Para peneliti Muslim mengatakan, “Salah jika digambarkan bahwa kancah peperangan dan konfrontasi yang terjadi antara kita dan musuh kita hanyalah di medan perang dan zona pertempuran semata.”
Musuh-musuh Islam terjun dalam peperangan melawan Islam dan para pemeluknya. Bagi mereka, tidak ada satu sisi pun peluang yang memungkinkan mereka menyerang Islam dan kaum Muslim, kecuali akan mereka ambil. Tidak ada pula suatu kesempatan kecuali akan mereka manfaatkan dan betul-betul mereka rawat. Semua itu dijadikan sandaran dan pilar yang mereka andalkan dalam melancarkan perang besar yang bertujuan mencerabut akar para pemeluk al-Haqq.
Allah SWT telah mengabarkan tentang kesulitan dan kepayahan mereka dalam mengintai kita, dan itu mustahil berhasil mereka lakukan (Lihat: QS at-Taubah [9]: 32).
Di antara strategi yang hampir tak pernah lepas dari berbagai strategi mereka yang variatif dan beraneka ragam adalah yang bisa kita namakan dengan “Perang Terminologi”.
Makna Perang Terminologi
Perang Terminologi adalah cara musuh-musuh Allah SWT dalam mengutip satu topik ajaran Islam yang sebenarnya telah memiliki hakikat makna yang spesifik disertai peristilahan yang jelas. Lalu mereka membuat suatu rumusan nama baru yang mengandung kepalsuan dan memalingkan hakikat gambarannya dari benak kita. Kemudian mereka mengubahnya menjadi peristilahan yang mengandung stigma yang membuat orang jadi geram dan membuat hati pendengar menjadi takut. Kadang mereka menanamkan maksud definisi yang buruk yang justru dilarang oleh syariah. Selanjutnya mereka menghadirkan istilah yang lebih menarik dan memikat. Mereka pun memperindahnya dan mendorong orang-orang untuk mengambilnya. Akhirnya, orang mendekat selangkah demi selangkah. Perasaan pun tergoda dan terpaut, hati mulai condong padanya. Tingkat kekhawatiran pada istilah baru yang buruk itu berkurang sedikit demi sedikit, hingga memudar. Setelah itu mudahlah jiwa untuk ditembus dan dipermainkan tanpa ada rasa berat lagi. Bahkan hari demi hari keburukan itu makin terasa baik. Jiwa merasa tenteram disebabkan keterpautan hati yang sekian lama dan juga eratnya hubungan dengan keburukan itu.
Perang Terminologi sebetulnya merupakan strategi lama. Strategi seperti ini, dengan memperbagus yang buruk dan memperburuk yang bagus, bersandar pada terminologi-terminologi temuan terbaru. Ini dapat dikategorikan sebagai strategi berbahaya yang telah menyertai para musuh Allah sepanjang lintasan sejarah pergulatan mereka dengan Islam. Hampir-hampir strategi itu tak pernah dilepaskan di setiap zaman, juga tak pernah diabaikan oleh pihak-pihak yang berambisi merusak kebenaran Islam.
Bahaya Perang Terminologi
Sesungguhnya Perang Terminologi kurang mendapat perhatian kaum Muslim. Mereka tidak menyadari bahayanya serta memahami dampak buruknya. Akibatnya, banyak sekali hakikat istilah syariah yang terbalik-balik dalam benak mereka. Selanjutnya itu juga akan terjadi dalam realitas kehidupan mereka. Kebenaran akan berbalik menjadi kebatilan. Kebatilan akan menjadi kebenaran. Kemungkaran berubah menjadi makruf. Yang makruf berubah menjadi mungkar. Kemaslahatan berubah menjadi mafsadat. Yang mafsadat berubah menjadi maslahat. Ini akan berakibat pada makin terbuka lebarnya pintu keburukan yang merajalela. Seiring dengan bertambah waktu, keburukan akan makin meningkat. Pengaruh keburukan pun makin tampak. Bahkan pengaruhnya akan berlipat ganda. Makin sulit pula menutupi dan menyelesaikannya, kecuali dengan segenap upaya yang berkesinambungan dan kerja dengan tenaga berlipat ganda. Apalagi dengan dukungan media massa yang beraneka ragam. Mereka memiliki suara yang lebih menggema untuk menjalankan misi mereka ini. Kebanyakan atau sebagian besar media massa itu memang tengah memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Di Antara Contoh Perang Terminologi
Di antara contoh Perang Terminologi ini adalah “riba”, yang disebut mengandung faidah dan manfaat. “Zina” diistilahkan dengan Freedom of Personality. Tindakan asusila, pornografi dan seks bebas disebut sebagai “kemajuan”, “peradaban modern”, dan “tren yang up to date”. Lirik-lirik lagu yang gila, serial TV yang keji, pementasan yang kotor, bobrok dan mematikan rasa cemburu serta menghasut tindakan amoralitas, baik yang terang-terangan maupun tersembunyi, semua itu disebut “seni”. Aktor-aktor di balik itu disebut seniman dan superstar. Busana yang transparan dan terbuka diebut bagian dari fesyen dan modis. Khamr dan sejenisnya adalah minuman penenang jiwa atau sekadar alkohol.
