Soal:
Apa sebenarnya batasan i’tikaf? Bagaimana hukum i’tikaf; benarkah sunah, atau mubah saja, sebagaimana yang dinyatakan Imam Malik? Di manakah i’tikaf harus dilakukan? Haruskah di masjid atau tempat lain? Lalu bagaimana dengan perempuan yang hendak melakukan i’tikaf?
Jawab:
Secara harfiah, i’tikaf adalah lazima (terikat) dan habasa an-nafsa ‘alayh (menahan diri pada), sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran:
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ
Merekalah orang-orang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)-nya (QS al-Fath [48]: 25).
Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu dengan ciri-ciri tertentu disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata i’tikaf, jiwar (diam) atau mujawarah (mendiami) masjid mempunyai konotasi yang sama. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dan Ahmad dari ‘Aisyah ra. berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَيَقَُوْلُ: تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Rasulullah saw melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan bersabda, “Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.”
Karena itu, tidak tepat jika dibedakan antara i’tikaf dengan jiwar dan mujawarah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari ‘Atha’ bin Rabbah, bahwa i’tikaf itu dilakukan di dalam masjid, sedangkan jiwar dilakukan di pintu masjid (Hadis No. 8003). Dalam Lisan al-‘Arab, Mukhtar as-Shihhah, dan Qamus al-Muhith dinyatakan, bahwa mujawarah adalah i’tikaf di masjid.
Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan sunnah fi’liyyah Nabi saw. yang dituturkan oleh ‘Aisyah ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya Nabi saw. telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad)
Perbuatan Nabi saw. ini hukumnya sunnah, karena dalam hadis lain beliau menyatakan:
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ، فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَه
Siapa saja di antara kalian yang ingin melakukan i’tikaf, beri’tikaflah. Lalu orang-orang pun melakukan i’tikaf bersama beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Malik dan Ahmad).
Dari sini jelas, bahwa hukum i’tikaf di masjid adalah sunnah. Mengenai pendapat yang dinisbatkan kepada mazhab Maliki, bahwa hukumnya hanya mubah saja, maka pendapat ini ditentang oleh pengikut mazhab Maliki yang lain, bahkan oleh Imam Malik sendiri. Ibn al-‘Arabi menyatakan, bahwa i’tikaf hukumnya sunnah mu’akkadah. Dalam kitab Al-Muwatha’, Imam Malik juga menyatakan, bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah. Karena itu, Ibn Hajar menukil pernyataan Imam Ahmad, bahwa “Saya tidak tahu ada seorang ulama yang berbeda mengenai hukum i’tikaf tersebut sunnah.”
Di manakah i’tikaf dilakukan? Nas al-Quran maupun hadis memberikan penjelasan. Allah SWT berfirman:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah kalian menggauli mereka (para istri), sedangkan kamu beri’tikaf di masjid (QS al-Baqarah [02]: 187)
Dalam kitab Fath al-Bari, Ibn Hajar menyatakan, “Para ulama sepakat tentang masjid dijadikan sebagai syarat untuk melakukan i’tikaf, kecuali Muhammad bin Lubabah, pengikut mazhab Maliki. Dia membolehkan i’tikaf di mana saja. Mazhab Hanafi membolehkan perempuan untuk i’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang digunakan untuk shalat di rumah. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Qawl Qadim Imam Syafii. Dalam satu pendapat pengikut mazhab Syafii dan Maliki, pria dan wanita dibolehkan untuk melakukan i’tikaf di rumah, karena ibadah sunnah lebih baik dilakukan di rumah. Adapun Abu Hanifah dan Ahmad menegaskan, bahwa i’tikaf secara khusus harus dilakukan di masjid yang digunakan shalat. Abu Yusuf menyatakan, bahwa itu hanya khusus untuk i’tikaf wajib, sedangkan i’tikaf sunnah bisa di masjid mana saja. Jumhur ulama secara umum menyatakan, i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, kecuali orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat. Imam Syafii menyatakan, bahwa lebih disukai dikerjakan di masjid Jami’. Imam Malik, bahkan menjadikan ini sebagai syarat i’tikaf. Sebab, keduanya menyatakan, bahwa i’tikaf ini dianggap terputus dengan mengerjakan shalat Jumat.”
Yang tepat, i’tikaf harus dilakukan di masjid; masjid manapun, apakah masjid kecil, besar ataupun masjid Jami’. Mengenai kebolehan i’tikaf dikerjakan di mana saja, maka pendapat seperti ini tidak ada nilainya karena tidak didukung dengan satu dalil pun.
Lalu kapan i’tikaf dilakukan? Jawabannya, bisa dilakukan kapan saja. Mengenai i’tikaf Rasulullah saw. yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tak lain hanya menunjukkan kesunnahan (nadb) atau keutamaan (afdhaliyyah) saja, tidak lebih. Pasalnya, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk menunjukkan, bahwa i’tikaf harus dilakukan pada waktu tersebut.
