Koalisi secara bahasa berasal dari serapan bahasa Inggris, coalition yang artinya penggabungan, penyatuan. Dalam KBBI Online pun disebutkan bahwa koalisi: kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.1Pengertian koalisi tersebut sepadan dengan istilah at-tahâluf as-siyâsi dalam bahasa Arab yangsecara etimologi berasal dari kata al-hilf:
الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم
Al-Hilf: perjanjian di antara kaum. 2
Imam Ibn al-Atsir pun mendefinisikan al-hilf:
أصل الحِلْف: المعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد والتَّساعُد والاتّفاق
Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan mengadakan perjanjian dalam hal bekerjasa-ma, tolong-menolong dan kesepakatan.3
Adapun terkait istilah at-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:
التحالف: حلف كل واحد من الفريقين
At-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di antara dua pihak (atau lebih).4
Realitas koalisi dalam politik praktis saat ini, dilakukan oleh sejumlah parpol yang bersepakat dan bekerjasama membangun suatu pemerintahan. Koalisi yang ada adalah koalisi memilih capres dan cawapres beserta perangkatnya yang faktanya bertugas menegakkan sistem demokrasi dan sistem hukum positif.
Koalisi Pragmatis: Haram
Berkoalisi, yang realitasnya adalah bekerjasama mengangkat penguasa beserta perangkatnya untuk menegakkan sistem kufur demokrasi dan sistem hukum jahiliah adalah haram secara syar’i. Imam Ibn al-Atsir ketika menjamak dua kelompok hadis mengenai hilf (yang seakan bertentangan) menuturkan, “Yang dikehendaki dari akad saling mengikatkan diri adalah dalam kebaikan dan menolong kebenaran. Itu (disimpulkan) dari pengga-bungan dua kelompok hadis. Inilah perjanjian (koalisi) yang dituntut oleh Islam. Adapun perjanjian (koalisi) yang dilarang dalam Islam adalah yang menyelisihi hukum Islam.”5
Beberapa Rincian.
Pertama: Adanya larangan berhukum dengan selain hukum Islam (hukum jahiliah) (lihat: QS Al-Ahzab [33]: 36, QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47); kewajiban berhukum dengan hukum Islam (lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65, QS al-Maidah [5]: 48, QS al-Baqarah [2]: 208, QS an-Nur [24]: 51); dan nash-nash lainnya disertai banyak sekali penjelasan para ulama mengenai ini.
Kedua: Haram tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Meskipun koalisi tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa Islam”, jika tujuannya untuk mengangkat penguasa yang menegakkan demokrasi dan sistem hukum jahiliah, maka hukumnya tetap haram karena nyata bekerja-sama dalam kemungkaran (Lihat: QS al-Maidah [5]: 2).
Ketiga: Setiap syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ في كِتَابِ الله فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط الله أَوْثَق
Siapa saja yang membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ الله فَهُوَ بَاطِلٌ
Setiap syarat yang bukan dari KitabulLâh adalah batil (HR Ibnu Hibban, 10/84).
Keempat:Koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat capres dan cawapres. Keduanya adalah calon penguasa yang bertugas menegakkan sistem kufur demokrasi dan sistem hukum jahiliah. Jelas sarana ini hukumnya haram sesuai dengan kaidah syar’iyyah:
الوَسِيْلَة إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
Sarana yang mengantarkan pada keharaman adalah haram.
Imam al-Jurjani, dipertegas Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, mendefinisikan:
الوَسِيْلَة: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ
Wasilah adalah apa saja yang bisa mengantarkan pada perkara lainnya.6
Kaidah tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena: (1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nash; yakni keharaman menegakkan kemungkaran sistem kufur demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann mengantarkan pada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang bertugas menegakkan sistem kufur demokrasi dan sistem hukum jahiliah.
Bantahan atas Berbagai Dalih
Di antara syubhat yang menjustifikasi koalisi pragmatis adalah untuk menolak madarat dan mewujudkan kemaslahatan, atau maslahat mursalah. Benarkah klaim tersebut?
