Tepatnya bulan April dan Juli 2014 Indonesia merayakan pesta demokrasi. Pesta ini sangat mahal sepanjang sejarah. Ini ditandai antara lain oleh money politik para caleg, iklan TV, spanduk, baner yang menjamur di sepanjang jalan dan lainnya. Mereka yang berduit tebal mampu menguasai media massa sehingga politik pencitraan yang bermain peran. Banyak anggota DPR yang terpilih karena uang dan popularitas. Mahalnya demokrasi tak mampu mengungguli hasil pencapaian kesejahteraan masyarakat pasca Pemilu. Praktik korupsi, kolusi, nepotisme menjamur hampir di seluruh lapisan pemerintahan. Produk undang-undang pun berpihak kepada para konglomerat dalam negeri maupun asing. Rakyat dikhianati dengan janji-janji palsu.
Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 hingga tahun 2014, Indonesia telah melaksanakan sebelas kali Pemilu. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga Pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim Pemilu. Perubahan dari orde satu ke orde berikutnya diharapkan mampu menjadikan Indonesia semakin membaik. Namun, faktanya nol besar. Kemiskinan tetap mewarnai negeri. Kriminalitas merajalela. Korupsi makin menjadi-jadi. Para investor kian mendapat angin segar untuk bercokol ke negeri ini.
Partai politik berbasis Islam pun kehilangan ideologisnya demi meraup suara. Dengan frame berpikir menjadi pejabat mampu mewarnai negeri, mereka saling berebut kursi. Tiada memandang lagi akidah para caleg, kaum non-Muslim pun jadi. Opini anti golput mereka gencarkan dengan dalih jika tidak memilih, sama halnya membiarkan pemimpin kafir, non-Muslim maupun syiah menguasai negeri.
Mereka lupa sejatinya permasalahan negeri ini karena suburnya demokrasi. Mereka lupa dengan memilih pemimpin yang menjadikan demokrasi sebagai sistemnya justru akan menjadikan umat Islam terhina. Kesejahteraan rakyat terpuruk bahkan hanya sekadar mimpi. Kursi pemerintahan bagaikan satu-satunya jalan untuk memperbaiki negeri. Tidak cukup hanya itu, koalisi dengan partai nasionalis pun menjadi hal yang tidak mengherankan lagi. Jika pun parpol yang konon berbasis Islam bersatu, yang diusung pun tak jauh beda dengan partai nasionalis. Harapan masyarakat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik akan menjadi mimpi di siang bolong.
Ideologi selain Islam hanya akan membawa kebangkitan semu. Jika membaca fakta pemilu Indonesia 2014, tampak jelas yang diusung para capres/cawapres maupun parpol jauh dari upaya perjuangan penegakan syariah Islam. Mereka masih menjadikan hukum manusia sebagai aturan dalam kehidupan sebagaimana pemilu sebelumnya. Karena itu pasti masa depan Indonesia tidak jauh beda dengan masa yang telah lalu. AlLahu a’lam. [Anna Mujahidah Mumtazah; Pendidik, tinggal di Bojonegoro]