Pengantar
Mu‘âwin Tafwîdh adalah manusia dan Khalifah juga seorang manusia. Tentu masing-masing memiliki karakter sendiri yang berbeda, yang mungkin berpengaruh terhadap warna kebijakannya. Dengan wewenang secara umum yang dimiliki Mu‘âwin Tafwîdh, tidak menutup kemungkinan ada kebijakan yang dikeluarkan Mu‘âwin Tafwîdh, yang tidak sejalan dengan keinginan Khalifah, sebagai pihak yang dia wakili. Lalu bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Adakah mekanisme penyelesaiannya? Atau bolehkah Mu‘âwin Tafwîdh ditugasi hanya untuk menangani tugas-tugas khusus?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 47, yang berbunyi: “Apabila Mu’awin Tafwidh telah mengatur suatu urusan, lalu disetujui Khalifah, maka dia dapat melaksana-kan urusan itu sesuai dengan persetujuan Khalifah, tanpa mengurangi atau menambahnya. Jika Khalifah menarik kembali persetujuannya, dan Mu’awin menolak mengembalikan apa yang telah diputuskan, maka dalam hal ini perlu dilihat: Jika masih dalam rangka pelaksanaan hukum sesuai dengan perintahnya atau menyangkut harta yang sudah diserahkan kepada yang berhak, maka pendapat Mu’awin yang berlaku, sebab pada dasarnya hal itu adalah pendapat Khalifah juga. Khalifah tidak boleh menarik kembali hukum yang sudah dilaksanakan, atau harta yang sudah dibagikan. Sebaliknya, jika apa yang sudah dilaksanakan Mu’awin di luar ketentuan-ketentuan tersebut, seperti mengangkat wali atau mempersiapkan pasukan, maka Khalifah berhak menolak perbuatan Mu’awin dan melaksanakan pendapatnya sendiri serta menghapus apa yang telah dilakukan Mu’awin. Pasalnya, Khalifah berhak untuk mengubah kembali kebijaksanaan-nya atau pun kebijaksanaan Mu’awinnya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 181)
Juga pasal 48 yang berbunyi: “Mu’awin Tafwidh tidak terikat dengan salah satu departemen dari departemen- departemen administratif karena kekuasaannya bersifat umum. Pasalnya, mereka yang melaksanakan aktivitas administratif adalah para pegawai dan bukan penguasa, sedangkan Mu’awin Tafwidh adalah seorang penguasa. Ia tidak diserahi tugas secara khusus dengan urusan-urusan administratif tersebut karena kekuasaannya bersifat umum.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 183).
Mekanisme Pelaksanaan Tugas Mu’awin Tafwîdh
Pasal 47 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam ini memberikan gambaran tentang bagaimana mekanisme Mu‘âwin Tafwîdh melaksanakan tugas-tugasnya, juga tentang bagaimana mekanisme Khalifah mengontrol tugas-tugas Mu‘âwin Tafwîdh. Gambaran ini diambil dari hal-hal saat Khalifah boleh untuk meninjau ulang atau mencabut kembali sejumlah tindakan; juga dari hal-hal saat Khalifah tidak boleh meninjau ulang atau mencabut kembali sejumlah tindakan. Sebab, tindakan Mu‘âwin Tafwîdh itu bisa dianggap sebagai tindakan Khalifah sendiri. Pasalnya, Khalifah telah mendelegasikan kepada dirinya pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melaksanakan berbagai urusan itu berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 130; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 22).
Pendelegasian tugas-tugas Khalifah kepada Mu‘âwin Tafwîdh ini adalah perkara yang boleh. Bahkan menurut Imam al-Mawardi tidak ada yang melarang kebolehan mendelegasikan pengaturan berbagai urusan kepada Mu‘âwin Tafwîdh, menurut pendapatnya, dan melaksanakan berbagai urusan itu berdasarkan ijtihadnya. Allah SWT berfirman yang mengisahkan tentang Nabi-Nya, Musa as.:
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي. هَارُونَ أَخِي. اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي. وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku (QS Thaha [20]: 29-32).
Jika pendelegasian ini dibolehkan dalam menjalankan tugas kenabian, tentu lebih dibolehkan dalam menjalankan tugas kepe-mimpinan. Pasalnya, tugas yang diamanahkan kepada Imam (Khalifah) untuk mengatur urusan umat tidak mungkin bisa dilakukan sendiri semuanya dengan sempurna, kecuali ada yang membantu dan mewakilinya (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 22).
