Kata imârah bentuk jamaknya imârât. Kata ini berasal dari amara–ya’muru–amr[an] wa imâr[an] wa imârat[an].
Menurut al-Khalil bin Ahmad dalam Kitâb al-’Ayn, al-imârah adalah amir[un] muammar[un] (amir yang diberi hak perintah untuk ditaati).
Al-Jauhari dalam Ash-Shihah fî al-Lughah dan al-Minawi dalam At-Ta’ârif mengartikan imârah dengan al-wilâyah (pemerintahan atau kekuasaan yang mengurusi urusan).
Dalam Mu’jam al-Wasîth dan Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ Rawas Qal’ah Ji disebutkan, imârah bermakna jabatan amir dan wilayah yang diperintah oleh amir.
Shâhib al-imârah (pemegang imârah), seperti dikatakan oleh Ibrahim bin Ishhaq dalam Gharîb al-Hadîts, disebut amir. Amir adalah orang yang memegang imarah atau orang yang memegang urusan satu kaum.
Jadi, imârah adalah wewenang menangani, memerintah dan melarang atas urusan kelompok yang dihimpun oleh urusan bersama. Kata amir bersifat umum mencakup amir safar hingga amirul mukminin. Namun, para fukaha lebih banyak menggunakan kata imârah untuk imârah tentang urusan publik mulai dari amirul mukminin hingga amir di bawahnya.
Jadi, imârah sering dikonotasikan dengan jabatan publik dalam struktur daulah baik amirul mukminin, wali, ‘amil, amir jihad, amir pasukan, amirul hajj, qadha’ dan pejabat publik lainnya.
Hukum Imârah
Merealisasi imârah dan mengangkat amir adalah wajib. Rasul saw. bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal tiga orang yang ada di tanah lapang kecuali mereka mengangkat seorang amir untuk mereka (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Asy-Syaukani menjelaskan, “Di dalamnya ada dalil bahwa disyariatkan untuk tiap kelompok minimal tiga orang agar mengangkat seorang amir dari mereka, sebab di situ ada keselamatan dari perselisihan yang mengantarkan pada kesirnaan….”
Ia menambahkan, “Ini disyariatkan untuk tiga orang yang ada di tanah lapang atau melakukan safar. Tentu pensyariatannya untuk jumlah yang lebih banyak—yang tinggal di kampung dan berbagai penjuru, sementara mereka perlu untuk mencegah saling menzalimi dan menyelesaikan persengketa-an—lebih utama lagi.” (Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, VIII/256).
Ibn Taimiyah menyatakan, “Jadi Rasul saw. mewajibkan pengangkatan seorang amir dalam perkumpulan kecil yang melakukan safar sebagai peringatan atas semua jenis perkumpulan.” (Ibn Taimiyah, as-Siyâsah asy-Syar’iyah, hlm. 161).
Beliau juga mengatakan, “Jika diwajibkan atas kelompok terkecil dan perkumpulan paling ringkas agar mereka mengangkat seorang amir dari mereka, itu merupakan peringatan atas wajibnya hal yang sama atas kelompok yang lebih banyak dari itu.” (Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, XXVIII/65).
Ibn Taimiyah juga mengatakan, “Wajib diketahui bahwa pengaturan urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung. Bahkan agama dan dunia tidak bisa tegak tanpa itu…”
Ia menambahkan, “Jadi wajib imârah dijadikan (bagian) agama dan sebagai taqarrub untuk ber-taqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah dalam hal imârah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling afdhal.” (Majmû’ al-Fatâwâ, XXVIII/390).
Jika untuk tiga orang yang ada di tanah lapang dalam perkara yang menghimpun mereka atau sedang melakukan safar, wajib diangkat seorang amir, untuk jumlah yang lebih banyak dan urusan yang lebih kompleks tentu lebih wajib lagi. Tentu yang paling wajib mengangkat khalifah atau amirul mukminin. Pasalnya, dialah pemimpin untuk kelompok paling besar jumlahnya dan paling kompleks urusannya.
Pentingnya imârah bagi kaum muslimin itu juga tergambar dalam ucapan Umar bin Khaththab ra., “Sungguh, tak ada Islam kecuali dengan jamaah. Tak ada jamaah kecuali dengan imârah. Tak ada imârah kecuali dengan ketaatan. Siapa saja yang memimpin kaumnya di atas fikih (pemahaman) dan agama, maka itu menjadi kehidupan untuk dia dan mereka. Sebaliknya, siapa yang memimpin kaumnya di atas selain itu maka menjadi kebinasaan untuk dia dan mereka.”
Macam Imârah
Menurut para ulama, imârah ada dua macam: imârah yang umum (imârah ‘âmah) dan imârah khâshah. Imârah ‘âmah mencakup berbagai urusan dan tidak dibatasi pada satu atau beberapa urusan tertentu. Imârah khâshah dibatasi pada satu atau beberapa urusan atau pada wilayah tertentu.
