HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Pengalaman Buruk Demokrasi di Dunia Islam

Bisa disebut tidak ada ide yang demikian massif ditawarkan Barat di Dunia Islam kecuali demokrasi. Tentu yang dimaksud dengan demokrasi oleh Barat adalah sebuah sistem politik yang berasaskan sekularisme. Demokrasi menjadikan sumber hukum tertinggi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Sistem politik ini melindungi nilai-nilai  utamanya seperti liberalisme, pluralisme dan HAM.

Jalan demokrasi ini kerap dipaksakan di negeri-negeri Islam untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri Islam. Karena itu penting untuk menunjukkan bagaimana pengalaman demokrasi di negeri-negeri Islam. Harapannya, kita bisa melihat kepentingan apa sebenarnya di balik pemaksaan ide demokrasi itu.

Tunisia

Tunisia merupakan tempat awal pecahnya perlawanan rakyat  terhadap penguasa diktator Arab. Perlawanan rakyat—yang dikenal dengan Arab Spring—ini berujung pada tumbangnya diktator Zainal Abidin bin Ali, yang kemudian melarikan diri ke Saudi dengan membawa harta-harta milik rakyat Tunisia.

Tumbangnya Bin Ali tentu sangat mengkhawatirkan Barat. Pasalnya, selama ini kepentingan penjajahan Barat bisa diakomodir melalui penguasa diktator semacam Bin Ali yang merupakan agen mereka.  Apalagi Barat melihat adanya semangat  Islam di balik Arab Spring.

Untuk itu Barat berbalik arah mengecam Bin Ali, sembari menawarkan demokrasi yang bertopengkan Islam sebagai solusi. Mengapa bertopengkan Islam? Karena Barat sadar, ada semangat Islam di balik Arab Spring. Karena itu Barat mengkampanyekan demokrasi dengan bungkus istilah-istilah Islam seperti Ad-Dawlah al-Madaniyah (Negara Madani), Negara Syura, atau Islam moderat (Al-Islam al-mu’tadil).

Jalan demokrasi ditawarkan oleh Barat, tetap dalam kerangka sekularisme. Tunisia pun mengadakan Pemilu demokratis yang pertama pasca tumbangnya Zainal Abidin. Karena besarnya kecintaan rakyat Tunisia terhadap Islam dan kemuakan mereka terhadap kelompok liberalis/sekular yang selama ini berkuasa, Partai an-Nahdhah yang berakar pada gerakan Islam muncul sebagai pemenang.

Sayangnya, Partai an-Nahdhah sendiri melakukan strategi dua kaki. Kepada pendukung internalnya, menyakinkan memperjuangkan Islam. Secara eksternal An-Nahdhah menampakkan diri sebagai sebuah partai moderat yang minus ideologi Islam. An-Nahdhah terjebak dalam tekanan yang luar biasa melalui opini, media massa liberal nasional maupun internasional, untuk tampil dengan wajah moderat.

Walhasil, tidak banyak yang berubah setelah Pemilu. Keinginan rakyat Tunisia untuk menerapkan Islam dengan berharap kepada Partai An-Nahdhah kandas. Partai ini tidak jauh berbeda dengan partai sekular lainnya. Kebijakannya pun jauh dari Islam. Hasilnya bisa diduga, An-Nahdhah gagal menyelesaikan persoalan Tunisia.

An-Nahdhah mundur dari pemerintahan sembari tetap mendukung sekulerisme Tunisia. Setelah itu referendum  UUD baru digelar. Hasilnya, mengokohkan sekularisme Tunisia. Barat pun senang dengan kondisi ini, memuji An-Nahdhah karena mau berkompromi sekaligus memberikan selamat atas kesuksesan demokrasi Tunisia. Imbalannya, Tunisia mendapat bantuan dana utang yang besar dari Barat.

Mesir, Aljazair dan Palestina

Mesir yang posisinya sangat strategis di Dunia Islam juga terkena imbas ‘tsunami’ Arab Spring. Lewat gerakan rakyat yang turun ke jalan-jalan, Husni Mubarak, sang diktator di tahta Fir’un pun tumbang. Sama seperti Tunisia, Barat membajak perubahan dengan menawarkan demokrasi. Pemilu demokratis menghantarkan Mursi yang berbasis massa Ikhwanul Muslimin menjadi presiden. Parlemen pun dikuasai anggota yang mayoritas berasal dari partai yang berbasis IM dan Salafy.