Jadi, Mu‘âwin Tafwîdh—dalam hal-hal yang diwakilkan kepada dirinya—boleh untuk memutuskan perkara menurut pendapatnya sendiri dan mengangkat para penguasa sebagaimana hal itu boleh bagi Khalifah karena syarat-syarat pemerintahan dalam hal ini sudah jelas. Mu‘âwin Tafwîdh juga boleh memeriksa berbagai kezaliman dan menunjuk wakil dalam masalah ini karena syarat-syarat seputar kezaliman dalam hal ini juga sudah jelas. Mu‘âwin Tafwîdh boleh memimpin jihad secara langsung, juga boleh mengangkat orang yang memimpin jihad itu, karena syarat-syarat perang dalam hal ini juga sudah jelas. Mu‘âwin Tafwîdh juga boleh secara langsung melaksanakan perkara-perkara yang dia atur dan boleh juga menunjuk wakil untuk melaksanakannya karena syarat-syarat mengenai pendapat dan pengaturan dalam hal ini juga sudah jelas (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 135; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 25; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 62).
Hanya saja, ini tidak berarti bahwa apa yang telah dilakukan oleh Mu‘âwin Tafwîdh itu tidak boleh dibatalkan oleh Khalifah selama Mu‘âwin Tafwîdh telah melaporkannya kepada Khalifah. Akan tetapi, maksudnya Mu‘âwin Tafwîdh memiliki wewenang yang dimiliki oleh Khalifah dalam tugas-tugas yang dibebankan kepada dirinya. Namun, tugas-tugas itu merupakan mandat perwakilan dari Khalifah, bukan tugas-tugas yang berdiri sendiri atau lepas sama sekali dari Khalifah. Karena itu Khalifah boleh menolak kebijakan Mu‘âwin yang menolak untuk menarik kembali apa yang telah dia lakukan, dan membatalkan berbagai tindakan yang telah dia lakukan. Namun demikian, hal itu tetap harus berada dalam batas-batas yang memang dibolehkan bagi Khalifah untuk meninjau ulang atau menarik kembali berbagai tindakan yang telah ia laksanakan.
Oleh karena itu, jika Mu‘âwin Tafwîdh telah menerapkan hukum menurut pendapatnya sendiri atau telah menetapkan sendiri sesuatu dalam urusan harta, lalu Khalifah datang dan menolak kebijakan Mu‘âwin Tafwîdh setelah Mu‘âwin Tafwîdh melaksanakan urusan tersebut, maka penolakan Khalifah dalam hal ini tidak ada nilainya. Bahkan kebijakan Mu‘âwin Tafwîdh itu tetap harus dijalankan. Dalam hal ini pendapat Khalifah harus ditolak dan diabaikan karena pada dasarnya semua itu merupakan pendapat Khalifah. Dalam kondisi seperti ini, Khalifah tidak boleh menarik kembali pendapatnya itu atau membatalkan sesuatu yang telah selesai dijalankan. Karena itu pula, Khalifah tidak boleh membatalkan tindakan Mu‘âwin Tafwîdh-nya dalam masalah itu (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 135; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 25; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 62).
Adapun jika Mu‘âwin Tafwîdh telah mengangkat wali, pegawai, komandan pasukan atau pengangkatan lainnya, atau Mu‘âwin Tafwîdh telah menetapkan politik ekonomi, strategi militer, perencanaan industri, atau yang semisalnya, maka Khalifah boleh membatalkannya. Sebab, meskipun hal itu bisa dianggap sebagai pendapat Khalifah, ia termasuk perkara yang boleh ditarik kembali oleh Khalifah seandainya ia laksanakan sendiri. Karena itu, ia juga boleh membatalkan aktivitas orang yang mewakili dirinya dalam masalah itu. Dalam kondisi ini, Khalifah boleh membatalkan aktivitas Mu‘âwin Tafwîdh (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 135; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 25; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 62).
