HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Qadhi al-Mazhâlim

Al-Mazhâlim, bentuk plural dari mazhlimah atau mazhlamah, merupakan bentukan dari zhalama – yazhlimu – zhulman. Azh-Zhulmu arti asalnya adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab; Abu al-Abbas al-Fayyumi, Mishbâh al-Munîr).

Adapun al-mazhlimah, menurut Abu al-Baqa’, adalah bagian yang di situ terjadi kezaliman. Al-Mazhlimah itu bukan merupakan mashdar, tetapi merupakan isim dengan makna sesuatu yang dizalimkan (Al-Minawi, At-Ta’ârif). Menurut as-Sibawaih, al-mazhlimah adalah apa yang Anda tuntut pada diri orang yang zalim dan itu adalah isim (sebutan) apa yang diambil dari Anda (Ibn Sayidih, Al-Mukhashish; Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab). Tentu tidak semua yang diambil dari seseorang adalah kezaliman. Yang merupakan kezaliman adalah apa yang diambil dari seseorang secara zalim (Mu’jam al-Wasith; Muhammad Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lugah al-Fuqaha’). Itu diambil dari ungkapan: ‘Inda fulân mazhlimatî wa zhalâmatî (Hakku dia ambil dariku secara zalim (Al-Mathrazi, Al-Mughrib).

Dengan demikian tindakan yang termasuk al-mazhlimah adalah semua tindakan yang tidak haq atau tidak dibenarkan syariah yang menyebabkan terambilnya hak seseorang atau menyebabkan tidak diperolehnya apa yang menjadi haknya. Al-Mazhlimah itu di antaranya: mengambil hak orang tanpa dibenarkan; tidak memberikan hak atau menghalangi hak dari pemilik hak itu.

Semua bentuk al-mazhlimah adalah haram berdasarkan nas al-Quran, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Menghilangkan kezaliman adalah wajib secara syar’i atas kaum Muslim dan fardhu ‘ain atas khalifah atau imam yang diangkat untuk menjaga agama dan dunia, menegakkan keadilan serta menghilangkan kezaliman dan permusuhan (Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah). Dalam hal itu, khalifah bisa melakukannya sendiri. Khalifah juga bisa mengangkat orang lain untuk mengadili dan menetapkan keputusan hukum dalam perkara al-mazhlimah itu. Untuk kezaliman di antara sesama idividu masyarakat, lebih disebut an-nizâ’ât dan kasus-kasus itu ditangani oleh qadhi al-khushumât atau al-qadhi. Adapun al-mazhlimah dari negara dan aparaturnya, termasuk perselisihan antara rakyat dengan negara, lebih disebut al-mazhlimah dan diadili oleh qadhi tersendiri yang disebut qadhi al-mazhâlim.

Pada masa Rasul saw, al-mazhlimah yang terjadi diperiksa dan diputuskan oleh beliau sendiri. Setelah Rasul saw., tugas itu dilaksanakan sendiri oleh Khulafaur Rasyidin dan dilakukan ketika kasus itu terjadi, tanpa ditentukan waktu khusus dan uslub tertentu. Baru pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia menetapkan hari tertentu dan uslub tertentu untuk memeriksa berbagai mazhlimah yang diajukan. Abdul Malik bin Marwan tidak langsung memutuskan. Jika ia memerlukan keputusan hukum, hal itu akan ia sampaikan kepada qadhi-nya yaitu Abu Idris al-Azadi. Jadi Abu Idris-lah yang menjadi qadhi al-mazhâlim kala itu.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia sendirilah yang melaksanakan tugas itu. Ia mengembalikan berbagai mazhlimah yang dilakukan oleh Bani Umayah kepada yang berhak. Kemudian pada masa Khilafah Abbasiyah, para khalifah melakukan sendiri tugas itu dan menentukan waktu khusus untuknya, mulai al-Mahdi, lalu al-Hadi, berikutnya ar-Rasyid, kemudian al-Ma’mun dan yang terakhir adalah al-Muhtadi. Baru pada pertengahan masa Khilafah Abbasiyah, Khalifah mendelegasikan pemeriksaan dan pengadilan al-mazhlimah itu kepada qadhi khusus. Sejak saat itulah, qadhi al-mazhâlim menjadi struktur tersendiri di bawah Khalifah dan terus menjadi bagian dari struktur Khilafah.

Pada awalnya, pemeriksaan mazhâlim dilakukan di tempat Khalifah di Dar al-Khilâfah, atau di tempat wali atau di masjid. Ketika dibentuk struktur tersendiri, maka dikhususkanlah tempat tertentu yang bisa dijadikan tujuan bagi orang yang ingin mengadukan suatu mazhlimah. Di tempat itu juga dilakukan pemeriksaan perkara mazhlimah yang diadukan dan pihak-pihak yang berhubungan dikumpulkan. Ath-Thabari menyebutkan bahwa pada masa Abbasiyah, dikhususkan tempat untuk mazhâlim di Baghdad. Kemudian Sultan Nuruddin Mahmud bin Zanki membangun Dar al-‘Adl di Damaskus untuk mengungkap berbagai mazhlimah disebabkan kezaliman yang terjadi dari sebagian amir masyarakat. Ia pun memberikan keadilan kepada rakyat dari para wuzara dan amir. Di Mesir Azh-Zhahir Baybars juga mendirikan Dar al-‘Adl dan memutuskan mazhlimah yang terjadi dan memberikan keadilan kepada orang yang dizalimi dan memberikan hak kepada yang berhak (Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, bagian al-mazhâlim).

