Sistem sekular kapitalis memang tak pernah memberikan rasa aman. Ancaman terhadap kehormatan pun datang bertubi-tubi, silih berganti mencari korbannya, tak terkecuali anak-anak. Bahkan kejahatan seksual terhadap anak jauh lebih sadis dan memiriskan.
Menurut penelitian, anak-anak yang pernah menjadi korban kejahatan ini akan cenderung menjadi pelaku di usia dewasanya nanti jika tidak ditangani secara tepat. Tak kalah seramnya adalah kejahatan seksual semisal perkosaan yang memakan korban anak perempuan. Trauma yang berkepanjangan tentu akan kontra produktif dengan proses tumbuh kembang mereka pada masa mendatang.
Akibat Sekularisme
Komnas Perlindungan Anak mencatat tingginya angka kasus kejahatan seksual dan kecenderungannya yang terus meningkat. Pada laporan akhir tahun 2013 tercatat bahwa dari 3.023 kasus pelanggaran hak anak yang terjadi di Indonesia, 58 persennya atau 1.620 anak menjadi korban kejahatan seksual. Sekretaris Jenderal Komnas PA Samsul Ridwan melalui siaran persnya mengungkapkan, jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah tahun 2013 meroket tajam hingga mencapai 60 persen (Kompas.com). Pada tahun 2014, meski belum genap empat bulan, kasus kekerasan pada anak telah terjadi hingga 239 kasus, 42 persennya adalah kekerasan seksual (Indosiar.com, 24/4/2014).
Kondisi tersebut tentu tidak lepas dari berlakunya sistem sekular-kapitalistik dan turunannya seperti liberalisme. Bahkan mandulnya solusi yang dibuat oleh berbagai pihak selama ini pun tak lepas dari ideologi kufur tersebut.
Sekularisme (penyingkiran peran agama dari kehidupan) menjadikan ketakwaan individu semakin tipis. Orang-orang yang lemah imannya ini merasa boleh melampiaskan nafsu bejatnya kepada siapa saja. Di sisi lain, dorongan seksual terus dimunculkan di berbagai ruang masyarakat. Liberalisme melegalkan beragam komoditi seksualitas baik pornografi maupun pornoaksi yang terus memunculkan hasrat. Pada saat yang sama negara tak punya gigi untuk menjerat semua pelaku kejahatan itu. Mereka disanksi, tetapi sanksi itu tak pernah membuat efek jera. Adapun hukum-hukum Islam yang telah dengan sangat gamblang dalam mengatasi problem ini diabaikan begitu saja. Alasannya, lagi-lagi karena negara ini memegang prinsip demokrasi, menghormati keragaman, bukan negara agama dan lain-lain.
Cara Pandang atas Persoalan
Persoalan ini muncul akibat cara pandang keliru terhadap gejolak seksual yang muncul dan mekanisme pemenuhannya. Selama cara pandang ini tidak dibetulkan, tindakan penyelesaian apapun akan mandul, tidak produktif bahkan rawan makin meningkat.
Cara pandang yang benar adalah sebagai berikut:
Pertama, gejolak seksual muncul karena ada rangsangan dari luar tubuh manusia. Kedua, gejolak ini bisa dikelola dengan manajemen pemenuhan dan pengalihan yang sesuai fitrah manusia. Ketiga, hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat manusia, naluri yang dia miliki dan aturan yang paling baik untuk manusia.
Melalui paradigma ini, Islam—sebagai aturan hidup yang berasal dari Allah SWT—menurunkan seperangkat aturan untuk mencegah munculnya gejolak seksual dan pemenuhan yang tidak tepat. Cara pandang ini harus menjadi pijakan dalam menuntaskan masalah apapun dalam kehidupan manusia, tak terkecuali kejahatan seksual pada anak-anak.
Peran Individu dan Keluarga
Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kejahatan seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman ini. Sebab, anak adalah amanah bagi orangtua yang harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Khalik.
Orangtua juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak. Sayangnya, upaya ini terganjal oleh tatanan kehidupan kapitalis yang mendorong para ibu bekerja keluar rumah. Kesibukan ibu bekerja ini tentu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian dan pengawasan. Padahal orangtua, khususnya ibu, harus benar-benar mengarahkan perhatiannya baik tatkala anak berada di rumah maupun di sekolah.
Orangtua pun memegang peranan penting untuk mendidik anak-anak di rumah dengan hukum Islam. Pemahaman yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam menjadi salah satu benteng bagi anak untuk tidak terjebak dalam kondisi yang mengancam dirinya. Orangtua harus memahamkan batasan aurat dan kepada siapa aurat itu harus dijaga. Anak-anak juga harus diajari batasan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam memandang, berbicara, berpegangan atau bersentuhan. Adanya hukum-hukum kehidupan (tempat) khusus dalam Islam juga disampaikan kepada anak-anak. Adapun untuk menjaga agar naluri seksual tidak muncul sebelum waktunya, Islam memerintahkan orangtua untuk memisahkan tempat tidur anak-anak yang telah berumur 7 tahun. Semua hukum-hukum Islam tersebut disampaikan dengan bahasa yang dapat dipahami anak-anak, kemudian menjadikan semuanya sebagai sebuah kebiasaan.
