(Tafsir QS al-Buruj [85]: 17-22)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ * فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ * بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ * وَاللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيطٌ * بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ *
Sudahkah datang kepada kamu berita kaum-kaum penentang? Itulah kaum Fir’aun dan kaum Tsamud. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu dalam keadaan mendustakan. Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang mereka dustakan itu ialah al-Quran yang mulia; yang tersimpan di Lauh Mahfuzh(QS al-Buruj [85]: 17-22).
Dalam beberapa ayat sebelumnya telah diberitakan tentang kejahatan dan kebengisan ash-hâb al-ukhdûd, para pembuat parit apiterhadap kaum Mukmin beserta hukuman yang ditimpakan Allah SWT terhadap mereka. Juga disampaikan ancaman azab di akhirat berupa neraka dan pembakaran atas seluruh manusia yang menimpakan fitnah kepada kaum Mukmin dan tidak bertobat.
Diberitakan juga janji Allah SWT kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih dengan surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Kemudian disebutkan beberapa sifat Allah SWT: siksa-Nya amat keras; Dia mengawali dan mengembalikan; Maha Pengampun dan Pemberi Kasih Sayang; dan Maha Kuasa mengerjakan apa pun yang Dia kehendaki.
Kemudian ayat-ayat berikutnya kembali menandaskan peringatan terhadap kaum kafir seraya diingatkan kaum terdahulu yang ingkar dan menentang Allah SWT dan rasul-rasul-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Hal atâka hadîts al-junûd (Sudahkah datang kepada kamu berita kaum-kaum penentang?). Ayat ini diawali dengan harf istifhâm (kata tanya) berupa hal (apakah). Makna yang dihasilkan dari kata tersebut adalah li at-taqrîr (untuk menetapkan). Dengan demikian kalimat tersebut bermakna: qad atâka (sungguh telah sampai kepada kamu).1
Diterangkan oleh Asy-Syaukani dan al-Alusi, ayat ini merupakan taqrîr (menetapkan) terhadap firman Alalh SWT sebelumnya, yakni: Fa’’âlun limâ yurîdu (Mahakuasa berbuat apa saja yang Dia kehendaki); juga kerasnya siksaan Allah SWT terhadap kaum yang zalim, maksiat, lagi kafir yang melampau batas. Ayat ini sekaligus menghibur Rasulullah saw. dengan mengumumkan bahwa Dia akan menimpakan azab bagi kaum beliau yang kafir sebagaimana ditimpakan kepada al-junûd (para penentang).2
Kata al-junûd merupakan bentuk jamak dari kata jund[un]. Kata tersebut biasa digunakan untuk menyebut al-‘asykar (pasukan, tentara), yang diambil dari pengertian awalnya: tanah yang keras. Kata itu juga bermakna al-a’wân (para pembantu). Digunakan pula untuk menyebut golongan makhluk, baik sendirian maupun berkelompok.3
Yang dimaksudkan dengan al-junûd pada ayat ini adalah kelompok yang berhimpun melawan para nabi dan bergabung untuk menyakiti mereka.4 Oleh karena itu, sebagaimana diterangkan al-Baghawi, ayat ini bermakna: Sungguh telah datang kepada kamu kabar tentang kumpulan kaum kafir yang berhimpun melawan para nabi.5
Kemudian disebutkan: Fir’awn wa Tsamûd (Itulah kaum Fir’aun dan kaum Tsamud). Kata Fir’awn wa Tsamûd dalam ayat ini berkedudukan sebagai badal dari kata dalam ayat sebelumnya: al-junûd.6
Meskipun yang disebutkan hanya Fir’aun, yang dimaksud adalah dia berikut kaumnya.7 Menurut al-Alusi, hanya nama dia yang disebutkan karena mereka adalah para pengikutnya.8 Az-Zamakhsyari juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah Fir’aun dan keluarganya. Ini sebegaimana firman Allah SWT:
فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ
Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya (QS Yunus [10]: 83).9
Dalam beberapa ayat lain juga disebutkan Fir’awna wa malâiha, seperti dalam QS al-A’raf [7]: 103, Yunus [10]: 75, Hud [11]: 97, al-Mukminun [23]: 46, dan lain-lain. Fir’aun adalah penguasa tiran yang memiliki balatentara yang amat banyak. Dia bahkan mengaku sebagai tuhan. Kepada Fir’aun dan kaumnya, Allah SWT mengutus Nabi Musa. Namun, mereka ingkar, bahkan melawan dan hendak membunuh Nabi Musa. Ketika mereka mengejar Musa dan pengikutnya yang menyeberangi laut, Raja Mesir beserta balatentaranya itu pun ditenggelamkan di laut itu.
Adapun kaum Tsamud, mereka adalah kaum yang dulu pernah tinggal di negeri Arab. Kisah mereka di kalangan bangsa Arab sangat terkenal. Banyak ayat yang menyebut dan memberitakan mereka. Kepada mereka, Allah SWT mengutus Nabi Shalih as. Namun, mereka mendustakan utusan Allah itu. Bahkan mereka membunuh unta yang menjadi mukjizat beliau. Akibatnya, mereka ditimpa azab. Kisah mereka disebutkan dalam banyak ayat. Di antaranya adalah QS al-A’raf [7]: 73-79, Hud [11]: 61-68, al-Syu’ara [26]: 141-159, dan lain-lain.
