HTI

Iqtishadiyah

Seputar Harta Riba

(Jawaban Amir HT atas Pertanyaan Seputar Harta Riba kepada Ibrahim Abu Fathi)

Pertanyaan:

Amiruna al-Jalil, semoga Allah senantiasa menjaga Anda dan menguatkan langkah Anda.

Assalamu‘alaikum wa rahmatulLah wa barakatuh.

Seseorang membuka rekening di bank yang ada saat ini (bank ribawi). Menjadi jelas bagi dia setelah itu bahwa bunga ditambahkan ke rekeningnya. Kita tahu bahwa Allah SWT berfirman dalam wahyu-Nya yang bersifat muhkam:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Jika kalian bertobat (dari pengambilan riba) maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS al-Baqarah [2]: 279).

Ada para syaikh dan ulama kontemporer yang memperbolehkan mengambil (bunga) harta ini dan tidak meninggalkannya untuk bank. Mereka berdalih bahwa hal demikian tidak membantu bank atas keharaman dan tidak melakukan keharaman lain dengan meninggalkan bunga tersebut untuk bank.

Pertanyaannya: apa yang harus dia lakukan dengan harta yang ditambahkan kepada harta pokoknya itu? Apakah boleh ia mengambil harta bunga itu dan membelanjakannya terhadap orang-orang fakir atau membayar utangnya? Apakah ia mendapat pahala atas pembelanjaan harta itu kepada orang-orang fakir?

Berilah jawaban kepada kami. Semoga Alah memberikan berkah-Nya kepada Anda dan menguatkan langkah Anda.

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatulLah wa barakatuh.

Sebelum menjawab tentang (apa yang harus dia lakukan dengan harta riba), yang wajib bagi orang yang melakukan transaksi (muamalah) ribawi dengan bank adalah menghentikan muamalah ribawinya segera, dan bertobat kepada Allah SWT dengan tawbat nashuha. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat tulus/murni) (QS at-Tahrim [66]: 8).

Allah SWT juga berfirman:

إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ ِللهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

Kecuali orang-orang yang bertobat dan mengadakan perbaikan serta berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Mereka itu bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar (QS an-Nisa’ [4]: 146).

Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari Anas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap Anak Adam bisa berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertobat.

Dengan demikian tobat itu sah dan Allah SWT mengampuni orang yang bertobat itu dari dosa tersebut. Karena itu wajib bagi orang yang bertobat itu melepaskan diri dari kemaksiatan itu, menyesal karena telah melakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulangi semisalnya. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan hak adami (manusia), maka disyaratkan mengembalikan kezaliman itu kepada yang berhak atau mendapatkan pembebasan dari mereka. Jika ia memiliki harta yang dia ambil dari mereka dengan jalan mencuri atau ghashab maka wajib harta itu dikembalikan kepada pemiliknya. Ia harus melepaskan diri dari pendapatan haram itu menurut ketentuan syariah. Jika ia mendapatkan harta dengan jalan haram maka kesudahannya adalah keburukan. Imam Ahmad telah mengeluarkan hadis dari Abdullah bin Masud ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

…وَلاَ يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرَامٍ… إِلاَّ كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ

“…dan tidaklah seorang hamba memperoleh harta dari jalan haram… kecuali harta itu menjadi bekalnya ke neraka.”

Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkan hadis dari Kaab bin Ujrah bahwa Rasulullah saw. pun pernah bersabda kepada dia:

يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Kaab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah suatu daging tumbuh dari harta haram kecuali neraka lebih layak dengannya.”

Adapun berkaitan dengan riba (bunga) bank atas hartanya dan bagaimana melepaskan diri dari harta riba tersebut, maka jawabannya sebagai berikut:

1.     Jika dia berkata kepada bank, “Saya ingin harta pokok saya saja,” dan aturan bank memperbolehkan untuk mengambil harta pokoknya saja, maka cukup seperti itu, dan ia mengambil harta pokoknya saja.

2.     Jika aturan bank tidak memperbolehkan demikian, tetapi aturannya mewajibkan dia mengambil riba beserta harta pokoknya sekaligus dan jika tidak maka bank tidak akan memberikan harta pokoknya, dalam kondisi ini ia mengambil harta pokoknya dan riba tersebut dan dia melepaskan diri dari riba. Lalu dia letakkan harta riba itu di tempat-tempat kebaikan secara diam-diam (rahasia) tanpa menampakkan bahwa ia bersedekah dengan harta itu karena itu adalah harta haram. Akan tetapi, yang dituntut adalah ia melepaskan diri dari harta haram itu… Misalnya, bisa saja ia mengirimkan harta riba itu ke masjid tanpa seorang pun tahu atau mengirimkan harta itu kepada keluarga fakir tanpa mereka tahu siapa pengirimnya, atau dengan cara yang di dalamnya tidak tampak bahwa ia bersedekah atau semacam itu.

3.     Adapun pahala atas infaknya itu, maka tidak ada pahala atas infak harta haram. Pembelanjaannya di jalan kebaikan itu bukanlah sedekah  harta bukan merupakan harta halal yang ia miliki… Akan tetapi, in syâ’a Allâh, ia mendapat pahala karena meninggalkan keharaman, yakni mengha-pus muamalah ribawinya dengan bank dan melepaskan diri dari harta haram. Allah SWT menerima tobat dari hamba-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amal (melakukan amal dengan ihsan).

Saudaramu,

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*