HTI

Fokus (Al Waie)

Pemilu dan Status Quo

Setiap kali Pemilu datang, masyarakat selalu dijanjikan perbaikan dan perubahan. Ajakan dan slogan untuk memilih caleg, capres dan partai ramai menghias media dan jalan-jalan. Masyarakat didorong berpartisipasi menyukseskan—yang mereka sebut—pesta demokrasi. Mereka katakan, “Ini untuk kebaikan bangsa 5 tahun ke depan.”

Harapan tinggal harapan, perbaikan dan perubahan yang dijanjikan tak kunjung datang. Sejak dulu hingga sekarang, belasan kali Pemilu sudah dilaksanakan, kesejahteraan masyarakat masih di awang-awang. Berkali-kali berganti kepemimpinan, sebanyak itu pula rakyat selalu menelan kekecewaan.

Dalam catatan sejarah, setidaknya bangsa ini sudah 11 kali menggelar Pemilu. Pada masa Orde Lama dan peralihan ke Orde Baru digelar dua kali Pemilu, yakni tahun 1955 dan 1971. Pemilu tahun 1955 diikuti oleh 172 parpol yang didominasi empat parpol yaitu: PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Pemilu tahun 1971 yakni pada awal pemerintahan Soeharto, diikuti oleh 10 parpol. Pada zaman Orde Baru, Pemilu digelar 5 kali yakni tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada masa itu, karena kebijakan “penyederhanaan” partai politik, Pemilu hanya diikuti 3 parpol saja, yakni PPP, PDI dan Golongan Karya.

Berikutnya, paska tumbangnya rezim Orde Baru, masuk pada Orde Reformasi, Pemilu digelar 4 kali yakni tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik, tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik, tahun 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan tahun 2014 yang diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh.

Sepanjang kurun waktu tersebut, Indonesia memiliki 6 orang presiden, yakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati SP dan Soesilo Bambang Yudhoyono.

Pertanyaannya, apa yang dihasilkan dari 11 kali Pemilu dan pergantian 6 orang presiden? Adakah perubahan mendasar dan perbaikan bagi masyarakat? Saya mencatat, setidaknya ada 3 hal penting yang harus menjadi perhatian kita.

1.         Pemilu Tak Menghasilkan Perubahan.

Fakta sejarah menunjukkan, Pemilu yang selama ini digelar di Indonesia tidak melahirkan perubahan mendasar. Yang terjadi hanya perubahan orang atau rezim saja. Tak ada yang berubah dalam sistem politik di Indonesia. Sistem politik yang berlaku tetaplah sistem demokrasi.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, UUD 1945 telah menetapkan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi, yang menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan (kekuasaan tertinggi) yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai bentuk representasi demokrasi perwakilan.

Indonesia pernah menjalankan model demokrasi parlementer atau demokrasi liberal, yakni sejak pemberlakuan UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) . Ini berlangsung sampai Presiden Soekarno menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang diberlakukan adalah demokrasi terpimpin yang menjadikan seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yang waktu itu Presiden Soekarno.

Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto menerapkan demokrasi yang dia sebut sebagai “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi ini diciptakan lebih untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Paska tumbangnya rezim Soeharto, Indonesia memasuki model demokrasi reformasi yang ditandai dengan penyelenggaraan Pemilu tahun 1999 yang dipandang demokratis.

Alhasil, sesungguhnya selama kurun waktu 59 tahun, yakni dari Pemilu 1955 hingga 2014, tidak ada perubahan yang berarti dalam sistem perpolitikan Indonesia. Sistem pemerintahannya masih menggunakan sistem demokrasi walaupun dengan style dan model yang beragam. Adapun yang berganti hanyalah rezimnya saja. Rezim Orde Lama dengan ikon Soekarno-nya, digantikan oleh rezim Orde Baru dengan tokohnya Soeharto, lalu beralih menjadi “demokrasi reformasi” yang melahirkan beberapa tokoh sebagai presiden mulai Habibie hingga SBY.