Menurut al-Qurthubi, disebutkan secara khusus Fir’aun dan Tsamud, karena Tsamud tinggal negeri Arab dan kisah mereka sangat masyhur sekalipun mereka kaum terdahulu. Adapun Fir’aun masyhur di kalangan Ahlul Kitab dan lainnya. Mereka termasuk kaum yang belakangan dihancurkan. Itu menunjukkan kedua kaum tersebut serupa dengan mereka dalam kehancuran.10
Dengan demikian makna keseluruhan ayat ini adalah: Sungguh kamu telah mengetahui pendustaan kaum penentang rasul-rasul itu dan apa yang ditimpakan kepada mereka karena pendustaan mereka itu.11
Kemudian Allah SWT menegaskan: Bal al-ladzîna kafarû fî takdzîb (Sesungguhnya orang-orang kafir selalu dalam sikap mendustakan). Menurut az-Zamakhsyari, an-Nasafi, dan Abu Hayyan, al-ladzîna kafarû di sini adalah orang kafir dari kaum Nabi Muhammad saw. 12 Namun, memurut al-Alusi, bisa juga mencakup seluruh kaum kafir.13
Orang-orang kafir itu disebutkan: fî takdzîb. Artinya, mereka selalu dan terus-menerus melakukan pendustaan dan penentangan. Berbagai ayat tidak bermanfaat bagi mereka. Nasihat juga tidak berguna buat mereka.14
Kata bal di sini bermakna al-idhrâb, bahwa mereka (kaum musyrik Arab) lebih mengherankan daripada kaum Fir’aun dan Tsamud. Sebabnya, kaum musyrik tetap ingkar. Padahal mereka telah mendengar kisah-kisah kaum Fir’aun dan Tsamud, melihat bekas-bekas kehancuran mereka, dan mendustakan lebih keras daripada pendustaan mereka.15
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wal-Lâhi min warâ‘i muhîth (Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka). Diterangkan asy-Syaukani, kata al-ihâthah bi al-sya‘i berarti mengepung atau mengelilingi sesuatu itu dari segala arah. Ini merupakan bentuk perumpamaan tiadanya keselamatan mereka karena tidak adanya celah orang yang dikepung dari pihak yang mengepung.16 Adapun frasa min warâ‘ihim (di belakang mereka) memberikan makna min kulli jihatin (dari semua arah), bukan hanya dari belakang.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah berkuasa untuk menimpakan kepada mereka (kaum Nabi saw. yang kafir) dengan apa yang telah diturunkan kepada mereka (kaum sebelum mereka, Fir’aun dan Tsamud).17
Kesimpulan senada juga dikemukakan oleh para mufassir lain. Dikatakan al-Baghawi, ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah SWT mengetahui mereka. Tidak ada sedikit pun perbuatan yang tersembunyi dari pandangan Allah SWT. Allah SWT bisa menurunkan azab kepada mereka sebagaimana kaum sebelum mereka.18
Al-Jazairi juga memaparkan, mereka berada dalam genggaman-Nya, di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada satu pun yang tersembunyi dari mereka. Tidak ada yang menghalangi Dia dengan mereka kapan saja Dia hendak menghukum mereka.19
Kemudian Allah SWT membantah pendustaan mereka terhadap al-Quran dengan firman-Nya: Bal huwa Qur‘ân Majîd (Bahkan yang mereka dustakan itu ialah al-Quran yang mulia). Inilah adalah bantahan terhadap kaum kafir yang mendustakan al-Quran. Bahkan mereka melemparkan tuduhan palsu, bahwa al-Quran adalah dongengan orang dulu, sihir, syair, dan lain-lain. Ayat ini menegaskan bahwa al-Quran yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah saw. itu adalah majîd.
Pengertian majîd adalah karîm (mulia).20Menurut al-Baghawi, kata tersebut bermakna karîm syarîf katsîr al-khayr (mulia, terhormat, dan banyak kebaikan). Ini tidak seperti yang dituduhkan kaum musyrik bahwa al-Quran adalah syair dan perdukunan.21 Dinyatakan juga oleh az-Zamakhsyari, al-Quran itu mulia dan tinggi derajatnya, dan dalam susunan kalimat dan kemukjizatannya.22
Menurut al-Alusi, ini merupakan bantahan terhadap kekufuran mereka, membatalkan pendustaan mereka, dan membenarkan yang haq. Bahkan al-Quran adalah kitab yang mulia dan tinggi derajatnya di antara kitab-kitab Ilahi, baik dari segi susunan bahasa maupun isinya serta tidak membenarkan pendustaan dan kekufuran mereka.23
Kemudian ditegaskan lagi: Fî lawh mahfûzh (yang [tersimpan] dalam Lauh Mahfuzh). Secara bahasa, al-lawh berarti semua lembaran yang lebar dari kayu, tulang, atau lainnya;24juga berarti sesuatu yang ditulisi di dalamnya.25
Menurut asy-Syaukani, mahfûzh di sini berarti terjaga di sisi Allah SWT, jauh dari jangkauan setan.26 Dikatakan juga oleh as-Sa’di, al-Quran terjaga dari perubahan, penambahan dan pengurangan, serta terjaga dari setan. Ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan al-Quran, dan ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT.27
Kepastian Azab atas Kaum Kafir
Banyak perkara perkara penting dari ayat ini. Di antaranya adalah: Pertama, kesamaan sikap kaum kafir di seluruh zaman. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa kaum kafir itu memiliki sikap yang sama, yakni takdzîb (mendustakan); mendustakan kebenaran dan risalah yang berasal dari Allah SWT. Berbagai alasan penolakan memang mereka kemukakan. Namun, semuanya hanya dalih tanpa dasar dan argumentasi yang benar. Inilah sifat kaum kafir di seluruh zaman.
