Tokoh-tokoh ormas Islam akhirnya harus kecewa. Pasalnya, parpol-parpol Islam atau berbasis massa Islam yang semula diharap bisa berkoalisi sehingga bisa mengusung capres sendiri ternyata malah mendukung capres-capres dari partai nasionalis. PKB mendukung Jokowi, capres PDI-P. PKS dan PAN mendukung Prabowo, capres Gerindra. PPP akhirnya juga mendukung Prabowo meski masih ada faksi lain yang menginginkan PPP mendukung Jokowi.
Harapan tokoh-tokoh ormas Islam agar partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam mau berkoalisi agar bisa mengajukan capres sendiri, secara matematis sebenarnya masuk akal. Dari 4 partai itu akan terhimpun sekitar 32% suara; lebih dari cukup untuk mengusung capres sendiri. Namun begitulah, potensi kekuatan besar itu menjadi sia-sia karena masing-masing ternyata lebih memilih agendanya sendiri ketimbang mempertimbangkan secara serius harapan tokoh-tokoh ormas Islam yang sebelumnya telah berulang bertemu dan menyeru partai-partai itu untuk memperhatikan kepentingan perjuangan umat.
++++
Mengapa partai-partai itu bersikap begitu? Pertama: tentu sangat dipengaruhi oleh visi misi yang diusung oleh partai-partai itu dalam berpolitik. Saat ini politik umumnya dipahami sekadar sebagai the art of getting power (seni mendapat kekuasaan). Bagi para politikus, buat apa berpolitik bila tidak untuk mendapat kekuasaan. Sampai di sini sebenarnya bisa dimengerti. Kekuasaan memang sangat penting untuk diraih. Dengan kekuasaan akan didapat kewenangan besar untuk mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Hanya saja, kekuasaan yang bakal diraih nanti itu akan dijalankan dalam konteks sistem dan ideologi seperti apa, untuk apa dan bersama siapa.
Saat tokoh-tokoh ormas Islam menyeru partai-parti Islam dan partai berbasis massa Islam untuk bersatu agar bisa mengajukan capres sendiri, tentu tujuannya agar kekuasaan yang didapat nantinya dijalankan dalam konteks Islam, atau sedikitnya untuk kepentingan umat Islam. Artinya, mereka ingin agar bukan sembarang kekuasaan yang didapat oleh partai-partai itu, tetapi kekuasaan yang memberikan kebaikan pada Islam dan umatnya. Politik sesungguhnya adalah ri’âsah su’unil ummah (pengaturan kehidupan umat) dakhiliy[an] wa kharijiy[an] (di dalam dan luar negeri) bi hukmin mu’ayyanin (dengan hukum tertentu, yakni hukum syariah Islam). Namun, harapan itu agaknya tidak akan tercapai karena partai-partai itu dalam menjalin koalisi tidak memperhatikan apa yang dipikirkan oleh para tokoh ormas Islam.
Kedua: di kalangan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam berkembang praktik politik kepiting (crab politic). Kepiting biasa hidup di pantai, berkaki sepuluh; dua di antaranya berupa supit yang tajam, sementara punggungnya keras berwarna hijau kehitam-hitaman selebar telapak tangan. Apa yang menarik dari kepiting? Jika kita meletakkan banyak kepiting dalam keranjang, ternyata mereka tidak akan kabur meski keranjang itu tidak ditutup. Mengapa? Karena jika ada kepiting yang hendak keluar dengan menaiki dinding keranjang, kepiting lain akan segera menyeret dan menahannya dari bawah. Begitu seterusnya. Akibatnya, tidak satu pun kepiting yang berhasil keluar dari keranjang.
Dalam konteks politik demokrasi, tiap partai tentu harus memastikan bahwa mereka mendapatkan suara yang cukup dari konstituen. Di sanalah eksistensi sebuah partai ditentukan. Ditentukan pula besar kecilnya kekuatan di Parlemen yang dicerminkan dari jumlah kursi yang didapat. Nah, karena basis konstituen dari partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam relatif sama, maka terjadilah rebutan konstituen dan saling jegal atau “saling bunuh” untuk mempertahankan eksistensi dan “kebesarannya”. Di sinilah fenomena politik kepiting itu terjadi. Sebuah partai Islam atau partai berbasis massa Islam tidak akan pernah membiarkan partai Islam atau partai berbasis massa Islam lain menjadi besar atau lebih besar dari dirinya. Pasalnya, hal itu pasti akan membuat partainya sendiri mengecil. Karena itu kekalahan sebuah partai Islam dan partai berbasis massa Islam adalah keuntungan buat partai sejenis lainnya.
Dari situ pula kita bisa mengerti mengapa sulit sekali dicapai kesepakatan koalisi di antara partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam. Ini karena partai politik Islam dan partai berbasis massa Islam telah memiliki agenda masing-masing untuk meraih kekuasaan. Bila untuk itu harus berkoalisi dengan partai nasionalis, mereka tak ragu untuk melakukannya.
Jadi, jelas sekali satu-satunya landasan yang digunakan dalam menjalin koalisi adalah pragmatisme kekuasaan. Mereka tidak tertarik untuk melakukan koalisi di antara partai Islam dan partai berbasis massa Islam. Masalahnya, selain koalisi mereka dianggap tidak akan cukup untuk mengantarkan pada kursi kekuasaan, di antara mereka diam-diam sebenarnya tengah terjadi persaingan politik ala kepiting tadi.
Soal pragmatisme partai politik ini pernah saya sampaikan juga dalam sebuah pertemuan tokoh-tokoh ormas Islam menjelang pilpres tahun 2009 lalu. Ketika itu, diskusi juga mengerucut pada topik tentang pentingnya partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam untuk bersatu sehingga kepentingan Islam bisa diperjuangkan. Ketika itu saya katakan, “Ada satu kesenjangan yang sangat besar antara ormas Islam dengan parpol Islam. Ormas Islam dengan idealismenya, sementara parpol Islam dengan pragmatismenya. Padahal merekalah yang memegang kendali politik. Jadi, tidak bakalan ketemu sehingga keinginan kita tentu tidak bisa diujudkan.”
Akhirnya memang keinginan agar partai politik Islam dan partai berbasis massa Islam bersatu jelang Pilpres 2009 benar-benar tidak terwujud. Tidak ada capres dari kalangan partai Islam dan partai berbasis massa Islam. Mereka semua berbaris rapi di belakang capres SBY, yang kemudian terpilih melalui pemilihan satu putaran. Kejadian serupa agaknya bakal berulang dalam Pilpres 2014. Tanda-tandanya sudah sangat nyata. Tokoh-tokoh ormas Islam akan kembali kecewa. Pada masa mendatang kejadian seperti ini tampaknya akan terus berulang, entah sampai kapan.
++++
Jelaslah, pragmatisme politik telah menjadi gejala akut dalam politik di negeri ini, termasuk dalam membangun koalisi. Sedihnya, pragmatisme itu juga melanda partai-partai yang menyebut diri sebagai partai politik Islam, yang oleh umat sebenarnya diharapkan mampu mengusung idealisme Islam. Pragmatisme itu bukan hanya didorong oleh syahwat kekuasaan tapi juga—meski berulang dibantah—oleh politik transaksional. Uang telah menjadi penentu arah politik. Masihkah kita layak percaya pada politik semacam ini? [M. Ismail Yusanto]