Seakan menjadi pembenaran, salah satu tokoh parpol Islam menukil pernyataan Imam Syafii yang menyatakan bahwa patokan boleh dan tidaknya tahâluf dengan non-Muslim adalah kemaslahatan umat.7 Dikutip pula pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa pemberla-kuan tahâluf tidak harus bertendensi pada ideologi, melainkan kepada maslahat umat, agar tidak di luar koridor. Lalu ia memberikan batasan, yakni sepanjang tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi saw.8
Padahal pernyataan Ibn Taimiyah di atas, jelas menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai patokan utama, sebagaimana dituturkan oleh beliau dalam kesempatan lain (24/280), “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap madarat dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat dengan apa saja yang disukai; melainkan ia tidak boleh meraih manfaat kecuali dengan apa yang mengandung takwa pada Allâh dan tidak pula menepis madarat kecuali dengan sesuatu yang mengandung takwa kepada Allâh.”9
Imam Syafii bahkan mengkritik keras penggunaan kaidah maslahat mursalah:
مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
Siapa saja yang menggunakan maslahat (sebagai hujjah) maka ia benar-benar telah membuat syariah; sama halnya dengan orang yang menggunakan istihsan maka ia benar-benar telah membuat syariah.10
Imam Al-Amidi pun menegaskan, “(Poin kedua) yakni apa saja yang diduga dalil padahal ia bukanlah dalil seperti syar’u man qablanâ, mazhab sahabat, istihsan dan maslahat mursalah.”11
Para ahli fikih dari berbagai mazhab pun tidak menjadikan masalih mursalah sebagai dalil meski bisa disebut syubhah ad-dalîl. Karena itu tentu keliru jika sesuatu yang diduga dalil lebih diutamakan daripada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Alasan mewujudkan kemaslahatan dengan batasan yang tidak jelas dan dugaan semata tentu tidak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan apa yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash al-Quran dan as-Sunnah. Al-Amidi menuturkan, “Para ahli fikih dari Syafi’iyyah, Hanafiyyah dan lainnya melarang berpegang pada maslahah mursalah dan itu adalah benar; kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berpendapat dengan itu, namun para sahabatnya mengingkari hal itu dari beliau.”
Di sisi lain, koalisi pragmatis hanya membuahkan madarat yang nyata: bekerjasama mengangkat capres-cawapres serta perangkatnya yang bertugas menegakkan sistem kufur demokrasi dan sistem hukum jahiliah. Apakah ini dianggap sebagai madarat yang sepele? Banyak petunjuk al-Quran yang secara pasti mengecam perbuatan berpaling dari syariah Allah dan hal itu jelas merupakan bahaya yang nyata dunia dan akhirat (LIhat: QS Thaha [20]: 124).
Kaidah ahwân asy-syarrayn atau akhaffu al-mafsadatayn dan yang semisalnya pun tidak bisa digunakan dalam kasus koalisi pragmatis. Karena kita tidak dihadapkan pada kondisi darurat. Apakah melakukan koalisi batil merupakan kondisi darurat yang mengancam nyawa dan tak bisa dihindari? Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:
الضرورة: الحاجة الشديدة والمشقة والشدة التي لا مدفع لها
Darurat: kebutuhan yang amat mendesak; kesempitan dan kesulitan yang tidak bisa dihindari.
Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan bahwa para ulama yang mengadopsi kaidah tersebut telah merinci syarat-syarat dan konteks pengamalannya. Tidak sah mengambil teks kaidah tersebut seakan-akan ia adalah syar’i secara mutlak, atau mengadopsi kaidah tersebut dengan menghilangkan syarat-syarat penerapannya, kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan kaidah tersebut untuk menghalalkan perkara haram dan mengelabui manusia.
Intinya, kaidah tersebut hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi sebagaimana yang dijelaskan para ulama yang mengadopsi kaidah-kaidah tersebut.
Pertama: Jika seseorang sudah sampai pada batas darurat yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya nyawa. Pada saat itu ia hanya menemukan dua keharaman. Ia tentu mesti memilih yang paling ringan keharamannya (tidak ada pilihan lain). Namun, jika ternyata ia menemukan perkara halal maka ketentuan ini tidak berlaku.
