Tepat 1 bulan pasca Pileg 2014 pada 09 April 2104 yang lalu, pada 09 Mei 2014 KPU secara resmi merilis hasil perolehan suara Pileg secara nasional. Hasilnya memang tidak berbeda jauh dengan hasil berbagai lembaga quick count. Dari hasil rekapitulasi tersebut, PDIP menempati urutan pertama untuk perolehan suara terbanyak (23.681.471 suara/18,95%), disusul Golkar (18.432.312 suara/14,75%), Partai Gerindra (14.760.371/11,81%), Partai Demokrat (12.728.913 suara/10,19%), PKB (11.298.957 suara/9,04 %), PAN (9.481.621 suara/7,57%), PKS (8.480.204 suara/6,79%), Partai Nasdem (8.402.812 suara/6,72%), PPP (8.157.488 suara/6,53%), Partai Hanura (6.579.498 suara/5,26%), PBB (1.825.750 suara/1,46%) dan PKIP (1.143.094 suara/0,91%). Dari data tersebut, PBB dan PKPI dipastikan tidak lolos ambang batas parliamentary threshold.
Dengan hasil rekapitulasi dari KPU tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi syarat untuk mengajukan capres dan cawapres dari partai sendiri. Syarat untuk mengajukan capres-cawapres dari partai sendiri haruslah memenuhi syarat presidential threshold, yakni syarat pengajuan pasangan capres-cawapres adalah sebesar 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara nasional.
Dengan tidak memenuhi syarat presidential threshold tersebut, para petinggi partai harus mengambil jalan koalisi sebagai “pilihan wajib” jika tetap ingin memajukan capres-cawapres dari partainya. Silaturahmi politik lintas partai pun dilakukan, tentu disertai dengan lobi-lobi politik demi kepentingan partai masing-masing.
Aroma koalisi pragmatis sangat bisa tercium. Koalisi yang dilakukan oleh elit-elit politik hanyalah demi kepentingan partainya saja, yakni demi bagi-bagi kursi kekuasaan. Partai-partai pendukung koalisi akan mendapatkan jatah kursi jika koalisi partai tersebut nantinya berhasil memenangkan Pilpres pada 09 Juli 2014 mendatang. Jelas ini adalah koalisi yang bersifat pragmatis. Koalisi ini dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat.
Buah Ketidakjelasan Ideologi Partai
Dalam Pileg 2014 kemarin, hampir semua mengaku memiliki ideologi yang bersifat khas di partainya. Padahal ideologi partai yang mereka usung itu tidaklah jelas. Ada partai yang mengaku nasionalis dan pro-rakyat. Faktanya, pengambilan keputusan atau kebijakan politiknya sering tidak mencerminkan prinsip dasar partainya. Ada partai yang mengaku partai Islam, namun tidak mengusung Islam sebagai visi perjuangannya; apalagi menjadikan syariah dan khilafah sebagai “jualannya”. Yang mereka usung malah konsep masyarakat madani yang berakar dari konsep civil society ala Barat. Ada juga partai yang mengaku mewakili “wong cilik”, tetapi di parlemen mereka mewakili kepentingan pengusaha atau pemilik modal. Jadi, singkat kata, tidak satu pun partai politik di Indonesia yang punya basis ideologi yang jelas.
Adanya ketidakjelasan ideologi itulah yang juga kemudian menyebabkan koalisi yang dibangun bukan berdasarkan atas kesamaan ideologi, atau kesamaan visi dan misi partai. Padahal adanya kesamaan ideologi partai yang berkoalisi sangat penting karena akan menentukan agenda koalisi; ada cita-cita, program, dan target-target politik yang konkret. Jika tidak, koalisi pun tidak punya agenda dan target yang jelas. Tujuan koalisi pun ujung-ujungnya adalah demi kepentingan partai masing-masing.
Tak Berbasis Ide dan Metode yang Sahih
Menarik untuk dikaji adalah kekalahan yang dialami oleh partai-partai Islam atau partai berbasis umat Islam seperti PKS, PBB, PPP, PAN dan PKB pada Pileg 09 April 2014 lalu. Padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Sebagian kalangan melihat salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya umat Islam yang golput alias tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014 ini. Sebagian yang lain berpendapat karena banyaknya partai Islam sehingga suara umat menjadi terpecah-pecah. Seharusnya cukup ada satu saja partai Islam sehingga suara umat Islam hanya akan tersalurkan pada satu partai saja.
