Pilpres, Pemilihan Presiden. Itulah kata yang saat ini ramai dibicarakan. Umat pun menjadi rebutan dalam Pilpres. Awal Mei 2014 yang silam, saya berdiskusi ringan dengan salah satu pimpinan PP Muhammadiyah terkait dengan kepemimpinan umat. “Menurut Pak Abbas siapa yang layak untuk memimpin negeri Muslim terbesar ini?” tanya saya.
Beliau menjawab, “Ya orang yang dapat membela kepentingan umat.”
“Kalau di antara tiga nama yang sekarang mencuat sebagai calon presiden, apakah Jokowi, Prabowo atau ARB?” lanjut saya. “
Menurut saya sih mungkin Ical, tapi kemungkinan dukungan publik pada beliau kurang. Tumpuannya mungkin Prabowo,” tegasnya.
Lalu saya menyampaikan kepada beliau bahwa saya bertemu dengan beberapa tokoh yang juga tokoh Muslim. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang layak adalah justru Jokowi, apalagi berdampingan dengan Jusuf Kalla yang juga dimasukkan sebagai tokoh dari umat Islam. Ketua MUI ini pun menyampaikan, “Kalau yang itu, saya takut dengan yang di belakangnya. Bukan hanya yang berasal dari dalam negeri melainkan juga dari luar negeri, Ustadz.”
“Adanya penyikapan berbeda ini karena tidak adanya tolok ukur yang jelas. Mestinya, tolok ukurnya adalah mereka berkuasa untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah,” jawab saya.
Saya pikir, ‘kegalauan’ dan perbedaan sikap tokoh umat dalam menentukan siapa yang dianggap dapat membela kepentingan umat ini cermin dari kondisi nyata masyarakat secara umum.
Hal serupa terjadi saat saya bertemu dengan beberapa tokoh Muslim pada pertengahan Mei di Denpasar, Bali. Ada di antara tokoh yang mengatakan, “Masa di antara tokoh Muslim yang muncul tidak ada satu pun yang baik?!” ungkap H. Deden Syaifullah.
Tokoh muda Muslim Denpasar ini menegaskan, “Apabila kita tidak turut memilih maka sama saja dengan kita membiarkan kemungkaran. Coba lihat, apabila Jokowi berhasil menjadi presiden, maka gubernurnya non-Muslim. Masa iya DKI Jakarta dipimpin non-Muslim!”
Saya menyampaikan kepada beliau beberapa hal. Pertama: perkara yang akan dicatat oleh Allah SWT dari diri kita bukan hanya apa yang kita lakukan, melainkan juga jejak (atsar) yang kita tinggalkan. Allah SWT menjelaskan di dalam al-Quran (yang artinya): Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan (TQS Yasin [36]: 12). Ini menunjukkan bahwa bukan sekadar aktivitas memilih yang akan dicatat, melainkan juga dampak yang dilakukan penguasa yang kita pilih. Kalau yang dilakukan penguasa itu penerapan hukum sekular maka kita berkontribusi dalam kesalahan tersebut. “Saya adalah penguasa yang dipilih rakyat. Saya mendapat mandat berkuasa dari rakyat.” Bukankah itu yang selalu mereka dengung-dengungkan.
Kedua: dalam pemilihan itu bukan hanya sekadar orang yang penting diperhatikan, melainkan juga sistem yang diterapkan. Kita memang tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin. Namun, bukan berarti yang penting asal beragama Islam. Saya katakan kepada beliau, “Nabi Muhammad sudah dikenal orang yang baik, amanah, dan tiada banding sejak belum diangkat menjadi Rasul. Namun, sekalipun orangnya sudah baik, tetap saja Allah SWT menurunkan al-Quran dan hadis kepada beliau. Ini artinya, ada dua hal yang diperlukan: orang dan sistem.”