Sungguh benarlah Rasul kita Muhammad saw. yang bersabda:
لَيَشْرَبُ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يَسُمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اِسْمِهَا
Sungguh segolongan orang dari umatku akan meminum khamr yang mereka namai dengan nama selain khamr (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Contoh lainnya lagi, pemutarbalikan gagasan penerapan syariah Islam dan penegakan hukum Allah SWT yang malah disebut “reaksioner”. Mempromosikan pemikiran ateisme, menikam Allah Rasul-Nya serta para wali-Nya disebut sebagai “kebebasan berekspresi”. Berlepas diri dari taklif-taklif syariah, merubuhkan bangunan dasar (ushul), cabang-cabang syariah (furu’) dan rinciannya (tafshil) serta jalinannya satu sama lain dimodernisasi agar sesuai dengan konstruksi zaman sekarang. Hal tersebut dinamakan “pencerahan”, “rasionalisasi”, “realisme” dan “keterbukaan”.
Mengambil dan berpegang pada nash-nash syariah, kemudian mendakwahkan dan membelanya, itu disebut sebagai “stagnasi”, “kebekuan”, “normatif” dan “kolot”. Sebaliknya, ocehan ruwaybidhah (orang sok berilmu) dan jahalah (orang bodoh) terkait urusan masyarakat—dengan segala kamuflase, daya tarik dan pesonanya, beserta lontaran-lontaran sesuka hatinya—malah dianggap sebagai ide brilian. Kepada para pengusungnya disematkan gelar “intelektual”, “analis” dan “pencerah”.
Mengosongkan dan menghapuskan lafal-lafal dari makna aslinya, lalu menafsirkannya secara batiniah dengan tujuan menghancur-kannya, malah dijuluki “tafsir kontemporer”.
Perang terhadap Islam secara terang-terangan, mengintai para pemeluknya yang teguh berpegang pada Islam, menyiksa mereka, menyelenggarakan berbagai kesepakatan guna mendeportasi dan mengusir mereka, menghimpun dana besar dari para donatur untuk melacak jejak mereka, semua itu disebut sebagai “perang terhadap terorisme dan fundamentalisme”, “melindungi dan memben-tengi tanah air dari ancaman mereka”, dan “menjaga masyarakat dari kejahatan mereka”.
Menjual tanah dan mengabaikan tempat-tempat suci, kepasrahan total di hadapan musuh, tergopoh-gopoh dalam memenuhi keinginan mereka, berlomba dalam mempersembahkan apa yang dibutuhkan musuh, penyerahan diri yang menghinakan, itu semua disebut sebagai “perdamaian”; bahkan disebut “perdamaian yang penuh keberanian”.
Pengakuan terhadap hak pendudukan Yahudi di Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana, yang diganti dengan sejengkal tanah kotor (yang didiami warga Palestina) yang masih dalam pengawasan dan kontrol Yahudi, itu disebut sebagai “perdamaian yang adil, komprehensif dan langgeng”. Sebaliknya, membela martabat, tanah dan kehormatan serta mengorbankan jiwa dan harta demi simbol-simbol suci Islam justru disebut “musuh Islam” dan “melanggar Konstitusi Internasional”.
Persiapan untuk penyambutan puluhan ribu tentara Kristen yang dikirim ke tanah-tanah kaum Muslim serta mengokohkan posisinya di darat, laut dan udara, lalu menghisap kandungan dan kekayaan alam dari bawah dan permukaan tanah kaum Muslim, kemudian memukul bangsa-bangsa Muslim, belum lagi percobaan senjata modern ke atas kaum Muslim, semua itu disebut tidak lebih dari sekadar “permintaan bantuan tentara sahabat” guna mengusir musuh laten yang membangkang.
Koalisi negara-negara kafir dalam rangka menundukkan dan menghinakan bangsa-bangsa Muslim agar tunduk pada Dunia Internasional dan tunduk pada kemauan tertentu yang sudah ditetapkan, hal ini disebut sebagai “Legitimasi Internasional” dan “agar tak keluar dari Masyarakat Internasional”.