Menurut survey, golput disebabkan oleh minimal tiga faktor. Pertama: faktor non teknis, yakni semisal tidak terdaftarnya masyarakat pada daftar pemilih tetap atau DPT. Kedua: faktor tehnis, yakni lebih memilih kesibukan sendiri seperti pergi ke tempat kerja daripada mendatangi TPS. Ketiga: faktor kritis, apatis serta ideologis. Artinya, baik partai yang bertarung maupun calon anggota dewan yang turut bertarung tidak bisa diharapkan untuk bisa melakukan perubahan yang lebih baik. Faktor ketiga inilah yang oleh sebagian orang disebut sebagai golongan putus asa, plesetan dari golput yang makna sebenarnya adalah golongan putih.
Di luar dari adanya pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, tetap harus menjadi renungan bagi partai-partai Islam mengapa mereka bisa kalah dalam pertarungan tersebut.
Faktor utamanya, masyarakat melihat tidak ada bedanya antara partai Islam dan partai yang bukan berasaskan Islam. Dalam arti, tidak ada kejelasan ide (fikrah) dan metode (thariqah) yang dimiliki oleh partai-partai Islam tersebut. Dalam tataran ide, ketika menyikapi fenomena kepala negara perempuan, misalnya, ada partai Islam yang hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Kemudian saat didesak pendapatnya tentang penerapan syariah Islam, malah menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai lainnya yang berideologi sekular-nasionalis. Demikian pula dulu ketika ramai dibincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, dan partai Islam lainnya menyatakan “Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing”. Akibatnya, umat berkesimpulan bahwa tidak ada bedanya partai yang partai Islam dengan partai lainnya.
Begitu pula dalam metode perjuangannya, tidak jelas. Misal, usaha mereka untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat dilakukan dengan jalan kompromi dan tambal-sulam. Bahkan banyak partai Islam yang berkoalisi dengan partai nasionalis yang anti Islam, atau malah partai Kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Partai yang mengaku partai Islam tersebut, kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’, tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat perbedaan partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Itulah di antara faktor yang menyebabkan para pemilih yang beragama Islam tidak memberikan suaranya kepada partai-partai Islam tersebut. Apalagi dengan kurangnya kesadaran dan pemahaman politik di kalangan masyarakat. Mereka memberikan suara kepada partai yang menurut mereka memberikan manfaat kepada mereka walau hanya beberapa lembar uang atau sembako saat kampanye.
Karena itu penting sekali sebuah partai memiliki fikrah dan thariqah yang benar dan jelas. Partai harus menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikirnya dan hukum syariah sebagai tolak ukur dalam setiap aktivitasnya. Partai tak boleh berpijak pada kaidah “daripada” dengan hanya melihat aspek maslahat dan madarat dalam sudut pandang manusia, bukan dari sudut pandang syariah.
Tak Konsisten
Sebelum pileg 2014, sebagian dari kita tentu sudah tidak asing lagi dengan banyaknya broadcast di beberapa media yang intinya menyeru agar umat Islam tidak golput. Mereka beralasan, jika umat Islam golput, pemerintahan akan dikuasai oleh partai-partai sekular, yang nantinya setiap kebijakan akan menzalimi kepentingan umat Islam. Untuk membenarkan alasan tersebut, mereka kemudian mengutip pernyataan dari Imam Ali bin Abi Thalib yakni “Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tetapi karena diamnya orang baik.”
Namun, itulah risiko sebuah partai yang tidak memiliki ideologi yang jelas. Buktinya, pasca pileg umumnya partai-partai Islam tersebut malah ikutan-ikutan merapat ke beberapa partai sekular. Bahkan wacana koalisi poros tengah pun yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam, tetap ditawarkan untuk merapat ke Gerindra, misalnya. “Kalau semua partai Islam bersatu, suaranya sudah sampai 31 persen. Ini bisa pilihannya kita ajukan capres atau bisa menjadi posisi tawar bagi partai nasionalis, misalnya Gerindra,” ujar anggota Majelis Syuro PKS, Refrizal, di Jakarta, Sabtu (12/4/2014).
