Persentase perolehan suara parpol pada Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014 telah disahkan oleh KPU. Hanya empat parpol yang berada pada papan atas dengan perolehan suara di atas 10 persen, yaitu PDIP (18.95%), Golkar (14.75%), Gerindra (11.81%) dan Demokrat (10.19%). Parpol yang berbasis massa Islam semuanya berada pada papan menengah dengan perolehan suara kurang dari 10 persen, yaitu PKB (9.04%), PAN (7.59%), PKS (6.79%) dan PPP (6.53%). Adapun PBB dinyatakan tidak lolos karena perolehan suaranya hanya 1.46%. KPU juga mengumumkan bahwa partisipasi pemilih pada Pileg tersebut hanya 75.11 persen. Artinya, terdapat 24.89 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Itu artinya pemenang Pileg 2014 sebenarnya bukan PDIP tetapi golput.
Berdasarkan perolehan suara tersebut juga tampak bahwa partai sekular (PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat) lebih dominan dibandingkan partai Islam (PKB, PAN, PKS, dan PPP). Meskipun perlu dicatat bahwa penyebutan ‘partai Islam’ ini hanya sekadar merujuk bahwa partai tersebut basis massa utamanya adalah umat Islam, bukan partai yang agendanya untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaaffah.
Lebih dominannya partai sekular dibandingkan dengan partai Islam menunjukkan bahwa partai Islam belum mampu meraih kepercayaan umat. Padahal mayoritas masyarakat di negeri ini adalah Muslim. Secara logika sederhana, mestinya mereka yang Muslim akan memilih partai Islam.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena partai Islam tersebut selama ini hanya sekadar nama. Adapun visi, misi, dan program yang diperjuangkannya tidak berbeda dengan partai sekular. Tidak ada satu pun dari partai Islam tersebut yang mengajukan sistem Islam sebagai solusi atas berbagai persoalan yang melilit negeri ini. Karena itu umat Islam menganggap bahwa memilih partai manapun sama saja. Bahkan sangat mungkin partai sekular dianggap memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah adanya figur yang merepresentasikan sebagai tokoh nasional. Karena itulah ada kecenderungan umat Islam lebih memilih partai sekular daripada partai Islam.
Menuju ‘pesta’ berikutnya, yaitu Pemilu Presiden (Pilpres), semakin terlihat bagaimana sikap pragmatisme partai-partai yang ada. Sesuai perolehan suara dan keberadaan capres yang dimiliki, PDIP dan Gerindra menjadi poros utama pembentukan koalisi. Partai-partai lain termasuk partai Islam mulai merapat ke poros tersebut. Bahkan di antaranya ada partai Islam yang berada diambang perpecahan hanya karena antar tokohnya berbeda pendapat akan berkoalisi ke poros yang mana. Pola koalisi tersebut semakin menunjukkan bahwa tidak ada pembeda yang signifikan antarpartai, baik platform, visi, maupun ideologi. Satu-satunya pertimbangan koalisi adalah kepentingan partai secara pragmatis, yaitu peluang untuk menang dalam Pilpres dengan harapan nantinya bisa mendapat bagian dari kue kekuasaan.
Bencana Koalisi Pragmatis
Ketika memilih caleg dari partai tertentu pada saat Pileg yang lalu, masyarakat tentu berharap bahwa caleg dan partai yang dipilih itu akan memperjuangkan nasib masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Janji-janji yang menggiurkan dari para caleg dan partai telah membius masyarakat dengan harapan (baca: angan-angan) yang bertahtakan emas dan permata. Ada partai yang menjanjikan kesejahteraan, peningkatan pendapatan perkapita, membela petani dan buruh; bahkan ada yang menjanjikan perubahan di segala lini dengan jargon ‘gerakan perubahan’ yang mereka propagandakan.
Belum genap tiga bulan, janji dan propaganda itu sudah mulai hilang nyaris tanpa bekas. Pertimbangan berkoalisi menuju Pilpres tidak lagi mempertimbangkan platform dan program partai yang saat Pileg dikampanyekan. Semua mengerucut pada sekedar pemenangan Pilpres dan memperoleh cipratan kekuasaan. Partai papan menengah yang didominasi partai Islam, jangankan menawarkan konsep yang bersifat prinsipil, justru mereka sekadar menunggu ‘dipinang’ oleh partai papan atas yang menjadi poros utama yaitu PDIP dan Gerindra.
