HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Relasi Iran-Saudi: Mengapa Saudi Berubah Sikap?

Beberapa media mengungkap keinginan Saudi untuk memperbaiki hubungan dengan Iran. Di tengah kunjungan Menhan Amerika Chuck Hagel, Menlu Saudi Pangeran Saud al-Faisal, Selasa (13/5/2014), menyatakan, “Iran adalah negara tetangga. Kami memiliki hubungan dengan mereka.”

Relasi Iran-Saudi berjalan pasang-surut. Pada tahun 1929 Iran dan Kerajaan Saudi menandatangani Saudi-Iran Friendship Treaty. Pada tahun 1966, Raja Faisal dari Saudi mengunjungi Iran untuk memperkokoh hubungan kedua negara. Shah Iran pun melakukan kunjungan balasan. Kedua Negara juga terlibat aktif dalam pembentukan lembaga-lembaga solidaritas Islam seperti Liga Muslim Dunia dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Perjanjian demarkasi penting ditandatangani pada tahun 1968. Menyusul pengumuman Inggris untuk mundur dari Teluk Persia pada akhir 1960-an, Iran dan Saudi pun mengambil alih tanggung jawab perdamaian regional.

Hubungan dua negara itu kembali memanas, terutama setelah pecahnya Revolusi Iran pada tahun 1979. Khomeini saat itu secara terbuka mengkritik legitimasi agama rezim Saudi. Sebaliknya, Saudi menganggap Khoimeni dengan ajaran Syiahnya akan mengancam stabilitas regional Timur Tengah. Iran dituding ingin mengekspor Revolusi Iran. Saat itu Isu konflik Sunni-Syiah menguat.

Lebih kurang tiga tahun belakangan ini hubungan Iran-Saudi kembali menegang di tengah pergolakan regional. Saudi mengkhawatirkan perkembangan program nuklir Iran yang dianggap akan mengancam Saudi. Perang Suriah juga membuat dua negara ini berhadap-hadapan. Riyadh diklaim mendukung kelompok perlawanan/oposisi, sementara Taheran secara terbuka mengerahkan segala kemampuannya untuk mempertahankan posisi Bashar Asad, termasuk memobilisasi Hizbullah dari Lebanon. Apa yang sebenarnya mempengaruhi kebijakan dua negara ini?

Penting dipahami, Saudi dan Iran bukanlah dua negara yang independen. Manuver kedua negara dipengaruhi oleh negara payungnya. Keamanan elit-elit keluarga Saudi sangat bergantung kepada negara Barat terutama Amerika dan Inggris. Sikap Saudi akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik Amerika atau Inggris di kawasan itu. Sebab, Kerajaan Saudi pada prinsipnya dikontrol oleh dua negara ini secara bergantian. Sederhana, untuk membaca kebijakan Saudi bacalah kebijakan Amerika dan Inggris!

Dari sini kita bisa memahami mengapa Saudi berubah sikap terhadap Ikhwanul Muslimin. Sebelumnya Saudi sangat ‘welcome’ terhadap Ikhwan. Beberapa aktifis Ikhwan pun bergerak leluasa di Saudi. Namun, naiknya as-Sisi yang mengkudeta Mursi membuat Saudi berubah arah. Ikhwan pun dimasukkan dalam kelompok teroris. Sikap ini tidak lain untuk memperkuat kebijakan Amerika di Mesir yang mendukung penuh Jenderal as-Sisi untuk menyikat potensi gerakan Islam.

Dalam Perang Afganistan (1975-1998), kebijakan Saudi terhadap kawasan tersebut juga undercontrol Amerika. Amerika saat itu menganggap penting untuk menjebak Soviet masuk dalam kubangan perang Afganistan. Tujuannya untuk menguras sumberdaya Soviet. Karena itu perang harus berlangsung lama dengan perlawanan yang kuat. Dalam posisi seperti ini bantuan Saudi menjadi penting untuk mem-back-up perlawanan terhadap Soviet. Perang Afganistan pun memberikan sumbangan penting bagi tumbangnya imperium komunis Soviet.

Dalam Perang Irak (1991 dan 2003), peran Saudi penting untuk memuluskan kebijakan Amerika pasca ‘coldwar’ (perang dingin). Amerika ingin menjadi pemimpin tunggal dunia dalam strategi unipolar. Negara itu tidak menginginkan eksistensi negara lain yang berpotensi untuk menjadi pemimpin baru dunia.

