Bangsa ini sejatinya telah lima kali berganti pemimpin. Namun, kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat belum tercapai sebagaimana diharapkan. Mulai rezim Orde Lama disusul rezim Orde Baru sampai era reformasi, kemiskinan masih terus mendera rakyat banyak. Utang luar negeri terus menumpuk. Ironisnya, semasa reformasi perilaku korupsi serta manipulasi anggaran terus berlangsung di kalangan pejabat publik. Padahal janji kesejahteraan dan perbaikan negara ke arah lebih baik dari para calon pemimpin saat kampanye, berlangsung secara masif. Namun setelah terpilih sebagai pemimpin nomor satu, janji kesejahteraan dan perbaikan negeri ini tinggal slogan kosong.
Sulitnya mencari sosok ideal kepala negara untuk mendedikasikan bagi perbaikan negeri ke arah yang lebih baik bukanlah semata-mata karena persoalan integritas individual dari para calon kepala negara, tetapi juga karena landasan ideologis dan sistem ketatanegaraan yang mendasari lahirnya para calon pemimpin itu sendiri. Landasan ideologis yang mengkooptasi sistem ketatanegaraan kita masih disangga oleh kapitalisme sekular dengan sistem demokrasinya.
Ideologi kapitalisme sekular menihilkan peran agama dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Negara diarahkan oleh kepentingan modal (kaum kapitalis) atas nama demokrasi. Karena itu, pemimpin dalam sistem demokrasi sejatinya menjalankan roda pemerintahan bukanlah berdasar keberpihakan rakyat, tetapi untuk kepentingan para elit dan kroni yang berkuasa, termasuk kepentingan pemilik modal.
Penyelenggaraan pemerintahan berbasis ideologi kapitalisme sekular melalui modus sistem demokrasi juga menjadikan pemimpinnya abai terhadap nilai-nilai spiritual. Orientasi penyelenggaraan pemerintahan semata-mata bertumpu pada pragmatisme dan keuntungan materialistik. Akibatnya, lahirlah sosok pemimpin yang tidak mempedulikan agama sebagai tolok ukur tatkala menyelenggarakan roda pemerintahan.
Karena itu, memang kita tidak bisa berharap banyak kepada kepala negara yang lahir dari sistem demokrasi untuk membawa arus perubahan perbaikan nasib rakyat dan negara yang lebih baik.
Tentu sangat berbeda dengan sosok kepala negara yang lahir dari sistem pemerintahan Islam dengan model Kekhilafahan. Khalifah, kepala negara yang memerintah dalam sistem kekhilafahan Islam, sudah pasti memberikan kesejahteraan serta perbaikan nasib rakyat. Pasalnya, Khalifah wajib menjadi pelayan mengurus kepentingan rakyat. Bila ia melalaikan kewajibannya mengurusi kepentingan rakyat berdasarkan tuntunan syariah, ia dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Mahkamah Pengadilan Akhirat kelak. [Muhammad Sjaiful; Dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari]