Pilpres tinggal menghitung hari. Berbagai langkah-langkah tentu dilakukan calon presiden (capres) dan tim untuk memenangkan pertarungan yang akan digelar 9 Juli 2014. Segala sesuatunya harus disiapkan, baik dukungan partai politik (Parpol) untuk berkoalisi, tim yang solid dan terakhir adalah pundi-pundi. Rasanya ini hal yang lumrah (mungkin) dalam pertarungan ini. Lalu adakah orang yang nekat untuk mensponsori capres?
Bukan rahasia umum, kalangan pelaku usaha atau pemilik modal besar sangat memengaruhi atau menentukan corak kehidupan bangsa ini. Hitam-putihnya wajah negara ikut ditentukan oleh sepak-terjang komunitas elit ekonomi tersebut. Sebutan lain elit ekonomi atau pelaku usaha itu adalah konglomerat. Almarhum budayawan kenamaan Kuntowidjoyo pernah menyampaikan prediksi tersebut. Konglomerat di negeri ini memegang kunci strategis dalam memengaruhi potret kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Puluhan juta rakyat Indonesia, ‘katanya’ menggantungkan kesejahteraan ekonomi kepada mereka.
Selain itu, ‘keberadaan uang’ ternyata sangat menentukan terwujud atau tidaknya sebuah koalisi partai. Apa yang disampaikan oleh Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golongan Karya Bambang Soesatyo bisa jadi menjadi jawaban. Bambang mengatakan, gabungan partai politik yang tergabung dalam koalisi membutuhkan dana besar untuk menghadapi Pemilu Presiden 9 Juli 2014. “Kampanye Pilpres tidak cukup Rp 100-200 miliar, namun butuh triliunan,” kata Bambang, Jumat (16/5/2014), di Jakarta.
Ini adalah fakta yang semakin menjelaskan kepada kita, ternyata kekuasaan sangat ditentukan oleh para pengusaha dengan modal kuat.
Pengusaha Menjelma Menjadi Penguasa
Satu fakta yang sangat menonjol yang tengah melanda partai politik di Indonesia saat ini adalah masuknya para pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Kita bisa mengabsen satu-persatu. Sebut saja, Hary Tanoe, Bos MNC Grup. Setelah sebelumnya menjadi orang kunci di Partai Nasional Demokrat (NasDem), karena perbedaan kepentingan, ia akhirnya ‘loncat’ ke Hanura. Tidak perlu basi-basi, Hanura langsung memberi dia posisi kunci, menjadi wakil ketua umum Hanura. Lebih dahsyatnya lagi, ia langsung dideklarasikan bersama Wiranto menjadi calon presiden dan wakil presiden. Mengapa Hary Tanoe dengan begitu mudah mendapat posisi kunci? Jawabannya jelas, karena dia punya modal. Walau secara ‘malu-malu’ hal ini dibantah oleh Hanura.
Selain itu ada Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup. Pada awalnya ia ingin menjajal keberuntungan dalam konvensi capres Demokrat. Namun, karena merasa tidak cocok, ia langsung loncat ke PKB. Dia pun langsung mendapat posisi strategis, menjadi wakil ketua umum PKB. Ia melangkahi barisan kader yang harus merangkak untuk mencapai posisi tersebut.
Sebelumnya sudah ada Aburizal Bakrie, Bos Bakrie Grup, menjadi ketua umum Golkar; Surya Paloh, Bos Grup Metro, menjadi ketua umum Partai Nasdem; Prabowo yang juga memiliki jaringan usaha, menjadi ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Partai lain memang tidak dipegang ‘langsung’ oleh pengusaha. Namun, tidak berarti partai-partai tersebut steril dari pengaruh para pengusaha.
Pertanyaannya, mengapa para pengusaha itu ramai-ramai masuk ke dunia politik? Sudah bukan rahasia lagi, selama ini memang terdapat simbiosis mutualitistis antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnisnya, mulai dari pengamanan infrastruktur bisnisnya, kemudahan mendapatkan proyek pembangunan, kebijakan politik yang mendukung dan bersinergi dengan ‘invasi’ bisnisnya hingga mengamankan seluruh bisnisnya; jangan sampai di tengah jalan ada kebijakan politik yang bisa ‘mengguncangkan dan memporakporandakan’ rencana bisnisnya, apalagi jika sampai ada kebijakan Pemerintah yang ‘menghambat’ atau bahkan ‘membunuh’ bisnisnya. Wajar jika jauh-jauh hari, tahun 2004 lalu, Faisal Basri pernah menyampaikan, dari segi perspektif konglomerat hitam, dalam menentukan pilihan calon presiden (capres), mereka akan memilih pasangan yang secara efektif bisa melindungi kepentingan-kepentingan mereka dan bisa melindungi segala sesuatu yang telah mereka dapatkan agar bisa berlanjut pada proses yang lebih pasti.