Imârah ‘âmah yang sebenarnya adalah Khilafah. Jabatan mu’awin tafwidh termasuk imârah ‘âmah. Begitu juga wali atau ‘amil jika diberi wewenang yang umum dalam berbagai urusan, meski dibatasi dari segi cakupan wilayahnya. Namun, dilihat dari segi wilayahnya yang dibatasi, imârah mu’awin tafwidh, wali dan ‘amil itu bisa juga disebut imârah khâshah.
Adapun yang benar-benar imârah khâshah di antaranya imârah dari amir pasukan, qadha’, amil zakat, amirul hajj, amir jamaah atau partai, dan amir safar.
Asal kewenangan imârah khalifah adalah asli dan pokok diperoleh melalui baiat umat dengan ridha dan ikhtiar. Adapun kewenangan imârah lainnya baik mu’awin tafwidh, wali, ‘amil, amir pasukan, qadha’, amil zakat dan amirul hajj diperoleh karena pendelegasian wewenang dari Khalifah/Amirul Mukminin.
Adapun kewenangan imârah amir safar dan amir jamaah/partai, merupakan kewenangan asli bukan dari pendelegasian, tetapi diperoleh dari anggotanya.
Wewenang dan Hak Amir
Wewenang imârah amir secara syar’i adalah mengatur urusan bersama yang menjadi dasar adanya imârah itu. Amir memiliki wewenang mengeluarkan perintah dan larangan yang bersifat mengikat dalam batas urusan, orang dan wilayah yang menjadi cakupan imârah-nya. Wewenang Amirul Mukminin adalah mengatur urusan seluruh rakyat di seluruh wilayah Daulah, termasuk penerapan hukum syariah secara praktis dan pelaksanaan ri’ayah syu’un.
Adapun imârah khâshah, karena pendelegasian dari Amirul Mukminin, wewenangnya adalah dalam urusan dan wilayah yang didelegasikan kepada dia oleh khalifah. Wewenang amir safar terbatas pada urusan safar dan selama safar. Wewenang amir jamaah/partai adalah dalam hal kejamaahan/kepartaian terhadap anggota jamaah/partainya dan itu tidak mencakup penerapan hukum dan ri’ayah syu’un. Semua amir itu berwenang mengeluarkan perintah dan larangan yang mengikat dalam urusan bersama kelompok/perkumpulan itu.
Dalam hal imârah-nya itu, amir memiliki berbagai hak yang menjadi tanggungan orang yang dipimpin. Di antara hak terpenting adalah hak untuk ditaati. Banyak hadis yang menyatakan kewajiban taat kepada amir. Hadis-hadis itu bersifat umum, tidak dikhususkan untuk amir tertentu. Dengan demikian kewajiban taat itu mencakup kepada amir apa saja, termasuk amir safar dan amir jamaah, tentu dalam batas urusan bersama. Rasul saw. bersabda mengenai kewajiban taat itu:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِي مَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذاَ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat wajib atas setiap Muslim dalam apa yang dia sukai dan tidak dia sukai selama tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, tidak ada kewajiban mendengar dan taat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Masih ada hak-hak amir lainnya yang menjadi tanggungan mereka yang dipimpin. Di antaranya adalah: tsiqah (percaya) dan husnuzhan kepada amir; menasihati amir; menjalankan keinginan amir sekalipun bukan merupakan ‘azimah (perintah tegas); berbicara kepada amir dengan sopan (adab) dan tidak menyinggung dia; tidak mengkhianati amir; sabar terhadap apa yang tidak disukai dari amir; memuliakan amir dan melindungi amir baik ia ada atau tidak ada (di tempat itu); menjaga rahasianya, tidak menyebutkan aib orang kepada amir kecuali dalam konteks syakwa dan kesaksian; dan menghilangkan kesusahan hati amir ketika dalam kesempitan.
Di antara Prinsip Imârah
Imârah merupakan amanah. Imârah harus diberikan kepada orang yang memang layak. Pemegang imârah harus menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Saat Abu Dzar meminta kepada Rasul saw. agar dijadikan amir (diberi imârah), beliau bersabda:
إنَّكَ ضَعِيفٌ، وإنّها أمانةٌ، وَإنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Engkau lemah. Sesungguhnya imârah itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mendapatkannya dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya (HR Muslim dan al-Baihaqi).
Ada larangan meminta imârah. Rasul saw. bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:
لاَ تَسْأَلِ الإمَارَةَ؛ فَإنّكَ إن أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْألَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْألَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
Jangan meminta imârah. Sungguh jika engkau diberi imârah tanpa meminta, pasti engkau dibantu dalam imârah itu. Jika engkau diberi imârah karena memintanya, engkau akan dibiarkan dalam imârah itu (Muttafaq ‘alayhi).
Rasul saw. juga enggan memberikan imârah kepada orang yang berambisi memegang jabatan itu. Rasul sw. bersabda:
إنَّا وَاللهِ لاَ نُوَلِّي هَذَا العَمَلَ أحَداً سَألَهُ، أَوْ أحَداً حَرَصَ عَلَيْهِ
Kami, demi Allah, tidak menyerahkan tugas ini kepada seseorang yang memintanya atau seseorang yang berambisi terhadapnya (Muttafaq ‘alayhi).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurahman/Yoyok Rudianto]