Pada tahun 1862, perjanjian penting yang lain ditandatangani. Abraham Lincoln menandatangani Perjanjian Perdagangan dan Navigasi dengan Khilafah Utsmaniyah. Perjanjian itu berkaitan dengan masalah perniagaan, perdagangan dan navigasi. Hal yang menarik tentang perjanjian ini adalah di dalamnya ada klausul yang menunjukkan bagaimana Amerika dengan panjang lebar mengatakan bahwa negara itu bukanlah negara yang memusuhi dengan cara apapun terhadap Khilafah. Pasal 11 perjanjian itu menyebutkan:
Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal yang dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, sehingga tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan di antara kedua negara.
Ketika baru menjabat di kantor pemerintahan, pada tahun 1876, Sultan (Khalifah) berpartisipasi dalam seratus tahun kemerdekaan Amerika, dengan mengirimkan koleksi besar buku-buku Utsmani untuk dipamerkan di Philadelphia. Buku-buku itu kemudian disumbangkan kepada Universitas New York.
Pada masa Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), meskipun Khilafah telah menjadi lemah secara signifikan karena kondisi masa lalu, negara itu masih menjaga pengaruhnya terhadap politik internasional. Khilafah saat itu tetap dikenal sebagai kekuatan terkemuka dalam bidang budaya, politik maupun militer. Khalifah Abdul Hamid II terkenal karena penolakannya untuk menjual tanah Palestina kepada Zionis dan dihormati tidak hanya oleh kalangan Muslim, tetapi juga oleh kalangan non-Muslim.
Pada tahun 1893, saat menandai ulang tahun keempat ratus penemuan benua Amerika, Khalifah Abdul Hamid adalah kepala negara asing pertama yang menerima undangan untuk menghadiri Columbian Exposition yang diadakan di Chicago. Khalifah tidak hadir, namun sekitar seribu orang dari Yerusalem mengunjungi pameran itu.
Di Chicago, sekitar tahun yang sama, pada acara-acara pengukuhan Parlemen Agama-Agama Dunia (World Parliament of Religions), delegasi Kekhalifahan memamerkan koleksi besar barang-barang Khilafah Utsmani, juga membangun sebuah masjid kecil.
Sultan Abdul Hamid, dalam ketika masih menjadi khalifah, pernah bertanya kepada duta besar Amerika di Istanbul, Samuel Sullivan Cox, dan penyelenggara Sensus Amerika modern, untuk memperkenalkan perkembangan ilmu statistik kepada umat Islam.
Menariknya, pada saat salah seorang diplomat Amerika A.M. Keiley disebut oleh pemerintah Austro-Hungaria sebagai “keturunan Yahudi”, Duta Besar Amerika Oscar S. Straus (seorang diplomat Yahudi) disambut oleh Khilafah.
Khilafah juga memiliki jangkauan dan pengaruh atas kaum Muslim yang tinggal di luar wilayahnya, di daerah yang jauh terpencil. Pada musim semi tahun 1899, Amerika meminta bantuan dari Kekhalifahan dalam ekspedisi melawan wilayah Filipina yang dikontrol oleh Spanyol. Sekretaris Negara Amerika John Hay menulis kepada Oscar S. Straus dan bertanya, “Apakah Sultan dalam situasi yang mungkin dibujuk untuk memerintahkan orang-orang Islam dari Filipina, yang selalu menolak Spanyol, untuk datang dengan sukarela agar bisa berada di bawah kendali kami.”
Straus kemudian secara resmi mengunjungi Khalifah dan merujuk kepada perjanjian sebelumnya. Pasal 21 perjanjian antara Tripoli dan Amerika Serikat berbunyi sebagaimana di atas.
Dalam perjanjian itu, Sultan Abdul Hamid menjelaskan posisinya tentang masalah Filipina dengan mengatakan bahwa “orang-orang Islam yang bersangkutan mengakui dirinya sebagai khalifah kaum Muslim dan dia merasa yakin mereka akan mengikuti sarannya.”
Setelah instruksi ini, Duta Besar Staus menulis: “Orang Islam Sulu …menolak untuk bergabung dengan para pemberontak dan telah menempatkan diri di bawah kendali tentara kita, dengan demikian mengakui kedaulatan Amerika.”
Letnan Kolonel John P. Finley (yang menjabat Gubernur Amerika untuk Provinsi Zamboanga di Filipina selama sepuluh tahun) menulis sebuah artikel yang diterbitkan dalam edisi April 1915 pada Journal of Race Development yang menyoroti peristiwa ini. Finley menulis:
Pada awal perang dengan Spanyol, Pemerintah Amerika Serikat tidak menyadari keberadaan setiap orang Islam di Filipina. Ketika fakta ini ditemukan dan disampaikan kepada Duta Besar kami di Turki, Oscar S. Straus, dari New York, dia kemudian melihat kemungkinan yang terbentang di depan kita sebagai jihad (perang suci)…Dia kemudian membicarakannya dengan Sultan Abdul Hamid, dan meminta dia sebagai khalifah dalam agama Islam untuk bertindak atas nama para pengikut Islam di Filipina…Sultan sebagai Khalifah mengirimkan pesan untuk dikirim kepada orang-orang Islam di Kepulauan Filipina yang melarang mereka untuk masuk ke dalam setiap permusuhan terhadap Amerika, karena gangguan atas agama mereka tidak dibenarkan di bawah kekuasaan Amerika.
Setelah konflik usai, Presiden McKinley mengirim surat pribadi yang mengucapkan terima kasih kepada Duta Besar Straus karena bekerja dengan sangat bagus, menyatakan bahwa ia telah menyelamatkan Amerika Serikat “setidaknya dua puluh ribu tentara dari medan pertempuran.” Semua ini telah dimungkinkan, karena posisi politik Khalifah, Abdul Hamid II.[]
Sharique Naeem adalah seorang insinyur, komentator politik dan penulis. Tulisan-tulisannya diterbitkan di surat-surat kabar nasional Pakistan, Bangladesh, India, Yaman dan Iran