Awal April 2014 saya berkesempatan bersilaturahmi dengan Prof. Ryaas Rasyid. “Indonesia sekarang diambang kehancuran,” ucap anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tersebut kepada saya, sesaat setelah bersalaman.
“Apa yang Bapak maksudkan dengan hancur di sini?” tanya saya. Beliau pun menjelaskan bahwa kini tengah ada upaya yang masif untuk menjadikan Indonesia benar-benar dicengkeram oleh para konglomerat, bukan hanya sekadar dalam bidang ekonomi melainkan juga politik. “Ada 9 orang taipan/konglomerat yang menekan suatu partai besar agar mencalonkan seseorang sebagai calon presiden. Itu dilakukan di Singapura. Kalau dia benar kelak menjadi presiden, maka Indonesia akan dikuasai Cina secara ekonomi, dan AS secara politik,” tambahnya.
Saya pikir, kekhawatiran Pak Ryaas sangat beralasan. Bukan hanya beliau, sebelumya Kwik Kian Gie (10/2/2014) juga memperingatkan PDIP terkait pencalonan Jokowi bahwa ada elit pemegang uang berlimpah sebagai “penumpang gelap”. “Para cukong itu menguasai media massa. Agar jualan mereka laku, sanjungan terhadap orang yang dijadikan target bisa dilakukan dalam bentuk semacam kampanye oleh media massanya,” ungkap Kwik.
“Metodenya, menanamkan budi tanpa mengeluarkan uang untuk kemudian Jokowi ‘dimanfaatkan,’” tambahnya.
Realitas mengkonfirmasi hal itu. Partai-partai yang ada bersikap pragmatis dan tidak dapat lepas dari pengusaha. Bila Golkar dengan Abu Rizal Bakrie yang naik menjadi presiden, kondisi tidak akan berbeda. Aburizal Bakrie adalah Bos Bakrie Grup. Perusahaannya terus berkembang selama berada di pemerintahan bersama SBY. Dana kasus Lapindo dibebankan kepada APBN. Bagaimana bila Prabowo yang menjadi RI-1? Prabowo juga memiliki jaringan usaha. Di belakang dia ada pengusaha yang juga adiknya Hasyim Djojohadikusumo. Partai lain juga tidak jauh berbeda. Sekadar contoh, Hary Tanoe, Bos MNC Grup, Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup, Wakil Ketua Umum PKB; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai Nasdem. Partai-partai lain, sekalipun pemimpinnya bukan pengusaha, tidak berarti steril dari pengaruh para pengusaha. Jadi, fakta menunjukkan bahwa Indonesia sedang terus membangun dirinya menjadi negara korporasi. Negara didudukkan layaknya perusahaan milik para penguasanya. Peraturan dan kebijakan bukan berpihak pada rakyat, melainkan berpihak kepada pemilik modal.
Kesadaran serupa dirasakan pula oleh para tokoh/pimpinan lembaga Islam. Hal ini terungkap dalam Temu Tokoh Terbatas tentang Membaca Kondisi Keumatan Pasca Pemilu Legislatif (16/4/2014). Ibrahim Hasbi (Sekjen Laskar Anti Korupsi Pejuan 45) mengatakan, “Asing terus merasuk. Pertemuan calon presiden tertentu dengan duta-duta besar asing hanyalah persiapan untuk transfer dana demi pemenangan Pemilu. Kita perlu konsolidasi. HTI perlu roadshow ke lembaga-lembaga Islam.”
Senada dengan itu, Ketua Presidium Suara Independen Rakyat Indonesia (SIRI), Eggie Sudjana, dengan tajam mengatakan, “Kita ini harus menegakkan syariah Islam, izzul Islam wa Muslimin. Secara praktis kita ini perlu melakukan konsolidasi dengan lembaga-lembaga Islam lain. Perlu ada wadah politik alternatif. Itu adalah Hizbut Tahrir plus kita-kita ini.”
