang memilih atau tidak memilih harus berdasar pada argumen yang kokoh, bukan hanya karena suka atau tidak suka, atau sekadar ikut-ikutan. Berulang telah dikatakan, Pemilu hanyalah cara (uslub) dan sarana (wasilah) untuk meraih atau mencapai sesuatu. Awalnya, hukumnya mubah. Selanjutnya bergantung pada tujuan yang hendak dicapai dengan Pemilu itu. Bila tujuannya itu Islami, Pemilu itu boleh dilakukan. Namun, bila Pemilu itu untuk tujuan yang tidak islami atau bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, misalnya untuk memilih wakil rakyat yang akan menyusun peraturan perundangan (legislasi) yang tidak islami atau memilih pemimpin yang akan menerapkan peraturan perundangan sekular, maka memilih dalam Pemilu seperti ini tidak boleh dilakukan.
Argumen seperti ini, yang berdasar pada pemikiran Islam, memang tidak banyak dipahami oleh masyarakat karena kita sudah sangat lama tidak menggunakan Islam sebagai dasar dalam berpikir dan bertindak. Islam dipahami sekadar sebagai agama ritual semata sehingga tidak terlalu berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, meski penduduk negeri ini mayoritas Muslim, sikap islami tidaklah tercermin dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di bidang politik. Lihat saja, pemenang Pemilu baru lalu, bahkan sampai urutan ke-4, tetap saja partai sekular. Perolehan suara partai Islam tidak sebesar partai sekular.
Ada yang menganggap golput itu cerminan sikap putus asa dan apatis dengan kondisi bangsa?
Anggapan seperti itu baru benar bila mereka yang tidak ikut Pemilu atau tidak memilih semata didasari oleh kemalasan berpikir dan sikap emosional. Setelah itu pun mereka tidak berbuat apa-apa. Orang seperti ini jelas sekali telah dirundung apatisme dan sikap tidak peduli terhadap keadaan bangsa dan negara. Meski tidak tahu persis jumlahnya, golongan seperti ini ada di tengah masyarakat.
Namun, yang tidak memilih karena paham terhadap kondisi yang ada, terhadap kinerja partai-partai yang ada, korupsinya, termasuk bagaimana pengkhianatan para politikus dalam menyusun peraturan perundangan demi kepentingan asing dengan mengorbankan kepentingan rakyat, tidak bisa kita menyebut orang seperti ini apatis. Ini sesungguhnya bentuk perlawanan terhadap kerusakan sistem politik dan kebobrokan para politikus. Apalagi bila di luar itu mereka juga tidak tinggal diam. Dengan caranya, mereka terus berjuang untuk perbaikan negeri, melawan penguasa yang korup dan tidak amanah, guna membawa negeri ini keluar dari cengkeraman sekularisme dan neo imperialisme. Bagaimana kita menyebut orang seperti ini sebagai apatis?
Sebaliknya, kita justru bisa menyatakan, orang-orang yang tetap saja memilih partai yang jelas-jelas sudah terbukti korup, tidak amanah dan sangat berpihak pada sekularisme dan kepentingan asing, serta menjauhi perjuangan Islam, juga orang-orang yang tetap saja membebek pada demokrasi dengan segala pernak perniknya padahal sudah sangat jelas kerusakannya, sebagai orang yang bebal. Orang seperti ini hakikatnya justru menginginkan negeri ini tetap dalam keterpurukan, dan secara sadar telah menjerumuskan bangsa dan negara ini ke jurang penderitaan dan problematika yang lebih dalam.
Jika ingin perubahan ya harus ikut Pemilu. Tidak memilih berarti menyia-nyiakan peluang perubahan itu. Bagaimana dengan anggapan itu?
Tergantung, perubahan seperti apa yang ditawarkan. Kalau perubahan orang atau rezim, mungkin itu bisa dilakukan melalui Pemilu. Namun, perubahan rezim tidak selalu membawa kebaikan bila tidak diikuti dengan perubahan sistem. Buktinya, ya seperti yang selama ini terjadi. Coba, sudah berapa kali kita mengalami pergantian atau perubahan rezim, tetapi kondisinya tak banyak berubah, to? Malah banyak orang menilai kondisi sekarang dalam banyak hal, misalnya dalam soal korupsi, lebih buruk dari sebelumnya. Begitu parahnya praktik korupsi, sampai muncul anekdot, bila pada masa Orde Baru korupsi dilakukan di bawah meja, sekarang di atas meja, bahkan mejanya pun dikorup.