Demikian juga dengan terminologi jihad. Ketika musuh-musuh Islam mengetahui kedudukan jihad di hati umat Islam, lalu mereka menengok dan memperhatikan sejarah dengan benar, mereka sadar bahwa umat ini akan hidup jika menghidupkan amalan utama ini. Sebaliknya, mereka melihat umat akan lemah jika kosong dan enggan dari mengamalkan jihad. Hal ini membentuk suatu pemahaman utuh pada diri mereka (musuh) bahwa mereka tak akan dapat melenyapkan umat ini dan tak dapat memperoleh apa-apa, kecuali jika mereka berhasil memisahkan umat dari jihad. Mereka pun yakin bahwa hal itu tak akan terwujud kecuali jika mereka dapat menanamkan ke dalam jiwa kaum Muslim suatu pandangan, bahwa jihad adalah perkara yang tak seperti apa yang umat gambarkan selama ini; bahwa hakikat jihad itu berbeda dengan yang diyakini umat Islam.
Akan tetapi, makna-makna yang hendak disampaikan oleh musuh Islam kepada umat agar diyakini oleh mereka itu tidak mungkin dapat dibalikkan dengan mudah. Pasalanya, kebanyakan orang masih memandang bahwa bangsa-bangsa muslim berperang dalam rangka memperoleh hak-hak mereka. Banyak pula jamaah Islam masih mengangkat panji jihad di berbagai tempat. Jadi, manakala mereka (musuh) mendapati bahwa mereka harus berhadapan dengan situasi ini, dan khawatir kendali malah berbalik, dan umat Islam melangkah untuk menempuh jihad dengan langkah-lagkah yang dapat mengembalikan kemuliaan masa lalunya, mereka (musuh) pun memainkan media massa yang mereka kuasai, lalu mereka membangun transmisi mereka di banyak negeri. Mereka mulai mensifati amalan jihad itu sebagai terorisme, kekerasan dan fundamentalisme dengan mengeksploitasi sebagian kasus yang terjadi pada segelintir orang bodoh atau memang orang-orang yang merupakan antek mereka yang mereka didik dalam pengawasan mereka, guna mendukung strategi pencemaran (siyasat-ut-tasywih). Akhirnya, hadir di benak banyak orang Islam dengan penuh keyakinan bahwa jihad berkonotasi fundamentalisme, terorisme dan kekerasan; para mujahidin adalah kaum fundamentalis dan teroris; setiap orang yang memanggul senjata yang berjihad di jalan Allah demi membela martabat dan menjaga kehormatan Islam adalah teroris dan fundamentalis. Jadilah kemudian sifat tersebut melekat pada diri mujahidin dimana pun mereka berada. Padahal apa yang dijalani oleh para mujahidin tersebut merupakan kenyataan yang paling benar dan nyata bagi orang yang memiliki akal yang waras. Hal ini sebagaimana kenyataan yang ada di Chechnya, Palestina, Kashmir, Rohingnya, dan lain-lain.
Kalaupun mereka (musuh) ingin mengang-kat derajat dan ingin memberi sifat pada satu di antara kasus jihad itu dengan sifat yang ‘cenderung baik’, mereka tetap berusaha memikat hati orang banyak. Mereka pun menamakan jihad sebagai al-muqawamah (perlawanan), yang pengertiannya tak lebih dari sekadar pembelaan diri. Bahkan mereka membuat suatu batasan karena khawatir hal ini akan terpatri dalam benak kaum Muslim. Akhirnya, mereka pun menamai jihad dengan “perlawanan terbaik” (khiyarul-muqawamah). Padahal yang sebetulnya mereka maksudkan adalah “perdamaian terbaik (khiyarus-salam), sebagaimana yang sangat terkenal untuk konteks kasus Palestina, dan juga dalam konteks khusus dan terbatas lainnya.
Demikianlah, jihad telah dilencengkan maknanya, termasuk yang jihad defensif sekalipun, menjadi fundamentalisme dan tindak kekerasan serta istilah sejenis yang kini telah populer.
Agar kita dapat lebih memahami kedudukan kata jihad di mata orang banyak, mari kita amati sejenak bagaimana para rezim yang mengeksploitasi istilah itu setiap kali mereka ingin merebut hati rakyat, mempengaruhi perasaan mereka dan menyalakan gejolak jiwa mereka. Dengan begitu rakyat mengira bahwa ini adalah panggilan jihad dan berhimpun di sekitarnya. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rezim Ba’ats Irak pada Perang Teluk yang kedua. Mereka mencoba mempengaruhi hati masyarakat yang tertipu.
Umat Harus Sadar
Setiap Muslim wajib melek dan lebih hati-hati dalam mengutip terminologi yang baru. Mereka mesti tetap terikat dengan terminologi-terminologi yang syar’i. Mereka harus merasa cukup dengan istilah-istilah syariah. Mereka harus waspada dalam menghadapi apa yang disebarkan oleh media massa. Pasalnya, media massa sering membawa racun yang kita sangka itu adalah madu. [ZAM] [Dr. Ahmad Ibrahim Khidr]