Kaidah dalam masalah ini adalah:
كُلُّ مَا جَازَ لِلْخَلِيْفَةِ أَنْ يَسْتَدْرِكَهُ مِنْ فِعْلِ نَفْسِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يَسْتَدْرِكَهُ مِنْ فِعْلِ مُعَاوِنِهِ، وَكُلُّ مَا لَمْ يَجُزْ لِلْخَلِيْفَةِ أَنْ يَسْتَدْرِكَهُ مِنْ فِعْلِ نَفْسِهِ لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَسْتَدْرِكَهُ مِنْ فِعْلِ مُعَاوِنِهِ.
Setiap perkara saat Khalifah boleh untuk mengoreksi (menarik kembali) aktivitas dirinya, maka boleh bagi Khalifah untuk mengoreksi (menarik kembali) aktivitas yang sama yang dilakukan oleh Mu‘âwin-nya. Setiap perkara saat Khalifah tidak boleh untuk mengoreksi (menarik kembali) aktivitas dirinya, maka tidak boleh juga bagi Khalifah untuk mengoreksi (menarik kembali) aktivitas yang sama yang dilakukan oleh Mu‘âwin-nya.” (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 135; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 62).
Mu‘âwin Tafwîdh: Penguasa, Bukan Pegawai
Adapun pasal 48 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam menegaskan bahwa Mu‘âwin Tafwîdh tidak dikhususkan untuk menangani suatu departemen atau instansi tertentu seperti, departemen pendidikan, misalnya. Sebab sabda Rasulullah saw.:
وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Dua wazîr-ku dari (penduduk) bumi ini adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Said al-Khudri).
Kata wazîr (pembantu) dalam hadis ini telah digunakan oleh para fuqâha’ (ahli fikih) secara umum serta diterima oleh kebanyakan mereka (sebagai dalil). Penggunaan kata wazîr dengan makna bahasa, yaitu mu’în (pembantu), juga digunakan oleh al-Quran (Lihat: QS Thaha [20]: 29).
Makna wazîr dalam ayat tersebut adalah pembantu, yakni mu’în (Al-Andalusi, Tafsîr al-Bahrul Muhîth, VI/224), atau mu’âwin (Al-Alusi, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani, XVI/184).
Dengan demikian Mu‘âwin Tafwîdh adalah mu’âwin (pembantu), yakni pembantu Khalifah dalam menjalankan tugas-tugas Kekhilafahan atau pemerintahan. Oleh karena itu, Mu‘âwin Tafwîdh itu adalah seorang pejabat pemerintah (penguasa), bukan seorang pegawai. Tugasnya adalah memelihara berbagai urusan rakyat, bukan melaksanakan aktivitas-aktivitas pegawai yang digaji untuk melaksanakannya.
Dari sini maka Mu‘âwin Tafwîdh tidak menangani urusan-urusan administrasi secara langsung. Namun demikian, bukan berarti Mu‘âwin Tafwîdh dilarang melakukan aktivitas administrasi apapun. Akan tetapi, maksudnya bahwa Mu‘âwin Tafwîdh tidak boleh dikhususkan untuk menangani tugas-tugas administrasi saja; artinya ia boleh melaksanakan semua aktivitas secara umum (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 136; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 63).
Mengapa ia tidak diserahi untuk menangani urusan-urusan khusus. Sebab, dia adalah Mu‘âwin Tafwîdh. Mu‘âwin Tafwîdh itu diserahi tugas berdsarkan dua hal, yaitu sebagai wakil (niyâbah), yakni sebagai wakil Khalifah; dan keumuman wewenang (‘umumun nadzr), yakni ia diberi jabatan yang mencakup segala urusan negara. Untuk itu, Mu‘âwin Tafwîdh tidak butuh penyerahan baru untuk menjalankan setiap perkara saat Khalifah membutuhkan bantuannya, atau ketika Khalifah mengirim dia ke tempat manapun. Sebab, Mu‘âwin Tafwîdh tidak diangkat untuk menangani tugas-tugas khusus. Yang diangkat untuk menangani tugas-tugas khusus adalah wali dengan wilayah (kekuasaan) khusus, seperti kepala hakim (qâdhi al-qudhâh), panglima militer (amîrul jaisy), wali khusus untuk mengurusi keuangan (wâli ash-shadaqât), dan yang seperti mereka. Untuk yang seperti mereka ini butuh pengangkatan baru untuk setiap wilayah khusus di tempat mereka ditugaskan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 184).
WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Daftar Bacaan
Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani (Bairut: Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan I, 1993.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkâm as-Sulthâniyah (Beirut: Dar al-Fikr), Cetalakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.