Kawasan Timur Tengah menjadi sangat penting bagi Amerika. Selain untuk melemahkan peran tradisional Inggris, Amerika ingin mendapatkan garansi penuh suplay minyak murah dari negara-negara Teluk. Invasi Irak ke Kuwait menjadi jalan masuk Amerika untuk mengokohkan kedudukan politiknya dengan membangun pangkalan militer di kawasan tersebut termasuk di Saudi.

Tidak hanya itu, negara-negara Teluk termasuk Saudi juga diminta untuk membiaya Perang Irak. Bagi Amerika ‘No Free Lunch’, tidak ada makan siang gratis. Dengan alasan telah melindungi Kuwait dan negara-negara Arab, Amerika meminta Saudi untuk menutupi biaya perang sebesar 36 miliar US dollar.

Dalam konflik di Suriah, kebijakan Amerika sangat jelas, menggantikan Bashar Assad dengan rezim yang masih bisa dikontrol Amerika. Justru di situ persoalannya. Hingga saat ini belum ada pengganti Assad yang bisa diterima oleh Amerika dan juga kelompok perlawanan. Di sisi lain Amerika tidak ingin mengambil risiko dengan keberadaan kelompok mujahidin yang menginginkan penegakan syariah Islam dan Khilafah, yang jelas-jelas akan mengancam kepentingan jangka panjang Amerika, bukan hanya di Timur Tengah tapi juga dunia.

Tidak mengherankan, Amerika meskipun dalam retorika politiknya tampak berseberangan dengan Bashar, pada hakikatnya ingin tetap mempertahankan rezim Bashar. Untuk itu Amerika membiarkan Rusia dan Iran secara terbuka membantu Bashar. Kalaulah tidak ada dukungan Rusia dan Iran dengan Hizbullah-nya dari Lebanon, Bashar akan lebih mudah jatuh.

Namun, Amerika juga tidak menginginkan keberadaan kelompok pejuang berseberangan dengan kepentingannya. Dalam konteks ini, Amerika menggunakan Saudi untuk membentuk dan membantu kelompok perlawanan yang diharapkan bisa dikontrol oleh Saudi ke depan. Saudi juga menanamkan pengaruhnya pada Koalisi Nasional Suriah untuk meminimalisai peran Inggris yang bermain lewat Qatar. Melalui Saudi, Amerika mengarahkan aliran senjata kepada kelompok pendukung Paman Sam.

Berkaitan dengan isu nuklir Iran, Amerika tidak akan sungguh-sungguh menghancurkan program nuklir negara mullah tersebut. Amerika hanya mengontrol agar program nuklir Iran tidak mengarah pada kemampuan senjata nuklir. Amerika juga berusaha keras menyakinkan Israel untuk tidak khawatir dan menyerang Iran. Isu nuklir Iran dimanfaatkan dengan baik oleh Amerika sebagai faktor pengancam (threat factor)   di kawasan itu. Faktor ini akan mengikat negara-negara teluk termasuk Saudi untuk berlindung payung keamanan (security umbrella) Amerika.

AdapunIran, politik luar negerinya berjalan bersama Amerika. Iran sadar betul arti dari langkah yang dia tempuh dan mengetahui batasan-batasannya sehingga ia tidak akan melanggarnya. Kalau Iran meninggikan intonasi seruan, maka itu untuk menyesatkan atau menutupi fakta, seperti yang terjadi di era Ahmadinejad yang terlihat jelas memberikan pelayanan besar bagi Amerika di Afganistan, Irak dan Suriah. Oleh karena itu, Amerika melihat rezim di Iran sebagai pelayan yang begitu setia melayani kepentingannya. Dengan itu lembaga pembuat keputusan di Amerika tidak terlihat menyerukan untuk berusaha mengubah rezim.

Inilah apa yang dinyatakan oleh Robert Gates, pada tanggal 12 Desember 2008, dalam Konferensi Keamanan Internasional di Bahrain tentang hubungan antara Amerika dan Iran, serta kewajiban Amerika pada Iran. Ia berkata, “Tidak seorang pun yang berusaha untuk mengubah rezim di Iran. Adapun kewajiban kami dalam hal ini adalah menciptakan perubahan politik dan sikap sehingga Iran menjadi tetangga yang baik bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah, daripada Iran menjadi sumber ketidakstabilan dan kekerasan.” [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*