Statemen yang sama juga disampaikan oleh Martimus Amin (pengamat hukum dan politik dari The Indonesian Reform). Keberadaan bandar hitam ditengarai sangat mewarnai arah jagat politik Tanah Air dalam menentukan kepala negara atau pemerintahan terpilih. Tujuannya tak lain adalah membentuk pimpinan boneka untuk menyetir kebijakan negara dan pemerintahan.
Dilihat dari segi pro bisnis, yang ditakutkan para konglomerat hitam adalah kebijakan-kebijakan yang nasionalistik, antipasar, antiglobalisasi, dan sebagainya. Capres-capres yang mengumbar janji terlalu banyak pada kepentingan tenaga kerja biasanya akan masuk daftar hitam konglomerat hitam itu.
Para politikus memerlukan dukungan dana yang sangat besar untuk membiayai kegiatan politik mereka. Ada biaya-biaya untuk memasang poster, baliho-baliho, sumbangan-sumbangan. Ada biaya-untuk kampanye terbuka, blusukan-blusukan hingga untuk uang jalan tim sukses. Semua itu membutuhkan dana yag tidak sedikit. Dana sebesar itu, hanya mungkin didapatkan oleh para politikus dari para pengusaha saja.
Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini dipandang tidak praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih ringkas dan mantap jika kedudukan politik itu ada di tangan pengusaha sekaligus, atau sebaliknya jaringan bisnis dimiliki oleh seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur bila pengusahanya adalah seorang penguasa, atau penguasanya adalah seorang pengusaha. Tampaknya inilah tren atau kecenderungan yang akan mewarnai peta perpolitikan Indonesia saat ini.
Pengusaha Hitam di Lingkar Penguasa
Jejak penguasa hitam di lingkar penguasa dapat dengan mudah ‘diendus’ oleh siapapun. Sebagai misal, kita pasti masih ingat kasus yang terjadi Juli 2012. KPK menangkap Anggota Dewan Pembina Demokrat (PD) Hartati Murdaya Poo karena kasus suap Bupati Buol. Hartati, yang dikenal sebagai penyandang dana kampanye SBY, terjerat kasus suap terkait kepentingan perusahaan sawitnya di Buol, Sulawesi Tengah, PT Hardaya Inti Plantation (HIP). Ibu empat anak ini memerintahkan anak buahnya menyuap Bupati Buol Amran Batalipu agar mendapat konsensi Hak Guna Usaha (HGU) kebun sawit seluas 75 ribu hektare.
Kita pun ingat betul tentang kasus suap impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS; kasus untuk mendapatkan ‘uang segar’ yang melibatkan Presiden PKS (Luthfi Hasan Ishaaq), PT Indoguna (Elizabeth), Ahmad Fathanah dan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam upaya meminta bantuan agar bisa mendapat tambahan kuota impor daging sapi di Kementan. Sebelumnya, permohonan kuota impor daging sapi oleh PT Indoguna selalu ditolak oleh Kementan. Dari sinilah utak-atik kebijakan untuk mendapatkan uang pun terjadi. Tentu semuanya untuk kepentingan partai dan kekuasaan.
Yang lebih menggetarkan jagat perpolitikan Indonesia adalah tatkala kasus Hambalang terkuak. Tak tanggung-tanggung, kasus ini ternyata menyeret partai penguasa yang pada saat kampanye akan ‘menyeret’ koruptor. Kita pun masih ingat, ‘aktor’ iklan anti korupsi ternyata justru yang menjadi pesakitan karena korupsi, yakni Anas Urbaningrum (Ketua Partai Demokrat), Andi Malarangeng dan Angelina Sondakh. Ditambah lagi M Nazarudin (Bendahara Demokrat). Dalam persidangan terungkap, dana korupsi proyek Hambalang ternyata digunakan untuk pemilihan ketua partai dan kepentingan partai.
Selain itu, kita pun masih ingat kasus suap yang melibatkan langsung perusahaan minyak yang punya link ke perusahaan asing ke Kepala Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Dalam kasus ini ternyata terungkap bahwa SKK MIGAS, lembaga Pemerintah yang mengurusi sektor minyak dan gas, menjadi obyek perahan bagi sejumlah pejabat, politikus dan tentunya elit kekuasaan. Lembaga yang punya kewenangan membuka akses finansial dari pelbagai perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas ini ‘dipaksa’ menggelontorkan uang haram ke pejabat yang alasannya untuk ‘tunjangan hari raya’.