Sayangnya, lagi-lagi Mursi dengan partainya memilih jalan moderat. Meskipun ada perubahan, bukan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Mesir tetaplah seperti Mesir sebelumnya yang sekular. Mursi pun dianggap gagal menyelesaikan persoalan Mesir. Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh militer yang masih di bawah kontrol Amerika.

Militer Mesir di bawah jenderal as-Sisi melakukan berbagai provokasi menumbangkan Mursi. Meskipun menang secara demokratis, Mursi digulingkan lewat kudeta militer. Ikhwan bahkan dikriminalisasi dan dituding teroris  dengan berbagai rekayasa. Pimpinan IM ditangkap. Lebih dari 500 orang divonis hukuman mati tanpa kesalahan yang jelas. Ribuan orang dipenjara dengan kejam.

Meskipun Mursi sudah berusaha tampil moderat, tampaknya Amerika masih khawatir, Mesir berpotensi mengarah pada Islam. AS mendukung kudeta dan pura-pura tidak tahu dengan kekejian militer di bawah as-Sisi. Amerika lebih merasa aman Mesir di bawah militer yang dikontrol penuh dengan bantuan dana besar setiap tahunnya.

Mesir kembali ke era militer di zaman Mubarak di bawah pimpinan Jenderal as-Sisi dengan dukungan kuat Barat. Jenderal alumnus pendidikan militer Amerika ini pun  melegalkan kekuasaannya menggelar referendum UUD Mesir. Lewat jalan demokratis ini  38,6% persen dari 53 juta pemilih yang  berhak memilih memberikan suaranya.  98,1% menyatakan setuju untuk UUD baru ini yang mengokohkan sekularisme Mesir dan kontrol Amerika atas kawasan ini.

Mesir mengulangai pengalaman demokrasi Aljazair sebelumnya. Di Aljazair, meskipun menang secara demokratis, FIS ditumbangkan. Pada 1990-an politik Aljazair didominasi krisis yang  melibatkan militer dan kelompok Islam yang oleh Barat dicap militan. Kembali jalan demokrasi ditawarkan sebagai solusi. Pada tahun 1992 diadakan Pemilu yang  dimenangkan oleh FIS. Barat sepertinya tidak nyaman. Lagi-lagi mereka menggunakan militer yang masih dalam kontrol mereka untuk membatalkan hasil Pemilu.

Tidak berhenti sampai disana, militer pun melakukan politik bumi hangus terhadap FIS yang secara terbuka dalam kampanyenya menyerukan syariah Islam. FIS dikriminalisasi dengan tudingan teroris. Pengeboman terjadi di mana-mana yang dilakukan oleh intelijen militer, yang  kemudian dituduhkan kepada FIS. Dalam konflik ini diperkirakan lebih dari 150 ribu orang terbunuh.

Di Palestina, demokrasi sukses mengadu-domba rakyat Palestina. Pada awalnya Hamas mendapat simpati dari Dunia Islam dan rakyat Palestina dengan Intifadhah-nya. Faksi Fatah yang di bawah kontrol Barat tidak ingin kehilangan pengaruh. Pemilu kemudian ditawarkan oleh Barat sebagai solusi krisis Palestina pada tahun 2006-2007.

Ternyata pemenangnya adalah HAMAS, bukan Fatah. Barat pun khawatir karena HAMAS tetap bersikukuh untuk tidak berdamai dengan entitas Zionis Yahudi. Berbagai tekanan dilakukan terhadap HAMAS meskipun menang secara demokratis. Palestina akhirnya pecah. Hamas berkuasa di Jalur Gaza, sementara Fatah di Tebi Barat.

Turki

Negara Republik Sekular Turki berdiri di bawah puing-puing keruntuhan Khilafah Islam tahun 1924. Turki di bawah Kamal Pasha memimpin Turki yang sekular dengan dukungan penuh militer yang dibawah kontrol Inggris. Amerika yang tampil sebagai negara adidaya baru pasca Perang Dunia II ingin menggeser pengaruh Inggris.

Partai Raffah muncul sebagai pemenang dalam Pemilu yang demokratis. Militer tampaknya gerah dengan partai yang tidak malu-malu menampakkan wajah Islam ini. Militer menggulingkan Nazmuddin Arbakan meskipun menang secara demokratis pada tahun 1997.