Kedua, kepastian azab atas kaum kafir. Orang-orang yang mengingkari Allah SWT dan rasul-Nya pasti akan ditimpa azab. Di akhirat kelak mereka akan dilemparkan ke dalam neraka dan dipaksa menjadi penghuninya selama-lama.
Tak hanya di akhirat. Sebagian siksa itu sudah ditimpakan kepada sebagian kaum kafir ketika masih di dunia. Peristiwa yang menimpa kaum kafir terdahulu, yakni Fir’aun beserta pengikutnya dan kaum Tsamud yang diberitakan ayat ini, menjadi bukti nyata atas itu. Secara fisik, mereka adalah kelompok manusia yang kuat. Kaum Tsamud adalah kaum yang memiliki fisik yang kuat sehingga bisa menjadi pemotong batu-batu besar di lembah dan menajdikannya sebagai rumah. Fir’aun memiliki balatentara yang kuat dan banyak. Namun, kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka tidak membuat mereka bersyukur. Sebaliknya, mereka sombong dan berani menentang Allah SWT dan utusan-Nya. Mereka mengira, dengan kekuatan yang mereka miliki dapat mencegah azab atas mereka.
Setelah menyembelih unta, dengan sombong kaum Tsamud meminta segera didatangkan azab atas mereka. Azab yang mereka tantang untuk segera dihadirkan itu pun benar-benar datang. Mereka ditimpa gempa hingga menjadi mayit-mayit yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka (lihat QS al-A”raf [7]: 77-78). Mereka ditimpa dengan satu suara keras yang mengguntur (lihat QS Hud [11]: 67). Nasib serupa juga dialami Fir’aun dan balatentaranya. Saat mereka mengejar Musa dan para pengikutnya yang telah menyeberangi Laut merah, mereka pun ditenggelamkan di laut itu.
Seharusnya, semua itu dapat dijadikan pelajaran bagi kaum sesudahnya. Betapa lemahnya manusia di hadapan Allah SWT, Sang Pencipta dan Pemilik alam raya. Lalu atas dasar apa manusia berani menjadi penentang yang nyata bagi Tuahannya?
Ketiga, kemuliaan dan keagungan al-Quran. Ini ditunjukkan dengan penyebutan secara khusus perkara yang didustakan kaum kafir. Dalam akidah, kedudukan al-Quran amat vital dan menentukan. Al-Quran merupakan dalil bagi keimanan terhadap sifat dan perbuatan-Nya yang gaib, malaikat beserta semua makhluk tak terindera lainnya, semua kitab selain al-Quran, rasul sebelum Nabi Muhammad, Hari Kiamat beserta semua kejadian yang mengiringinya. Selain akidah, dalam al-Quran juga berisi syariah dan menjadi sumber hukumnya. Karena itu tatkala al-Quran diingkari, semua perkara itu akan diingkari pula.
Al-Quran pun disifati dengan sifat yang menggambarkan kemuliaan dan kehormatannya, yakni majîd. Juga diberitakan bahwa al-Quran berada di lauh al-mahfudz sehingga benar-benar suci dan terjaga dari setan yang berniat untuk mengotorinya (Lihat pula: QS al-Waqi’ah [56]: 77-79).
Karena itu, sungguh hina orang-orang yang mendustakan al-Quran yang mulia. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 414. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 297; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 502.
2 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 502; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 303.
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303.
5 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 237.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 733.
7 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 302; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303. Lihat juga ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘în, vol. 2 (tt: al-Risalah, 1999), 347.
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303.
9 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 733. Lihat juga ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 31 (Beirut: Dar Ihyâ‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 115.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 298. Lihat juga asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 502. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beorut: Dar al-Fikr, 1420 H), 446-447.
11 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 733.
12 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 733; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 625; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 447.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303.
14 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân (tt: al-Risalah, 2000), 918.
15 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 302.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 502.
17 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 502.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 237.
19 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 551.
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘an, vol. 2, 347.
21 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 237.
22 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 733.
23 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 303.
24 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa ad-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 368.
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 299.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 502.
27 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 918.