Hal ini semakin menjelaskan bahwa Pemilu dalam sistem demokrasi sesungguhnya tak bisa diharapkan sebagai jalan perubahan yang mendasar. Ini karena Pemilu menurut UU Pemilu (UU No 08/2012) maupun UU Pilpres (UU 42/2008) memang didesain hanya untuk memilih orang dan mengganti pemimpin saja, bukan mengganti sistem.

2.         Pemilu dan Parpol Melanggengkan Demokrasi-Sekular.

Sistem demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan melanggengkan eksistensinya. Di antara mekanisme untuk menjaga keberlangsungan sistem demokrasi adalah dengan Pemilu yang diadakan secara periodik dan diikuti oleh partai politik.

Keberadaan parpol dan pelaksanaan Pemilu sengaja diakomodir dalam sistem demokrasi sebagai bentuk dari kanalisasi ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah. Jadi, masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan Pemerintah “dipaksa” menyalurkan ketidakpuasannya kepada partai politik. Jika ingin mengganti rezim yang berkuasa, masyarakat pun “dipaksa” menunggu pelaksanaan Pemilu berikutnya. Itu pun tetap harus melalui parpol. Cara lain selain Pemilu akan dianggap illegal dan inkonstitusional.

Problem berikutnya adalah, keberadaan dan sepak terjang partai politik diatur oleh regulasi yang “membelenggu”. Belenggu tersebut bertujuan agar parpol menjadi penjaga sistem demokrasi sekular. Dalam konsideran UU Partai Politik No. 2 tahun 2011 disebutkan bahwa UU Parpol dibuat “dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi…” Jadi, sedari awal, ruang parpol diberikan oleh Pemerintah hanya dan hanya jika dalam rangka menguatkan demokrasi tidak untuk mengganti demokrasi.

Hal tersebut semakin jelas tercantum dalam UUD 1945 hasil amandemen yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999. Pasal 1 UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik” dan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Kita tahu bahwa bentuk pemerintahan republik dan term kedaulatan rakyat adalah kata lain dari demokrasi, sementara sistem demokrasi adalah sistem yang lahir dari rahim sekularisme. Karena itu bisa dikatakan bahwa partai politik dan Pemilu justru sarana untuk mengokohkan sistem demokrasi yang sekular.

Selain itu demokrasi juga memiliki seperangkat aturan main (rule of the game) yang harus ditaati oleh siapapun yang berada di dalamnya, terutama oleh partai politik. Dalam sistem demokrasi, keberadaan agama diperbolehkan dan diakomodir, tetapi aturan agama tidak boleh mendominasi negara. Dengan kata lain, dalam negara demokrasi, agama hanya boleh berada di dalam ruang ibadah dan privat, tidak boleh berada dalam ruang publik apalagi pemerintahan. Aturan agama tentang shalat, shaum dan haji dibebaskan untuk dilaksanakan, tetapi hukum agama tentang sistem politik tidak boleh diterapkan.

Dalam sistem demokrasi, partai politik berbasis agama memang dibolehkan, tetapi standar dan sumber hukumnya tidak dbolehkan menggunakan sumber hukum Islam seperti al-Quran dan al-Hadits. Sistem demokrasi sudah memiliki standar hukum dan hierarki perundangan yang siapapun termasuk parpol dipaksa untuk menaatinya. Parpol tidak dibolehkan “off-side”, yakni melewati batas-batas yang sudah ditetapkan. Jika melanggar pasti dikeluarkan dalam kancah “pertandingan” di parlemen maupun di pemerintahan.

3.         DPR Hasil Pemilu Lahirkan UU Liberal.

Sejak tahun 1967 DPR dan Pemerintah telah mengeluarkan UU yang membuka peluang masuknya cengkeraman asing terhadap Indonesia. UU Penanaman Modal Asing (UUPMA) nomor 1 tahun 1967 bahkan sengaja disahkan agar PT Freeport bisa segera mengeksploitasi emas bangsa Indonesia hingga 30 tahun sejak 1967. Bahkan sebelum kontrak berakhir di tahun 1997, pada tahun 1991, Freeport berhasil memperpanjang kontraknya selama 20 tahun dan dapat diperpanjang kembali selama 2 x 10 tahun.