Itulah bentuk inkonsistensi yang ditunjukan oleh partai-partai Islam. Seharusnya jika konsisten, dengan seruan tidak memilih partai sekular karena khawatir kelak pemerintahan akan dikuasai kaum sekular, sikap mereka pun sama dalam berkoalisi, yakni tidak ikut-ikutan berkoalisi dengan partai secular. Berkoalisi dengan partai sekular sama saja berarti mengantarkan partai sekular ke tampuk kekuasaan.
Tak Peduli Rakyat
Koalisi yang kita saksikan sekarang sejatinya adalah bagian dari politik yang berujung pada politik dagang sapi atau yang bisa disebut juga sebagai politik transaksional. Nantinya para elit partai akan membuat perjanjian politik untuk menuju kesepakatan dalam berkoalisi. Tentu politik dagang sapi seperti ini hanya memberikan kepentingan kepada partai dan elitnya.
Intinya, tidak ada satu pun partai yang sesungguhnya membela kepentingan rakyat. Semuanya adalah partai politik pragmatis, baik partai sekular—termasuk partai yang mengaku sebagai partainya wong cilik—maupun partai yang mengaku sebagai partai Islam atau partai yang berbasis massa Islam.
Partai pembela rakyat sejatinya bukanlah partai yang mengambil jalan pragmatis. Bagi partai pragmatis, yang utama adalah kepentingan partai, khususnya individu anggota partai, bukan rakyat. Saat menjelang Pemilu partai ini biasanya mendekati rakyat dengan janji-janji; juga dengan sejumlah hadiah kecil untuk mencari simpati seperti bagi-bagi kaos plus uang saku. Namun, setelah menjadi pemenang, wajah dan hatinya bukan lagi menghadap rakyat, malah berbalik kepada pemilik modal yang mendukung kemenangan-nya. Lahirlah kebijakan yang lebih pro pemilik modal daripada memihak rakyat.
Biaya politik dalam demokrasi memang sangatlah mahal dan tentu membutuhkan modal yang besar untuk ikut serta dalam Pileg maupun Pilpres. Di sinilah peranan para pengusaha atau para pemilik yang berkantong tebal. Merekalah yang akan men-support para kontestan Pemilu dalam demokrasi tersebut, tentu dengan bersandar pada prinsip ‘no free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis.
Saat menang, partai-partai tersebut nantinya akan membuat kebijakan yang pro terhadap para pemilik modal sebagai bentuk “balas budi” saat Pileg atau Pilpres. Karena itu tidak aneh jika setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa di negeri ini hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak swasta dan pihak asing sebagai para pemilik modal.
Partai Islam Pembela Rakyat, Adakah?
Kalau yang dimaksud adalah partai-partai Islam peserta Pemilu maka jawabnya adalah tegas tidak ada! Karena sikap pragmatis bukanlah sikap dalam rangka membela kepentingan rakyat, namun sikap mencari aman demi kemaslahatan atau kepentingan partai.
Partai Islam pembela rakyat sejatinya adalah yang benar-benar berideologi Islam; yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam segenap aspek kehidupan. Partai ini berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan institusi sistem Khilafah. Hanya dengan syariah dan Khilafahlah penjajahan Kapitalisme yang telah membuat rakyat menderita akan dihentikan. Penerapan syariah Islam akan menghentikan segala bentuk intervensi asing dalam bidang ekonomi maupun politik. Khilafah tidak akan membiarkan pemikiran yang sesat seperti liberalisme, sekularisme, dan pluralisme berkembang, apalagi diadopsi oleh negara. Sebab, ide-ide itu merupakan ide penjajah yang membuat penjajahan asing akan berkuasa.
Syariah Islam juga akan membela rakyat. Pasalnya, kebijakan politik ekonomi syariah adalah menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan rumah) setiap individu rakyat. Pendidikan dan kesehatan yang merupakan kebutuhan penting masyarakat akan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya yang sangat ringan. Berdasarkan syariah Islam, pendidikan dan kesehatan tidak boleh diprivatisasi karena perkara ini merupakan tanggung jawab negara. [Adi Victoria Humas HTI Samarinda]