Dalam pengembangan kasus yang menjerat mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, terungkap pula kasus korupsi terkait pembahasan anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ketua Komisi VII DPR yang juga pengurus teras partai Demokrat, Sutan Bhatoegana menjadi tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sekali lagi, uang korupsi digunakan untuk kepentingan penguasa baik untuk pribadi maupun partainya.
Dalam skala yang lebih besar dan internasional, kita juga masih ingat dalam kasus blok kaya minyak Cepu, ExxonMobil. Perusahaan minyak raksasa dunia yang total sales-nya saja lebih besar dari GDP Indonesia ini, seperti ditulis Kwik Kian Gie (Kompas, 23/2/2006), bisa memaksa Pemerintah AS untuk ikut campur tangan agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce dan Presiden Bush. Kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang bersamaan dengan panasnya penentuan operator Blok Cepu, juga bukan sebuah kebetulan meskipun Menko Perekonomian Boediono membantah ada intervensi atau tekanan (Kompas, 16 Maret 2006).
Swasta dan Asing Jadi Prioritas
Melihat sepak terjang pengusaha hitam yang begitu mencengkeram para penguasa atau penguasa yang mempunyai gurita bisnis, jelas ini akan sangat membahayakan kehidupan negeri ini. Kepentingan swasta dan asing diduga kuat akan menjadi prioritas penguasa daripada kepentingan rakyat.
Hal ini bisa kita indra secara gamblang. Misalnya, belum juga menjadi presiden, ternyata Jokowi sudah ‘sowan’ ke beberapa Dubes Asing, di antaranya dubes Amerika, Turki, Meksiko, Norwegia, dan Inggris, pada Senin malam (14/4). Menyikapi hal ini, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menegaskan, bagaimana Indonesia bisa berharap ada kemandirian dan kedaulatan atas negeri ini jika presidennya saja bergantung pada pihak asing. Ismail menambahkan, pertemuan tersebut tidak bisa dianggap hanya ramah tamah biasa. Pasalnya, PDI-P adalah pemenang Pemilu dan Jokowi calon presiden. Diduga keras pertemuan ini terkait dengan upaya Jokowi untuk mendapat restu negara asing, terutama Barat. Ditambah lagi, sebelumnya Jokowi juga menyatakan akan menghapus subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun. Padahal kita semua tahu, penghapusan subsidi BBM adalah rekomendasi dari IMF untuk meliberalisasi sektor migas dan mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan membuka kran ‘peran’ swasta asing dalam bisnis migas di bagian hilir, setelah sebelumnya melalui UU Migas membuka selebar-lebarnya kesempatan asing untuk mengeruk MIGAS di sektor hulu.
Ketundukan Jokowi terhadap Amerika sudah tampak sebelumnya, yakni saat Gubernur DKI itu memberikan izin (IMB) untuk pembangunan kantor Dubes Amerika yang baru. Padahal Kedubes AS yang berlantai sepuluh dengan luas 3,6 hektar akan menjadi markas intelijen Amerika terbesar di Asia Tenggara. Jadi, sikap nasionalisme yang sering didengung-dengungkan elit-elit partai nasionalis, hanya jadi pemanis bibir saja. Padahal pada faktanya, tidak ada nasionalisme. Yang ada hanya kepentingan elit politik partai dan pemilik modal besar.
Selain itu, selama kampanye legislatif/presiden dan pembicaraan koalisi partai, hampir semua calon legislatif/presiden tidak ada yang secara vulgar mengkritik dan berupaya mengganti Kapitalisme serta melawan hegemoni Amerika. Memang, ada statemen dari para calon presiden yang mengatakan akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdiri dengan kaki sendiri dan tidak tunduk pada kekuatan asing. Namun, itu lebih bersifat kalimat untuk ‘konsumsi kampanye’ saja. Realitasnya jauh panggang dari api. Bagaimana manuver pengusaha hitam baik dari swasta Indonesia dan asing di atas telah menjadi bukti otentik yang tidak terbantahkan. Sudah cukup bukti, penguasa menghamba pada kepentingan pengusaha hitam dan asing.
Indonesia: Negara Korporasi
Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke depan Indonesia pasti menjadi negara korporasi. Negara ini tak ubahnya seperti perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. Di Indonesia, Pemilu 2014 bakal menjadi pintu utamanya.
Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini berada di pucuk pimpinan sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan, maka perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja nanti, keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang duduk di parlemen pun kelak hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. Bila sebelum ini telah lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU semacam itu akan lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan dan kesenjangan kaya-miskin yang makin lebar. [Gus Uwik]