Paska reformasi 1998 hingga kini, DPR bersama Pemerintah  disinyalir melahirkan puluhan UU yang berupaya meliberalisasi sektor vital di Indonesia. UU tersebut bahkan sangat kental dengan kepentingan asing. Sebagai contoh UU Perbankan (No. 10 tahun 1998), UU Migas (No. 22 tahun 2001), UU Kelistrikan (No. 20 tahun 2002), UU BUMN (No. 19 tahun 2003), UU Pendidikan Nasional (No. 20 tahun 2003), UU Sumber Daya Air (No 7 tahun 2004), UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (No. 40 tahun 2004), UU Penanaman Modal (No. 25 tahun 2007), UU Mineral dan Batubara (No 4 tahun 2009), serta UU BPJS (No 24 tahun 2011).

Akibat lahirnya UU tersebut, kini dominasi asing semakin kuat mencengkeram sektor-sektor strategis. Sebagai contoh, menurut catatan Kompas, Per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Pada badan usaha milik negara (BUMN), dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025.

Selain banyak sektor strategis dikuasai asing, UU yang dilahirkan Pemerintah bersama dengan DPR semakin menjadikan negara berlepas tangan mengurus urusan masyarakat. Sebagai contoh UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS. Kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Akibatnya, kini masyarakat harus menanggung sendiri biaya kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah di tengah beratnya beban yang harus ditanggung rakyat akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis.

Tak Cukup Perubahan Rezim

Dari fakta yang terpapar di atas menjadi sangat jelas bagi kita, bahwa Pemilu memang hanya didesain untuk memilih dan mengganti orang-orang yang ada di parlemen dan pemerintahan. Tidak ada perubahan mendasar yang terjadi selama kurun waktu 59 tahun sejak 1955. Indonesia masih menganut sistem demokrasi sekular yang tidak memberikan ruang bagi aturan agama mendominasi ranah publik. Pemilu juga ternyata hanya menjadi alat untuk memperpanjang usia demokrasi sambil rakyat dibohongi setiap 5 tahun sekali. Partai politik menjadi wadah yang sangat efektif untuk kanalisasi suara perubahan agar bisa dikendalikan bahkan diarahkan.

Jadilah Indonesia seperti sekarang ini. Tak ada yang namanya kepentingan rakyat. Yang ada hanyalah kepentingan elite politik dan para kapitalis. Hal tersebut terjadi karena tidak ada yang berubah dari negeri ini. Sistem politik masih demokrasi sekular, sementara sistem ekonomi masih kapitalistik. Fakta yang terjadi saat ini hanyalah pergantian orang dari generasi ke generasi; hanya peralihan dari rezim yang satu ke rezim yang lain.

Sejarah panjang bangsa ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita, bahwa tidak cukup sekadar mengganti orang; tidak selesai masalah hanya dengan mengganti rezim. Sebelas kali Pemilu berlangsung, enam kali presiden berganti, tidak ada yang berubah dari negeri ini. Bahkan negeri ini makin terpuruk hampir di semua lini.

Para agen perubahan harus memiliki visi yang besar dalam melakukan perubahan. Tidak cukup sekadar berpikir “out of the box”, tetapi sudah saatnya berpikir “without the box”. Bukan hanya sekadar keluar dari belenggu sistem demokrasi, tetapi juga harus membuang jauh-jauh demokrasi.

Karena itu jika ingin Indonesia berubah menuju kondisi yang lebih baik, harus ada keberanian dari elit politik juga seluruh anak negeri untuk tak tak sekadar mengganti orang dan rezim yang berkuasa, tetapi juga mengganti sistem dan seluruh perangkat aturannya dengan sistem dan aturan yang berasal dari Yang Mahabaik dan Yang Mahasempurna yakni Allah SWT. Aturannya adalah syariah Islam. Sistemnya adalah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam. [Luthfi Affandi; Humas HTI Jabar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*