Kedua:Jika seseorang meninggalkan dua keharaman tersebut, namun jika begitu ia malah akan terjerumus pada keduanya atau pada keharaman lain yang lebih besar dari keduanya. 12
Di sisi lain penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Syariah telah menjelaskan halal dan haram serta mana yang lebih ringan keharamannya. Akal tak mampu menentukan mana yang terpuji dan tercela, mana yang diganjar pahala dan dibalas dengan siksa. Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani berkata:
أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه
Sesungguhnya predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang Muslim adalah sesuatu yang diridhai Allah, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang Dia murkai.
Al-Qadhi al-Baqilani juga berkata:
اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
Yang terpuji adalah apa yang dipuji oleh syariah, sedangkan yang tercela adalah apa yang dicela oleh syariah.13
Intinya, kita tetap wajib terikat dengan hukum syariah meskipun di Dârul Kufur seperti saat ini. Allah SWT berfirman:
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian (QS ath-Thaghabun [64]: 16).
Imam Syaukani berkata, “Sungguh hukum-hukum syariah itu mengikat kaum Muslim di manapun mereka berada dan Dâr al-Harbi tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syariah secara keseluruhan atau sebagian.”14
Identitas Partai Politik Islam
Partai politik wajib berasaskan akidah Islam. Dari akidah inilah terpancar berbagai peraturan yang wajib diadopsi oleh partai. Aktivitas partai adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Parpol Islam, sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah saw. sebagai sebaik-baiknya teladan (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 21).
Karena itu parpol Islam harus: membina umat ini menjadi para da’i yang menyeru kepada al-Islam; menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan; mengungkapkan keburukan sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, dll); mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum syariah atasnya; melakukan thalabun-nushrah kepada para pemilik kekuatan riil agar berjuang bersama umat dan partai untuk menegakkan sistem Islam dan menjaganya, Khilafah yang tegak di atas manhaj Kenabian. Khilafahlah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam. Tidak mudah memang, namun diam bukanlah jawaban. Allâh al-Musta’ân. []
Catatn kaki:
1 Http://kbbi.web.id/koalisi
2 Ibn al-Manzhur dalam Lisân al-‘Arab; Imam Ar-Raghib al-Ashfahani. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân’.Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz. I/170.
3 Imam Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. I/424. Al-Maktabah al-Islamiyyah.
4 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’. Cet. II. Beirut: Dar an-Nafa’is.
5 Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. I/425. Lihat pula penegasan Imam Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab.
6 Ali bin Muhammad as-Sayyid asy-Syarif al-Jurjani. Mu’jam at-Ta’rîfât. Muhaqqiq: Muhammad Shiddiq al-Minsyawi. Kairo: Dar al-Fadhilah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’.
7 Mughnî al-Muhtâj; 4/221.
8 Majmû’ al-Fatâwâ 35/92-97; dinukil oleh Dr. H. Salim Segaf Al Jufri, M.A. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah (Jakarta: ROBBANI PRESS, 2005), hlm 191-197.
9 Irfan Abu Naveed. Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia. Halim Jaya: Surabaya.
10 Hujjat al-Islam al-Ghazali. Al-Musthasfa min ‘Ilm al-Ushûl. II/506.
11 Al-Amidi. Al-Ihkâm fî Ushûl Al-Ahkâm. Muhaqqiq: Al-‘Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi.
12 Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan. “Qâ’idatu Ahwan asy-Syarrayn. Majallatul Wa’ie”. No. 224. Thn. Ke-20. Edisi Ramadhan 1426 H.
13 Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Al-Anshâf fîmâ Yajibu I’tiqâduhu wa Lâ Yajuzu al-Jahlu bihi; Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr. Beirut: Dar al-Ummah.
14 Imam Muhammad bin Ali asy-Syawkani. 1425 H. As-Saylu al-Jarrâr al-Mutadaffiq ’alâ Hadâ’iq al-Azhâr. Cet. I. Beirut: Dar Ibn Hazm. Lihat pada halaman 963, Kitab As-Sîr.
[Irfan Abu Naveed; Staf Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât al-Islâmiyyah Jâmi’atur-Râyah Dan Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur]
Kajian mengenai koalisi di atas, lengkapnya bisa ditinjau pula di sini:
http://irfanabunaveed.com/2014/06/03/koalisi-pragmatis-dalam-pandangan-islam/