كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).
Hadis ini juga diriwayatkan di dalam Shahîh Ibn Hibbân; Musnad Abi ‘Awanah; Sunan al-Kubrâ al-Bayhaqî; Mushannaf Ibn Abi Syaybah; Musnad Ishhaq Ibn Rahawayh; Musnad Abi Ya’la al-Mûshili; Musnad li al-Khalâl oleh Abu Bakar al-Khalal; dan di dalam as-Sunah li Ibn Abi ‘Ashim.
Hadis ini menjelaskan beberapa hal: Pertama: kata tasûsu berasal dari sâsa-yasûsu-siyâsah. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, sâsa al-amr siyâsah bermakna: qâma bihi (melaksanakan amanah). Menurut As-Suyuthi, Abdul Ghani dan Fakhr al-Hasan ad-Dahlawi dalam Syarh Sunan Ibn Mâjah, as-siyâsah adalah riyâsah wa ta’dîb ‘alâ ar-ra’iyah (kepemimpinan dan pendidikan terhadap rakyat). Secara bahasa, siyâsah maknanya ra’â syu’ûnahu (memelihara urusan-urusannya). Dengan demikian as-siyâsah (politik) maknanya ri’âyah syu’ûn al-ummah (pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat).
Kedua: Kanat banû isrâ‘îla tasûsuhum al-anbiyâ’. Menurut Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bari, frasa ini bermakna, “Jika tampak di tengah mereka kerusakan, Allah SWT mengutus seorag nabi yang meluruskan dan mengatur urusan mereka dan menghilangkan hukum Taurat yang telah mereka ubah. Didalamnya ada isyarat bahwa harus ada orang yang mengurusi urusan-urusan rakyat, membimbing mereka pada kebaikan dan memberikan keadilan kepada orang yang dizalimi dari orang yang zalim.”
Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, makna frasa itu adalah bahwa para nabi mengurusi urusan mereka seperti yang dilakukan oleh para amir dan wali terhadap rakyat. As-Siyâsah (politik) adalah mengatur sesuatu dengan apa yang membuat sesuatu itu menjadi baik.
Ketiga: Nabi saw. juga menjalankan peran politik ri’ayah asy-syu’un, yaitu memelihara dan mengatur urusan-urusan umat sebagaimana nabi-nabi Bani Israel. Bahkan Nabi saw. termasuk di antara sedikit nabi yang diistimewakan. Ini karena selain menjabat kenabian, beliau pun menjadi penguasa yang melakukan ri’ayah asy-syu’un secara praktis.
Keempat: wa innahu lâ nabiyya ba’di. Ini menegaskan bahwa kenabian sudah diputus oleh Allah SWT. Rasul saw merupakan penutup para nabi. Karena itu, siapa saja yang mengklaim kenabian dalam bentuk apapun adalah pendusta.
Kelima:Karena tidak ada nabi sesudah beliau, muncul pertanyaan, “Lalu siapa yang memelihara urusan umat?” Pertanyaan itu juga ditanyakan oleh para Sahabat. Dalam riwayat Abu ‘Awanah dalam Musnad-nya, Ibn Majah dalam Sunan-nya dan Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, para Sahabat bertanya, “fa mâ yakûnu yâ Rasûlallâh (Apa yang akan ada, ya Rasulullah)?” Jawab Rasul saw., “wa sayakûnu khulafâ’u fa yaktsurûn.”
Jadi, Rasul saw. telah menjelaskan bahwa yang akan memelihara dan mengatur urusan kaum Muslim sepeninggal Rasul adalah para khalifah yang terus berganti hingga jumlahnya banyak.
Keenam: Syaik Abdul Qadim Zallum di dalam Afkâr Siyâsiyah menjelaskan, “Mafhum sabda Nabi saw. itu, bahwa selain amir bukanlah penguasa dan bahwa selain khalifah tidak boleh menjalankan peran politik secara praktis terhadap rakyat. Hadis ini adalah dalil bahwa pengaturan dan pemeliharaan (siyâsah/ri’âyah syu’ûn) rakyat secara praktis hanyalah wewenang penguasa dan bukan selain penguasa. Ini adalah salah satu dalil—selain dalil-dalil lainnya—atas pembatasan kekuasaan dan ri’ayah rakyat hanya oleh penguasa, yaitu khalifah dan orang yang mewakili dia, atau amir dan orang yang mewakili dia.
As-Sulthân adalah ri’âyah syu’ûn secara mengikat dan memaksa. Artinya, pelaksanaan tanggung-jawab penguasa hanya oleh penguasa. Siapapun selain penguasa tidak boleh melaksanakan tugas ini. Pasalya, syariah telah memberikan hak itu hanya kepada Khalifah dan orang yang mewakili dia. Orang lain—siapapun dia—yang melakukan tugas penguasa dan ri’âyah syu’ûn terhadap rakyat—adalah menyalahi syariah sehingga batil. Setiap tindakan batil adalah haram. Jadi selain Khalifah dan orang yang ditunjuk Khalifah, yakni selain penguasa, tidak boleh (haram) melakukan aktivitas pemerintahan dan kekuasaan serta ri’âyah syu’ûn secara mengikat dan memaksa.”
Ketujuh:fû bibay’ati al-awwal fa al-awwal. Imam an-Nawawi menjelaskan, maknanya adalah “Jika dibaiat seorang khalifah setelah pembaitan khalifah sebelumnya, maka baiat pertama adalah sahih dan wajib dipenuhi, sedangkan baiat kedua adalah batil dan haram dipenuhi; haram pula menuntut khilafah itu, baik diakadkan untuk yang kedua oleh mereka yang mengetahui baiat yang pertama ataupun tidak tahu; baik di dua negeri atau di satu negeri, atau yang satu di negeri imam yang terpisah dan yang lain di negeri lainnya. Inilah yang benar, yang menjadi pendapat ashhab kami dan jumhur ulama.”
Jadi, khalifah itu harus satu dan haram lebih dari satu. Bahkan dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan: “fa [u]qtulû al-âkhira minhumâ (maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya).”
Kedelapan: A’thûhum haqqahum, yakni taati mereka dan bergaul dengan mereka dengan mendengar dan taat, karena Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka lakukan terhadap kalian, tentu selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Dalam hal ini ada rincian di dalam syariah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]