Belajar dari pengalaman itu, muncul partai AKP (Keadilan dan Pembangunan)  di bawah pimpinan Erdogan dan Abdullah Gul. Berbeda dengan pendahulunya,  AKP menampilkan wajah yang sekular dan moderat. Secara terbuka Erdogan dalam pidatonya di Johns Hopkin University Amerika Serikat menyatakan partainya bukanlah partai Islam. “Partai kami tidak pernah menjadi partai Islam, sebab tidak mungkin melakukan hal yang kurang memberikan rasa hormat terhadap agama kami seperti ini. Partai ini juga tidak mungkin berupa partai agama,” tegasnya.

Erdogan secara tegas di depan anggota AKP (17/4/2007) menekankan pentingnya demokrasi dan sekularisme. Erdogan berpidato : “Demokrasi, sekularisme dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, pilar-pilar itu akan hidup selamanya.”

Amerika pun memanfaatkan AKP untuk menggeser pengaruh Inggris di Militer. Turki lalu dijadikan model sukses dari  relasi Islam dan sekularisme. Laporan Rand Corperation (2008) berjudul, The Rise of Political Islam in Turkey, menjelaskan tentang pentingnya peran Turki untuk menunjukkan bahwa sekularisme dan Islam bisa menyatu, untuk mencegah radikalisasi.

Rand Corporation menyimpulkan: Hal ini penting karena masuk ke jantung masalah kompatibilitas Islam dan demokrasi. Kemampuan partai dengan akar Islam untuk beroperasi dalam kerangka sistem demokrasi sekular dengan menghormati batas-batas antara agama dan negara akan membantah argumen bahwa Islam tidak dapat didamaikan dengan demokrasi sekular modern.

Irak, Yaman, dan Afganistan

Di beberapa wilayah Islam, demokrasi digunakan untuk mengokohkan penguasa boneka Barat, termasuk di Irak. Lewat Pemilu demokratis 2013, koalisi Maliki menang, dengan dukungan penuh Amerika.

Di Yaman, Pemilu demokratis digunakan untuk memuluskan pergantian rezim baru pengganti Ali Abdullah Saleh. Dalam Pemilu 2012 terpilih Mansour Hadi yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden Yaman.

Di Afganistan Pemilu digunakan untuk mengokohkan rezim boneka AS. Dalam Pemilu 2014 mantan menteri luar negeri Abdullah Abdullah menduduki urutan pertama dalam perhitungan awal. Sama dengan Pemilu sebelumnya, partisipasi rakyat Afganistan sangat rendah. Wajar kalau legitimasi Pemilu ini diragukan. Sekitar  tujuh juta suara diberikan di 34 provinsi Afganistan pada Pemilu 5 April 2013. Dalam pemilu sebelumnya, hanya 4 juta saja dari 30 juta orang yang berhak memberikan suaranya. Apalagi sebagian besar suara adalah hasil rekayasa.

Dalam Pemilu sebelumnya, Hamid Karzai hanya mendapatkan 2 juta suara dari 4 juta suara.

Alat Penjajahan

Dari berbagai pengalaman Pemilu demokratis di negeri-negeri Islam tersebut tampak jelas bahwa Pemilu adalah alat penjajahan Barat untuk kepentingan Barat. Seperti yang dinyatakan George W. Bush, “Jika kita mau melindungi negara  kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan  adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).

Demokrasi menjadi jalan sekularisasi dan liberalisasi Dunia Islam sekaligus menjauhkan dari syariah Islam  (Indonesia, Tunisia, Irak, Mesir dll). Demokrasi juga memuluskan liberalisasi ekonomi  sebagai alat penjajahan Barat untuk merampok kekayaan alam negeri Islam, seperti pengalaman Indonesia. Di Irak, Afganistan dan Yaman demokrasi digunakan untuk mengokohkan boneka Barat dan melegitimasi penjajahan mereka atas Dunia Islam. Pemilu demokratis menjadi media kanalisasi aktivitas politik umat (Indonesia, Mesir, Tunisia dll). Di Palestina jalan demokrasi sukses memecah-belah rakyat Palestina. Adapun Turki dijadikan model Barat menjual produk demokrasi mereka di negeri Islam.

Dari berbagai pengalaman demokrasi negeri-negeri Islam tersebut kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa demokrasi hanya mengantarkan perubahan rezim/orang, bukan perubahan sistem. Adapun persoalan Dunia Islam adalah persoalan sistem. Perubahan sistem ini hanya akan terjadi dengan penegakan Khilafah Islam. Karena itu kesadaran masyarakat dan dukungan ahlul quwwah menjadi penting bagi tegaknya Khilafah Islam. [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*