Mengenai kapan i’tikaf dimulai? Imam al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, al-Laits dan Ahmad berpendapat, bahwa kalau seseorang hendak melakukan i’tikaf, maka dia shalat subuh, kemudian masuk ke tempat i’tikaf-nya. Yyang lain, yaitu Imam Ahmad, menyatakan, jika seseorang ingin melakukan i’tikaf, maka dia harus memasuki tempat i’tikaf-nya sebelum matahari tenggelam. Dari kedua pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat pertama, karena Nabi saw. melakukan i’tikaf-nya dimulai dengan shalat subuh, lalu memasuki tempat i’tikaf beliau.
Mengenai berapa lama i’tikaf ini layak disebut i’tikaf? Mazhab Hanafi menyatakan, i’tikaf minimal sehari. Mazhab Maliki menyatakan, minimal sehari semalam. Imam Syafii, Ahmad dan Ishaq bin Rahawih menyatakan, bahwa ukuran minimalnya adalah apa saja yang layak disebut berdiam diri (lubts), dan tidak disyaratkan harus duduk. Pendapat yang terakhir inilah yang paling tepat, sedangkan yang lain adalah batasan yang tidak disertai dalil. Dengan demikian, batasan i’tikaf tersebut tetap bersifat mutlak.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan i’tikaf? Para ulama’ sepakat, bahwa orang yang melakukan i’tikaf boleh keluar dari masjid untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak seperti kencing, buang air besar, muntah, mandi, wudhu dan sejenisnya. Jika dia melakukan hal-hal ini, maka i’tikaf-nya tidak batal.
Namun, di luar itu, para ulama’ berbeda pendepat. Imam at-Tsauri, as-Syafii dan Ahmad menyatakan, bahwa orang yang ber-i’tikaf boleh keluar untuk menjenguk orang sakit dan shalat jenazah, baik i’tikaf wajib seperti nazar, atau tidak wajib, jika ditetapkan sejak awal sebagai syarat. Ishaq bin Rahawih sepakat dengan mereka dalam konteks i’tikaf sunnah, tetapi tidak dengan i’tikaf wajib. Karena menurut beliau, dalam i’tikaf wajib hal itu bisa membatalkan i’tikaf-nya. Adapun Imam Malik dan al-Auza’i menyatakan, “Di dalam i’tikaf tidak ada syarat.”
Said bin Jubair, al-Hasan, an-Nakha’i dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan, bahwa orang yang ber-i’tikaf boleh menjenguk orang sakit dan mengikuti shalat jenazah, tanpa harus dikaitkan dengan syarat sebelumnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari ‘Ali. Ibn Hazm juga menyatakan, “Tiap perkara yang wajib bagi kaum Muslim, maka i’tikaf tidak bisa menghalanginya, sehingga dia boleh keluar untuk menunaikannya. Itu tidak membahayakan i’tikaf-nya.”
Hal yang sama dinyatakan oleh Ibn Qudamah, “Dia boleh keluar untuk menunaikan apa yang diwajibkan oleh Allah kepada dirinya. Dia boleh keluar (masjid) untuk mencari makan dan minum, jika tidak ada yang menyediakan.”
Abu Hanifah, Malik dan Syafii menyatakan, “Secara mutlak, orang yang ber-i’tikaf tidak boleh keluar (meninggalkan masjid). Jika dia keluar, maka i’tikaf-nya batal, meski hanya sebentar.”
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid Abu Hanifah, menyatakan, “Tidak membatalkan, kecuali jika lebih dari setengah hari, karena (keluar) sebentar itu ditoleransi.”
Mereka juga berbeda pendapat tentang shalat Jumat, jika i’tikaf-nya dilakukan di dalam masjid yang tidak digunakan shalat Jumat. Abu Hanifah, Malik dan Ahmad menyatakan, bahwa keluar untuk melakukan shalat Jumat dibolehkan, dan i’tikaf-nya tidak batal. AdapunImam Syafii mempunyai dua pendapat, yang paling tepat menyatakan, “I’tikaf-nya batal, jika dia keluar untuk shalat Jumat; kecuali jika itu dinyatakan sebagai syarat di awal. Kemudian dia memulai lagi i’tikaf-nya.”
Adapun shalat Jumat di dalam tempat i’tikaf, atau masjid tempatnya ber-i’tikaf, maka semuanya sepakat, bahwa itu tidak membatalkan i’tikaf -nya.
Tentang i’tikaf kaum perempuan, maka hukumnya sama dengan i’tikaf kaum pria. ‘Aisyah ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكِفُ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya Nabi saw. telah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir ulan Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Ini membuktikan, bahwa wanita boleh i’tikaf, tentu dengan tempat yang terpisah dari kaum pria; jika perempuan tersebut melakukan i’tikaf bersama-sama suaminya. Jika tidak, maka dia harus meminta izin suaminya. Suami juga boleh mengizinkan, boleh juga tidak. Karena i’tikaf ini hukumnya sunnah. Kalau saja hukumnya wajib bagi wanita tersebut, maka suaminya tidak boleh melarang dia. [KH. Hafidz Abdurrahman]
bisa ditambahkan tombol share untuk google plus?
thanks
jazakumullah ustadz, sangat jelas sekali penjelasannya..
Mohon tambahkan tombol cetak (print) seperti dulu…
BAGUS, KARENA RINGKAS DAN JELAS.
BEGITU KALAU MENULIS HAL IHWAL AGAMA