Lalu saya pun melanjutkan, “Secara individu, saya percaya tentu ada orang-orang yang baik. Namun, secara sistem, saat ini sistem yang diterapkan dan harus diikuti adalah sistem sekular, demokrasi kapitalistik.”
Ketiga: jika kita diam terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa maka itu berarti mendiamkan kemungkaran. Namun, apabila justru terus mengingatkan mereka akan kewajiban menerapkan Islam, menentang kezaliman yang mereka lakukan, menunjukkan persekongkolan mereka dengan negara kafir penjajah dalam merampok kekayaan rakyat, dan sebagainya, tidak bisa hal itu dikategorikan membiarkan kemungkaran.
Menanggapi hal tersebut, salah satu tokoh Denpasar Ustadz Anwar mengatakan, “Lha, demokrasi itu kan tidak jauh beda dengan Islam. Bahkan demokrasi berasal dari Islam. Bagaimana dengan hal ini?”
Rupanya kondisi seperti itu terjadi di berbagai daerah. Sekadar contoh, diskusi senada terjadi ketika saya bertemu dengan tokoh-tokoh Priangan dalam acara Temu Tokoh di Bandung, Jawa Barat, masih pada bulan Mei 2014. Pak Anang, salah seorang intelektual Jawa Barat yang juga dosen politik di Unpas mengatakan, “Ada kesan bahwa Islam tidak demokrasi. Padahal tidak demikian. Kita perlu melakukan logika komparasi secara tepat. Sekalipun memang, dalam demokrasi, partai politik merupakan satu-satunya pemberi solusi yang diharapkan. Sekarang, justru partai politik merupakan satu-satunya masalah terpenting yang harus diselesaikan.”
Saya menyampaikan kepada beliau bahwa memang ada beberapa hal yang mirip antara demokrasi dan Khilafah dalam Islam, seperti kekuasaan ada di tangan rakyat. Namun, banyak hal mendasar yang berbeda, di antaranya dalam Islam hukum yang diterapkan haruslah hukum Allah SWT, sementara dalam demokrasi justru hukum buatan manusialah yang harus dilaksanakan. “Kita tidak dapat mengatakan bahwa mentimun sama dengan semangka hanya karena sama-sama berwarna hijau, berbulu, daunnya menjalar, dan mengandung air,” tegas saya.
Tokoh Jawa Barat lain, Pak Norman mengungkapkan, “Di AS itu, demokrasi tidak diterapkan. Di sana yang diterapkan adalah kapitalisme/liberalisme.”
Nah, justru dengan realitas ini muncul sebuah tanda tanya besar, kalau AS yang dikatakan sebagai kampium demokrasi tidak menerapkan demokrasi, bagaimana lagi dengan yang lain. Siapa yang mencontoh AS tentu ia akan menerapkan kapitalisme/liberalisme. Ini makin memperjelas bahwa demokrasi dengan kapitalisme itu setali mata uang. Berkaitan dengan hal ini, Pak Mursalin Dahlan mengatakan, “Satu-satunya hukum itu hukum Allah SWT. Kita perlu meyakinkan semua pihak, termasuk tentara, untuk menerima syariah Islam.”
Tokoh senior Muhammadiyah Jawa Barat ini menambahkan, “Demokrasi itu jalan setan. Demokrasi itu lebih merupakan democrazy’.”
*****
Sekilas kondisi ini memberikan ibrah kepada kita bahwa tokoh umat Islam memiliki semangat untuk menerapkan Islam. Berharap ada partai dan penguasa yang menerapkan Islam. Namun, jalan yang disodorkan seakan hanya satu: demokrasi. Padahal ada jalan lain, jalan umat (‘an tharîqi al-ummah). Jalan ini adalah jalan dakwah yang dicontohkan Nabi saw. Jalan ini perlu terus dipahamkan kepada umat. “Mengideologikan orang memang perlu waktu,” ungkap seorang tokoh Islam kepada saya. Insya Allah. [Muhammad Rahmat Kurnia]