Bila kita menginginkan juga perubahan sistem, apalagi ideologi, bagaimana kita bisa berharap bila Pemilu itu sendiri tidak menawarkan hal itu? Yang terjadi justru ada kecenderungan untuk mempertahankan sistem, terutama dilakukan oleh kekuatan politik yang sudah menikmati lezatnya kekuasaaan. Lagi pula, dalam kenyataannya, perubahan rezim dan sistem, misalnya dari rezim Orde Lama ke Orde Baru, juga dari Orde Baru ke Orde Reformasi, begitu juga perubahan-perubahan besar di berbagai negara di dunia, seperti terjadi di sejumlah negara Timur Tengah baru lalu, tidaklah terjadi melalui Pemilu. Jadi, bagaimana kita bisa memutlakkan Pemilu sebagai satu-satunya jalan perubahan?
Ada yang mengatakan, golput tidak membuat kondisi makin baik, bahkan membuat peluang terpilihnya orang yang buruk makin besar, sebab mereka yang ingin kondisi lebih baik justru tidak memilih?
Memang, tidak memilih tidaklah otomatis akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Sebenarnya sama dengan memilih; juga tidak mesti bakal membuat keadaan menjadi lebih baik. Parlemen dan penguasa yang ada sekarang, juga yang sebelumnya, adalah hasil Pemilu. Lihatlah, apa yang telah mereka perbuat untuk negeri ini. Dengan kedudukan yang mereka dapat berkat pilihan rakyat, lahir banyak peraturan perundangan yang justru merugikan rakyat dan negara seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan banyak lagi lainnya. Melalui mereka juga kepentingan asing masuk. Merekalah pelaku korupsi yang paling ganas di negeri ini. Mereka pula yang telah menjual aset berharga milik negara. Masih ingat, siapa yang menjual Indosat? Siapa yang memberikan kontrak kepada Freeport? Siapa yang menyerahkan blok kaya minyak kepada Exxon Mobil? Mereka semua adalah anggoa parlemen dan penguasa pilihan rakyat. Jadi, kalau ada yang harus ditunjuk sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas semua kerusakan itu, tak lain adalah rakyat yang memilih mereka. Kalau begitu, berarti khan, rakyat sendirilah yang telah merusak negeri ini? Jadi, bagaimana bisa dikatakan bahwa memilih akan bisa memperbaiki keadaan?
Demokrasi dan Pemilu kan sudah menjadi konsensus bangsa. Kalau ingin perubahan ya harus dilakukan lewat Pemilu dan memilih?
Pernyataan seperti ini memang sering kita dengar. Namun, coba perhatikan, apakah perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, juga dari Orde lama ke Orde Baru, bisa disebut mengikuti jalan demokrasi. Tidak, kan? Itu menunjukkan bahwa apa yang disebut konsensus dan konstitusi masih bisa diubah. Termasuk UUD 45 pun yang katanya merupakan konsensus besar bangsa, ternyata bisa diubah. Buktinya, ada 4 kali amandemen, dan sekarang katanya sedang disiapkan amandemen yang ke-5.
Lagi pula, apa benar demokrasi adalah konsensus pendiri bangsa? Coba periksa dengan teliti, tidak ada satu pun kata demokrasi dalam sila-sila Pancasila, juga dalam UUD ‘45. Kalaupun ada kata demokrasi, itu hanya menjadi frasa dalam sebuah pasal hasil amandemen baru lalu, bukan menjadi pasal khusus. Jadi, dari mana mereka bisa bilang bahwa demokrasi adalah konsensus? Kalaupun benar itu telah menjadi konsensus, apakah generasi baru, setelah menyadari bahwa itu konsensus salah, tidak boleh mengoreksinya?
