Saya ini sedih sekali melihat kondisi umat sekarang. Di tarik kesana-kemari,” ujar seorang tokoh Bogor kepada saya.
Saya pikir beliau adalah salah seorang di antara banyak orang yang memiliki perasaan yang sama seperti itu. Bagaimana tidak, selama masa kampanye Pilpres, termasuk saat bulan Ramadhan, umat Islam terfragmentasi menjadi dua kelompok besar. Head to head.
Kalangan NU terpecah, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj terus-terang berada di pihak Prabowo-Hatta. Wakil Ketua Umumnya As’ad Ali berada di kubu Jokowi-JK. Hal yang sama terjadi pada Muhammadiyah. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, sejak awal mengusung Prabowo-Hatta. Sebaliknya, saat debat capres-cawapres pada putaran akhir, Ahmad Syafii Ma’arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah pendahulu Amien justru mendukung kubu Jokowi-JK.
Sebagian pesantren mendeklarasikan diri mendukung Prabowo. Sebagian pesantren yang lain menjadi relawan pemenangan Jokowi. Istighatsah pun dilakukan oleh kedua kubu. Saat berkampanye Jokowi disambut dengan shalawat. Ia dielu-elukan akan membawa rahmatan lil ‘alamin, sedangkan pihak lain tidak. Saat Prabowo berkampanye, gema shalawat pun berkumandang. Ia dianggap akan membawa kebaikan Islam, sementara pihak lain justru mengancam Islam.
Kader partai pun terpecah. Sekadar contoh, Nusran Wahid, kader Golkar sebagai partai yang mengusung Prabowo, dipecat karena mendukung Jokowi. Hal yang sama terjadi pada Rustiningsih, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, terancam dipecat PDIP karena mendukung Prabowo, bukan Jokowi yang menjadi calon presiden partainya.
Memang benar, umat ditarik ke sana ke mari. Laksana buih.
Pada saat saya bertemu dengan Ketua Umum MUI, Prof. Din Syamsuddin, awal Juli 2014, saya menyampaikan hal ini kepada beliau. “Pak Din, saya lihat, Pilpres saat ini telah memecah-belah umat.”
Beliau pun mengiyakan. “Kini, bangsa Indonesia terancam pecah. Tokoh-tokoh umat pun terpecah ke dalam dua kubu yang saling berseberangan. Head to head!” jawab beliau. “Tak ada saat ini tokoh umat yang dapat mengkonsolidasikan mereka,” tambahnya.
Padahal situasi sekarang sangat panas. Tak ada yang menjamin Pemilu ini damai. Kedua belah pihak sudah mati-matian. Semua sumberdaya sudah dikerahkan demi memenangkan jagonya. Orang bilang, at all cost. Oleh sebab itu, jika kemenangan itu bedanya sangat tipis hanya 5-10 persen saja, maka dikhawatirkan ada pihak yang tidak puas. Kerusuhan tidak mustahil terjadi. Lalu siapa yang mengkonsolidasikan umat? Tak ada. Sesama umat Islam akan berhadapan. Padahal mereka sama-sama istighatsah, sama-sama membaca shalawat saat kampanye dan sama-sama membawa simbol Islam. Tatkala situasi ini terjadi, yang akan naik adalah militer. Bisa saja Presiden SBY mengeluarkan Dekrit Presiden. Lalu dengan dalih demokrasi dan perdamaian, pihak asing, khususnya AS, akan memiliki alasan untuk intervensi secara fisik sebagaimana yang terjadi di Mesir. Na’ûdzu bilLâh min dzâlika.
Yang lebih menyedihkan, tarik-menarik dan perebutan umat ini semata-mata karena kepentingan politik. Saya mencoba mendengar pandangan berbagai tokoh yang merupakan pendukung capres dan cawapres yang berbeda. Pandangan mereka memberikan gambaran bahwa landasan dan arah pilihan itu tak ada kaitannya dengan Islam dan umat Islam.
Terkait hubungan dengan AS, awalnya negeri Paman Sam tersebut menghendaki Jokowi. Salah satu buktinya adalah sesaat setelah Jokowi dikukuhkan sebagai calon presiden, Duta Besar AS bertemu dengan Jokowi. AS pun mengintervensi agar kasus HAM yang diduga melibatkan Prabowo diusut. Namun terakhir, menurut informasi dari seseorang yang berada di ring satu pemerintahan, AS mulai mendekati Prabowo. Informasi itu menyebutkan bahwa menurut data intelijen AS, kemungkinan besar yang menang Prabowo. Lalu Dubes AS, atas perintah Washington, mengadakan pertemuan tertutup dengan calon presiden dari Koalisi Merah Putih tersebut. Artinya, siapa pun yang terpilih menjadi presiden, AS tetap akan menjadikan dia sebagai pion pembela kepentingannya.
Ada benang merah yang dapat saya pahami dari informasi dan diskusi dengan tokoh pendukung kedua kubu, yakni bahwa pertarungan di antara dua kubu ini bukanlah pertarungan antara Islam vs Bukan Islam, bukan pula pertarungan antara umat Islam vs umat bukan Islam. Namun, semua itu murni pertarungan politik yang kedua-duanya tak mendasarkan diri pada Islam. Pertarungan ini hanya memperebutkan umat Islam. Buktinya, dalam berbagai kampanyenya tak terdengar kedua pihak menyebut sekadar kata takwa, iman atau syariah Islam. Kita tak pernah mendengar seruan dalam kampanye dari kedua kubu, “Saudara-saudara, kalau saya terpilih, saya akan berupaya untuk menciptakan situasi dan kondisi bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan masyarakat.” Tak pernah! Padahal mengokohkan keimanan dan ketakwaan ini justru merupakan hal paling urgen yang menjadi tugas penguasa.
Dalam situasi seperti ini wajar belaka jika umat Islam menjadi kurang peka. Sekadar menyebut, pada 8 Juli 2014, The Jakarta Post membuat kartun yang menghina umat Islam. Dalam kartun tersebut digambarkan ada bendera hitam, bertuliskan kalimat tauhid ‘Lâ ilâha illalLâh’ berwarna putih. Di bawah tulisan tersebut ada gambar tengkorak dengan dua tulang bersilang. Bendera tersebut digambarkan sedang dinaikkan oleh seorang berwajah Arab bersenjata. Di sampingnya ada pasukan sedang mengendarai mobil lengkap dengan persenjataan; juga terdapat satu orang yang tengah menodongkan senjata pada beberapa sipil yang matanya ditutup kain hitam. Hinaan ini luput dari perhatian. Kedua kubu tak memperhatikan ini. Padahal dengan kartun tersebut The Jakarta Post sedang menunjukkan seakan ‘Lâ ilâha illallâh’ itu menakutkan, membawa kematian, dan teror. Respon ini berbeda saat Wimar Witoelar menyebarkan gambar ngawur yang mendiskreditkan kubu Prabowo atau saat Obor Rakyat memojokkan Jokowi. Keduanya pun diadukan ke kepolisian.
Semua ini memberikan gambaran betapa umat ini masih diombang-ambing oleh kepentingan politik sesaat. Kepekaan politik Islam (wa’yu siyâsi al-islâmi) umat ini masih harus terus ditingkatkan.
Tentu saat ini perlu ada penyelamat umat. Dialah penyelamat yang berpegang dan membela Islam, berpihak pada umat Islam, serta menyelamatkan seluruh umat manusia dengan penerapan Islam. Insya Allah. [DPP Hizbut Tahrir Indonesia; Muhammad Rahmat Kurnia]