Sultan al-Malik Shalih Ayyub menunjuk para wakilnya di Dar al-‘Adl, mereka diangkat untuk menghilangkan mazhâlim. Bersama mereka ada para saksi, para qadhi dan fuqaha (Al-Maqrizi, as-Sulûk ilâ Ma’rifati Duwal al-Mulûk).

Dengan demikian qadhi al-mazhâlim adalah qadhi yang diangkat oleh Khalifah untuk menghilangkan semua mazhlimah yang terjadi di negara atau terjadi dari negara terhadap seseorang yang hidup di bawah kekuasaan negara; baik rakyat negara atau bukan; baik mazhlimah itu terjadi dari khalifah atau selain khalifah di antara para penguasa dan pegawai atau aparatur negara.

Dasar adanya qadhi al-mazhâlim adalah al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Dalil al-Quran, Allah SWT berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Perselisihan di sini juga mencakup perselisihan rakyat dengan ulil amri, yakni dengan pemerintah, negara, pegawai dan aparaturnya. Perselisihan itu harus dikembali-kan kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu mengha-ruskan adanya qadhi yang memutuskan dalam perkara itu. Dialah qadhi al-mazhâlim.

Di dalam as-Sunnah, Anas bin Malik menuturkan:

غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ سَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ إِنَّ الله هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلا مَالٍ

Harga membubung pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka (para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, tetapkan (patok)-lah harga untuk kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha menetapkan harga, Yang menggenggam, Yang melapangkan dan Yang Maha memberi rizki. Aku sungguh berharap bertemu Rabb-ku, sementara tidak seorang pun dari kalian menuntut aku dengan kezaliman (mazhlimah) dalam hal darah dan tidak pula harta.” (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, ad-Darimi, Ahmad dan al-Baihaqi).

Dalam hadis ini, Rasul saw. menetapkan pematokan harga sebagai mazhlimah. Andai beliau melakukan itu, berarti beliau melakukan sesuatu yang bukan hak atau kewenangannya. Ini sekaligus menjadi dasar penyebutan kezaliman yang terjadi dari penguasa, negara dan pegawainya sebagai mazhlimah.

Rasul saw. juga menjadikan perkara yang terjadi pada hak-hak umum yang diatur negara untuk masyarakat, pemeriksaan dalam masalah itu termasuk mazhâlim, seperti pengaturan pengairan dari irigasi umum. Dalam hal ini, Rasul pernah memutuskan perselisihan Zubair bin al-‘Awam dengan seorang Anshar dalam masalah giliran pengairan.

Adapun Ijmak Sahabat jelas telah terjadi, bahwa Khalifah berhak secara langsung memeriksa dan memutuskan kasus-kasus mazhlimah yang terjadi dari penguasa atau pegawai negara, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib. Para sahabat tidak ada yang mengingkari tindakan keduanya. Ini menunjukkan Ijmak Sahabat tentang hal itu. Jika itu adalah bagian dari wewenang Khalifah, maka Khalifah boleh mengangkat orang tertentu untuk melasanakannya dengan pendelegasian darinya. Orang yang ditunjuk dalam masalah itu adalah qadhi al-mazhâlim.

Qadhi al-mazhâlim memiliki wewenang untuk mencopot dan memecat penguasa termasuk Khalifah, tentu menurut ketentuan syariah tentang hal itu. Pemecatan dan pencopotan itu merupakan bagian dari bentuk menghilangkan mazhlimah. Qadhi al-mazhâlim juga berwenang memeriksa dan menghilangkan semua bentuk mazhlimah, baik terkait dengan person yang ada di struktur negara; atau berkaitan dengan pelanggaran Khalifah terhadap hukum syariah; berkaitan dengan makna teks tasyri’ di dalam konstitusi, UU dan seluruh hukum syariah dalam cakupan tabanni (adopsi) Khalifah; atau berkaitan dengan pengutan dharibah (pajak), dan pungutan lainnya; kezaliman dalam pungutan harta; pengurangan atau penundaan gaji pegawai negara atau tentara; keburukan pelayanan publik; dan semua mazhlimah lainnya.

Dalam memeriksa semua itu, qadhi al-mazhâlim tidak dibatasi oleh tempat, waktu dan adanya tuntutan. Qadhi al-mazhâlim berwenang memeriksa dan mengadili mazhlimah kapan saja, di mana saja, ketika ada yang menuntut ataupun ketika qadhi mengetahui mazhlimah itu terjadi. [Yoyok Rudianto/Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*