Jika orang-orang baik seperti Ustadz tidak ikut Pemilu dan tidak memilih, apakah rela jika nanti negeri ini justru dikendalikan oleh orang-orang yang tidak baik atau bahkan non-Muslim?
Tentu kita tidak rela. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus mencegah orang kafir menguasai negeri ini. Karena itu dalam Pemilu kemarin kita menyerukan kepada publik, bila hendak memilih, pilihlah calon wakil rakyat yang benar-benar hendak berjuang untuk tegaknya syariah dan khilafah, menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah, menegakkan amar makruf nahi mungkar dan tidak terlibat dalam proses legislasi yang tidak islami. Bila hendak memilih pemimpin, pilihlah yang Muslim, laki-laki, beriman dan bertakwa, dan yang mau menerapkan syariah secara kaffah dalam sistem Khilafah. Hanya bila dipimpin oleh orang seperti itu, negeri Muslim ini akan tumbuh menjadi baldah thayyibah wa rabbun ghafur.
Selama ini, justru melalui jalan demokrasilah semua yang dikhawatirkan tadi, yakni naiknya orang yang buruk dan orang kafir ke tampuk kekuasaan bisa terjadi. DKI Jakarta, Kalbar, Kalteng dan sejumlah propinsi lain yang notabene merupakan bagian dari negeri muslim dengan penduduk mayoritas Muslim, tapi dipimpin oleh orang kafir. Jadi jelaslah, bahwa yang menjadi pangkal keburukan adalah demokrasi itu sendiri, bukan golput.
Melalui Pemilu setidaknya keburukan dan hal-hal yang merugikan Islam dan umat kan bisa diminimalisir?
Tergantung apa yang dimaksud dengan keburukan dan hal-hal yang merugikan itu. Seperti tadi sudah saya sebut, semua keburukan yang terjadi saat ini, mulai dari lahirnya peraturan perundangan yang buruk, pemimpin yang buruk, wakil rakyat yang korup dan sebagainya, pangkalnya adalah demokrasi dan penerapan sistem sekular. Oleh karena itu, selama dua hal itu ada, keburukan tidak akan hilang. Sebaik apapun orang yang dipilih dalam sistem itu, hasilnya akan tetap buruk, karena yang membuat buruk adalah sistemnya itu sendiri. Jadi, kalau kita ingin benar-benar menghentikan keburukan, sistem demokrasi dan sistem sekular itu harus dibuang jauh-jauh dari negeri ini.
Lalu bagaimana seharusnya sikap yang harus dibangun dalam masalah ini?
Penting untuk ditegaskan di sini, tidak boleh kita memfokuskan apalagi menggan-tungkan perjuangan melalui Pemilu. Apalagi kenyataannya, Pemilu dalam sistem demokrasi bukanlah jalan yang diberikan kepada kekuatan politik Islam untuk naik ke puncak kekuasaan. Lihatlah apa yang terjadi di Mesir, juga di Aljazair dengan FIS-nya yang menang pemilu secara telak tapi kemudian dianulir, dan bahkan kini FIS, sama seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, menjadi partai terlarang. Keadaan serupa menimpa Hamas di Palestina, yang menang Pemilu tetapi hingga sekarang tidak diakui oleh Barat. Sama seperti Ikhwanul Muslimin, Hamas juga telah ditetapkan sebagai kelompok teroris. Erbakan di Turki, yang naik ke puncak kekuasaan melalu Pemilu, tapi baru dua tahun barjalan dari 4 tahun masa kekuasaannya, digulingkkan oleh militer Turki. Ibarat lomba lari, demokrasi membolehkan kekuatan politik Islam turut serta, tapi wasit telah lebih dulu membuat aturan, parpol Islam tidak boleh menang. Kalau menang akan ditembak.
Karena itu, kita harus memfokuskan perjuangan melalui jalan dakwah yang dilakukan sesuai dengan thariqah dakwah Rasulullah saw., yang dimulai dengan pengkaderan, pembentukan kesadaran umum tentang Islam di tengah masyarakat dan thalabun nushrah. Inilah jalan yang haq, yang dijamin akan menghasilkan kemenangan yang hakiki pula demi tegaknya al-haq: penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.[]