Zahir Khan (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyampaikan pengalamannya, “Selama saya menjadi diplomat, saya mendapatkan banyak teguran dari para muallaf di luar negeri. Mereka mengatakan bahwa Indonesia itu negeri Muslim terbesar, tetapi kok tidak mampu menerapkan syariah Islam. Mereka bertanya, ‘Ormas dan partai Islam dimana?’”
Tokoh berusia 73 tahun ini pun mengingatkan, “Tujuan utama orang Barat itu adalah agar umat Islam tidak menerapkan syariah Islam. Snouck Hurguronje berpesan bahwa bila tidak dapat menjadikan umat Islam meninggalkan Islam, maka yang penting bagaimana umat Islam tidak menerapkan syariat Islam.”
Beliau pun menegaskan, “Kita harus melakukan approach kepada para pemimpin Muslim. Jangan sampai pimpinan partai/lembaga Islam justru berada di belakang negara-negara Barat.”
Kesadaran akan kondisi umat itu memunculkan keinginan untuk melakukan konsolidasi sesama pimpinan lembaga Islam. Zulkifli (Ketua al-Ittihadiyah) mengatakan singkat, “Kita perlu konsolidasi. Kita perlu roadshow.”
Sekjen al-Irsyad, Bahtiar, juga menyampaikan, “Konsolidasi dengan tokoh perlu. Namun, tidak perlu membicarakan dukung-mendukung nama, baik yang ada maupun yang baru akan dimunculkan. Sebab, pasti mereka menetapkan syarat yang belum tentu sesuai dengan sikap kita.”
Amin Lubis (Ketua Umum Perti) menimpali, “Kita harus mewaspadai capres itu boneka siapa. Pertemuan ormas beberapa waktu lalu yang saya ikuti menyadarkan bahwa ada kekuatan besar di luar partai, yakni kekuatan ormas/lembaga Islam. Kita perlu bertemu dengan pimpinan/tokoh-tokoh Islam.”
Harapan serupa disampaikan oleh Dr. Hazairin (DDII), “HTI harus mengusahakan agar konsolidasi Islam terwujud.”
Tak berbeda dengan itu, M. Mufti (Ketua Dewan Pusat Sarikat Islam Indonesia) menegaskan, “HTI perlu memelopori untuk me-menej umat ini. Padahal me-menej baru bisa dilakukan apabila silaturahmi/ukhuwah terjaga. Oleh sebab itu, HTI perlu memelopori mengundang organisasi yang memiliki massa untuk melakukan konsolidasi.”
Ahmad Fatih (Jubir JAT) juga memandang perlu adanya konsolidasi, “Untuk menerapkan syariah Islam, kita perlu konsolidasi.”
Ada beberapa hal yang dapat ditangkap dari perhatian para tokoh itu. Pertama: situasi saat ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang menuju negara korporasi dan umat Islam dalam bahaya. Kedua: perlu syariah Islam untuk menyelamatkan Indonesia. Ketiga: konsolidasi antar pimpinan ormas/lembaga Islam perlu dikokohkan. Keempat, meminta HTI untuk bertindak sebagai pelopor dan garda terdepan dalam melakukan hal ini.
Berkaitan dengan perkara tersebut, Juru Bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto menegaskan, “Ada ketidaknyambungan antara ormas/lembaga Islam dan partai Islam atau berbasis massa Islam. Kita ingin syariah Islam, mereka tidak menyerukannya. Kita ingin agar umat Islam konsolidasi menyatu, mereka sudah memiliki pilihan koalisi sendiri-sendiri. Kita ingin menunjukkan bahwa umat Islam ini bersatu, mereka memiliki sikap politik masing-masing.”
Berkaitan dengan kepercayaan kepada HTI untuk memelopori konsolidasi dan merajut kekuatan umat dan tokohnya beliau mengatakan, “Insya Allah. Kami akan terus melakukannya”.
Clear! Ada sebuah penantian terhadap wadah perjuangan Islam ideologis alternatif setelah partai politik (baca: termasuk partai berbasis massa Islam) dicengkeram paragmatisme. [Muhammad Rahmat Kurnia]