Tak kalah pentingnya adalah upaya orangtua untuk meningkatkan komunikasi dengan anak. Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan yang ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang.
Keluarga atau orangtua juga harus memastikan bahwa anak berada pada lingkungan pergaulan yang aman. Dengan siapa mereka berteman, ke mana mereka bermain dan apa yang dilakukan, sebaiknya diketahui orangtua secara detil. Meski mereka masih anak-anak, selayaknya mereka peduli masalah pergaulan ini, sebab hukum syariah juga mengatur masalah pergaulan ini.
Peran Masyarakat
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mewujudkan sistem yang aman bagi anak. Ketika hukum Islam mengharamkan pornoaksi dan pornografi, masyakarat seharusnya satu pemikiran dan perasaan bahkan satu aturan terhadap masalah ini.
Pemberantasan kejahatan seksual tak akan efektif jika sebagian masyarakat menyerukan tutup pornografi, tetapi masyarakat yang lain justru memfasilitasinya. Panggung-panggung hiburan saat hajatan pernikahan, bahkan saat kampanye Pemilu, kadang sarat pornoaksi yang bisa memancing gejolak seksual. Oleh karena itu, masyarakat tak boleh membiarkan ada celah sedikitpun bagi munculnya gejolak seksual. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang permisif dan tak acuh bukan saja akan melahirkan keguncangan, tetapi juga akan membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya.
Masyarakat juga harus mengemban amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk kontrol atas tindak kemungkaran (kejahatan) dan sarana yang bisa mengarah pada kejahatan. Misalnya, mengontrol agar media tidak menayangkan bentuk-bentuk kejahatan atau reka ulang. Sebaliknya, media harus memberikan pemberitaan berimbang dan lebih menekankan pada penanganan atau solusinya.
Peran Negara
Peran Negara tentu paling besar. Sebab, pada hakikatnya negara memiliki kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta masyarakat. Berikut yang seharusnya dilakukan negara:
Pertama, menjaga suasana takwa terus hidup baik di tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan dan dakwah Islam yang dikelola negara akan memudahkan terbentuknya individu yang bertakwa dan memahami hukum-hukum agama. Hal ini dapat menjadi benteng bagi pelaku kejahatan seksual agar takut melampiaskan niat jahatnya. Tak hanya itu, semua pihak pun akan takut melakukan tindakan-tindakan yang bisa memancing munculnya gejolak seksual.
Suasana takwa juga akan memudahkan orangtua dalam memahamkan hukum-hukum fikih terkait dengan anak sehingga benteng pertahanan dari sisi anak pun tumbuh lebih kokoh. Adapun suasana takwa di masyarakat akan menumbuhkan kontrol sosial yang kuat terhadap bentuk kemunkaran apapun.
Kedua, menerapkan aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan hukum-hukum Syariah. Aturan ini di samping bertujuan untuk mencegah kemunculan gejolak seksual, juga mengelola gejolak seksual yang muncul.
Ketiga, menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Dengan jaminan seperti ini, para ibu tidak perlu bekerja sehingga bisa berkonsentrasi menjalankan tugas utamanya mendidik, memantau dan menjaga anak-anaknya.
Keempat, memelihara anak-anak terlantar seperti anak-anak jalanan yang rentan menjadi korban kejahatan seksual. Negara memiliki kekuatan untuk memaksa orang yang wajib mengasuh anak bila mampu. Bila tidak mampu, negara wajib mencarikan pengasuh yang mau bertanggung jawab, atau negara menampung dan mendidik mereka dalam rumah-rumah khusus anak yatim dan anak terlantar.
Kelima, mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat. Informasi yang dapat memunculkan gejolak seksual dan tindak kejahatan harus diberantas; termasuk di dalamnya adalah semua bentuk teori (ilmu) seperti psikologi, sosiologi dan ilmu tentang isme-isme yang semuanya bertentangan dengan Islam.
Keenam, menerapkan sanksi tegas terhadap para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pelaku sodomi harus dibunuh. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.:
مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوط فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Siapa saja yang menjumpai satu kaum yang mengerjakan perbuatan kaum Nabi Luth maka bunuhlah pelaku dan teman (kencan)-nya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Adapun pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam sampai mati bila sudah menikah. Melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman al-Maliki, 1990, hlm. 214-238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Ketujuh, merehabilitasi anak-anak korban kejahatan seksual. Mereka ditangani secara khusus untuk menghilangkan trauma dan menjauhkan mereka dari kemungkinan menjadi pelaku baru nantinya.
Penutup
Berbeda dengan solusi yang ditawarkan oleh para pakar dalam sistem sekular, solusi Islam selalu mendasarkan pada akidah Islam dan hukum Syariah yang terpancar dari akidah tersebut. Solusi Islam juga mengusung sistem bernegara sebagai wadahnya. Oleh karena itu, Khilafah Islamiyah menjadi keharusan bagi pencegahan secara tuntas masalah kejahatan seksual pada anak. [Noor Afeefa]