Koalisi pragmatis seperti ini jelas membawa bencana bagi masyarakat. Pertama: suara rakyat sekadar digunakan untuk melegitimasi kepentingan partai. Salah satu alasan mengapa rakyat memilih partai A ketimbang memilih partai B karena mereka beranggapan bahwa partai A lebih sesuai dengan harapannya. Bisa juga karena pertimbangan agama, misalnya karena partai A tersebut lebih dekat dengan Islam, sementara partai B sangat jauh dari Islam. Harapan dan pertimbangan pemilih tersebut kini oleh partai dibuang ke tempat sampah, karena dalam proses menuju Pilpres, partai A dan B tersebut berkoalisi. Pertimbangannya berdasarkan kepentingan pragmatis, beberapa elit partai A atau B dijanjikan menjadi cawapres atau minimal calon menteri.
Koalisi pragmatis seperti ini juga akan berlanjut di Parlemen. Kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan di Parlemen terbukti selama ini banyak yang tidak berpihak kepada rakyat. Itu artinya bahwa mereka bukan memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memilih mereka, namun sekadar untuk kepentingan partai dan koalisinya.
Hal ini diakui oleh anggota Badan Legislasi DPR Achmad Rubai. Menurut dia, pembahasan rancangan undang-undang diwarnai banyak kepentingan. Bahkan menurut dia banyak intervensi masuk dalam pembuatan undang-undang sebelum disahkan, termasuk dari pihak asing (Republika.co.id, 19/11/2011).
Anggota DPR Eva Kusuma Sundari juga mengatakan bahwa ada 76 undang-undang yang draft-nya dibuat pihak asing untuk meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia seperti undang-undang tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air (Tempo.co.id, 20/08/2010).
Fakta ini menunjukkan bahwa visi dan platform partai yang selama ini dikampanyekan hanya sekadar untuk pencitraan. Faktanya, setelah duduk menjadi anggota dewan, mereka tidak peduli lagi pada visi dan platform partai. Bahkan untuk sesuatu yang sangat krusial yaitu undang-undang, mereka sekadar ‘bermodal’ telunjuk sebagai pernyataan setuju terhadap draft yang disiapkan pihak asing.
Sebagaimana diketahui, ada tiga lembaga asing yang paling sering digunakan sebagai konsultan rancangan undang-undang di Indonesia. Mereka adalah World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan United States Agency for International Development (USAID). Merekalah yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Kedua: koalisi pragmatis akan melahirkan kebijakan yang bersifat kolusif dan transaksional. Kebijakan yang dihasilkan bukan untuk memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi untuk menjamin tercapainya kepentingan elit partai yang bernaung di bawah tenda koalisi. Bahkan kebijakan itu untuk para elit pengusaha kapitalis yang sebelumnya sudah berkolaborasi dalam mendanai kampanye caleg, termasuk dana capres-cawapres yang akan bertarung di Pilpres.
Direktur Eksekutif dari Pol-Track Institute Hanta Yudha AR mengatakan, bentuk koalisi ideal berdasarkan ideologi atau platform hampir mustahil dibentuk saat ini. Dengan pragmatisme dan perilaku politisi yang ada, Hanta meyakini koalisi yang dibentuk nantinya akan tetap transaksional berupa power sharing dan barter kursi di kabinet (Kompas.com, 14/4/2014).
Mahfud MD, mantan Ketua MK, menilai pelaksanaan Pemilu di Indonesia sudah tidak lagi mengedepankan ide dan gagasan antarkandidat yang bertarung, baik calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Semua lebih menjurus ke arah politik transaksional dan industrialisasi kapitalisasi politik (Tribunnews.com, 30/04/2014).
Sikap pragmatisme seperti itu akan bermuara pada kesengsaraan rakyat. Pasalnya, para elit partai yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif akan bekerja untuk melahirkan kebijakan berupa undang-undang yang menguntungkan mereka dan mitra koalisinya serta para kapitalis yang ‘berjasa’ membiayai mereka. Legislasi undang-undang justru berubah menjadi ladang bisnis miliaran hingga triliunan rupiah. Maraknya, korupsi yang dilakukan anggota dewan, menteri hingga hakim dan jaksa menunjukkan ‘suksesnya’ pragmatisme tersebut.
Pada saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah mengungkap fakta adanya jual-beli undang-undang di DPR. Di antaranya yang dia contohkan adalah kasus suap dari dana Yayasan BI sebesar Rp 100 miliar kepada pengacara dan DPR untuk mengegolkan Undang-Undang Bank Indonesia. Kemudian kasus Rp 1.5 miliar Dana Abadi Umat yang dibayarkan ke DPR untuk mengegolkan UU Wakaf. Juga kasus mafia anggaran yang diungkap oleh politikus PAN, Wa Ode Nurhayati, bahwa ada calo anggaran APBNP yang dipotong setiap proyek sebesar 6 persen (News.detik.com, 17/11/2011).
Tingginya biaya kampanye caleg serta kampanye capres-cawapres yang akan datang juga bisa menjadi penyebab akan semakin maraknya para elit penguasa melakukan korupsi melalui jual-beli hukum, undang-undang dan kebijakan. Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, biaya kampanye caleg untuk Pemilu 2014 diprediksi rata-rata satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada Pemilu 2009. Dia memperkirakan biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR bisa mencapai Rp 6 miliar (Republika.co.id, 03/12/2013).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai hampir keseluruhan sistem di DPR lemah dan rawan korupsi, terutama yang berkaitan dengan fungsi utama DPR, yakni bidang pengawasan, anggaran dan legislasi. Dalam fungsi legislasi, banyak ditemukan masalah antara lain terkait kriteria pengusulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan celah transaksional saat pembahasan rancangan undang-undang (Kpk.go.id, 19/12/2013).
Ketiga: bencana yang lebih besar terjadi ketika partai Islam melakukan koalisi pragmatis. Pasalnya, tidak hanya persoalan transaksional dan korupsi, koalisi pragmatis partai Islam juga akan berdampak buruk terhadap Islam dan kaum Muslim. Di antaranya adalah: (a) menjauhkan umat dari perjuangan penegakan syariah Islam; (b) pembodohan terhadap umat dengan menggunakan berbagai dalil agama; (c) menimbulkan ketidakpercayaan umat terhadap partai Islam serta menjadikan umat apolitis dan alergi terhadap Islam politik.
Secara logika sederhana, tidak mungkin partai Islam akan memperjuangkan aspirasi utama umat Islam yakni tegaknya syariah Islam secara kaaffah ketika mereka berkoalisi dengan partai sekular. Apalagi di dalam koalisi tersebut partai Islam hanya berfungsi sebagai penggenap (baca: juru tambal) suara bagi partai sekular untuk memenuhi presidential threshold demi pengajuan capres-cawapres. Sikap pragmatisme elit partai Islam akan memengaruhi sikap para kader dan simpatisannya menjadi pragmatis. Bahkan untuk menguatkan itu, mereka mengemukakan berbagai dalil (baca: dalih) sebagai pembenaran.
Penutup
Koalisi pragmatis partai Islam dengan partai sekular nantinya juga akan menghancurkan partai Islam itu sendiri. Partai Islam hancur keteguhannya dalam memperjuangkan tegaknya akidah dan syariah Islam. Kepercayaan umat kepada partai Islam juga hancur karena partai Islam ternyata sangat tipis ‘izzah-nya; mereka bersimpuh dan tunduk di bawah naungan koalisi partai-partai sekular dan liberal. Koalisi tersebut nantinya akan membelenggu partai Islam untuk ikut mendukung kebijakan sekular dan liberal yang bertentangan dengan Islam. Kalaupun tidak mendukung, mereka akan diam terhadap kebijakan sekular tersebut sebagai wujud toleransi terhadap mitra koalisi.
Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap Muslim, termasuk para elit di partai Islam, untuk tolong-menolong dan bekerjasama dalam ketakwaan dan tidak di dalam dosa dan kemungkaran. Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya (QS al-Maidah [5]: 2).
Imam Ibn Katsir di dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim menjelaskan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong atas perbuatan baik (al-birr) dan meninggalkan berbagai kemungkaran, dan itu merupakan takwa; serta melarang mereka dari tolong-menolong atas kebatilan dan melarang mereka bekerjasama di atas dosa dan keharaman.”
Jadi seharusnya partai Islam berpegang teguh pada akidah Islam dan syariah Islam. Mereka harus berjuang bersama umat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah Islamiyah, bukan malah ‘berjuang’ bersama partai sekular mewujudkan berbagai keharaman dan kemungkaran. Target utama perjuangan partai Islam tentu bukan mengantarkan para caleg Muslim dan capres-cawapres Muslim ke singgasana kekuasaan. Yang jauh lebih utama adalah memperjuangkan tegaknya syariah Islam hingga bisa diterapkan secara paripurna. Sesungguhnya sama sekali tidak berguna bagi umat jika para pemimpin Muslim itu berhasil berkuasa, tetapi ternyata mereka sekadar berfungsi sebagai penjaga sistem sekular dan liberal.
WalLâhua’lam bi ash-shawâb. []
Penulis adalah Ketua Lajnah Intelektual DPP Hizbut Tahrir Indonesia.