Pengantar Redaksi:
Pileg maupun Pilpres telah usai. Anggota parlemen baru dan presiden baru telah terpilih. Rakyat negeri ini tentu banyak berharap kepada para wakil rakyat maupun presiden yang baru. Padahal pada faktanya, meski negeri ini telah berkali-kali menyelenggarakan Pemilu dan berkali-kali pula berganti presiden, negeri ini tetap tak berubah. Kemiskinan tetap ada, bahkan makin banyak. Korupsi tetap terjadi, bahkan makin menjadi-jadi. Utang luar negeri tetap besar, bahkan makin bertambah. Pengangguran tetap tinggi, bahkan makin sulit diatasi. Kriminalitas tetap merajalela, bahkan makin liar dan mengerikan. Kerusakan moral tetap berlangsung, bahkan makin tak terbendung. Kekayaan tetap dikuasai pihak asing, bahkan dalam kadar yang luar biasa.
Alhasil, tak ada hubungannya Pemilu (Pileg maupun Pilpres) dengan perubahan ke arah yang lebih baik. Umat pun kembali bakal kecewa. Setidaknya, itulah pandangan Ustadz Rokhmat S. Labib, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, yang disampaikan kepada Redaksi kali ini. Berikut wawancara lengkapnya.
Pemilu, baik legislatif maupun presiden, sudah selesai. Menurut Ustadz, apakah akan ada perubahan setelah pergantian rezim?
Tidak ada. Kalaupun ada, perubahan yang tidak siginifikan. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan sebelum Pemilu, bahkan bisa jadi lebih buruk. Menurut saya, aneh jika masih ada orang yang berharap perubahan pada Pemilu. Pemilu kali ini bukanlah yang pertama. Sejak merdeka, Pemilu kali ini sudah kesebelas kalinya. Sebagaimana kita lihat, tidak ada perubahan berarti.
Mengapa bisa begitu?
Karena Pemilu memang hanya kompetisi untuk berebut menjadi rezim berkuasa, bukan untuk mengubah sistem yang ada. Jadi, kalau ada perubahan pasca Pemilu, itu hanyalah semata pergantian rezim. Tak akan ada perubahan mendasar. Sama sekali tak menyentuh akar masalah.
Apa akar masalahnya?
Akar masalahnya adalah sistem yang diterapkan. Rezim korup dan bobrok memang masalah. Namun, itu bukan satu-satunya. Jika diteliti lebih dalam, munculnya masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari sistem yang rusak.
Karena itu, persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah sistemnya. Sistem yang rusak hanya akan memproduksi kerusakan. Menegakkan sistem yang zalim dan tidak adil sama dengan menegakkan kezaliman dan ketidakadilan.
Karena itu jangan heran, meskipun rezim yang berkuasa telah berganti berkali-kali, semuanya gagal membuat negeri ini menjadi lebih baik, malah makin terpuruk.
Sistem apa yang dimaksud?
Sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi liberal yang berpangkal pada ideologi Kapitalisme-sekular. Sebenarnya sudah banyak kritik terhadap sistem ini. Siapa pun tahu, kompetisi dalam demokrasi membutuhkan dana amat besar. Akibatnya, hanya para pemilik modal besar atau yang didukung oleh pemilik modal besar yang dapat bertarung dan memenangkan pertarungan. Jadi, jangan heran jika demokrasi yang didengungkan oleh rakyat pada faktanya dikangkangi oleh para pemilik modal dan berpihak pada kepentingan mereka.
Demikian juga sistem ekonomi liberal yang doktrin utamanya adalah kebebasan kepemilikan dan mekanisme pasar. Sebagaimana dalam dunia politik, persaingan bebas dalam ekonomi juga akan menjadikan para pemilik modal besar tampil sebagai pemenangnya. Kekuasaan mereka dalam ekonomi semakin besar tatkala semua sektor ekonomi, kecuali hanya sedikit, boleh dikuasai oleh swasta. Akibatnya, perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tambang-tambang yang depositnya melimpah dikuasai korporasi. Lebih ironis lagi, korporasi asing mendominasi dalam berbagai sektor vital dan strategis tersebut.
Oleh karena itu, jika rezim hasil Pemilu tetap konsisten dengan sistem ini, jangan harap ada perubahan menjadi lebih baik.
Bukankah dalam kampanye mereka menginginkan perubahan?
Perubahan yang mereka inginkan hanya asesoris. Itu pun berhenti sebatas slogan. Tak ada satu pun di antara mereka yang akan melakukan perubahan sistem. Mereka malah berlomba-lomba menunjukkan diri mereka calon pemimpin yang konsisten dengan demokrasi dan sistem ekonomi liberal.
Sikap itu tentu sangat aneh. Apakah mereka tidak belajar dari kegagalan rezim-rezim sebelumnya. Jika semua rezim sebelumnya telah terbukti gagal dengan sistem demokrasi dan ekonomi liberal, mengapa mereka tetap mengambil jalan yang sama dengan rezim-rezim sebelumnya.
Oleh karena itu, dapat dipastikan rakyat akan kembali menelan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Janji-janji manis yang diobral saat kampanye akan menjadi ‘angin surga’ yang sulit, bahkan mustahil direalisasikan.
Mengapa begitu?
Bagaimana bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, sementara sistem yang diterapkan hanya akan membuat kekayaan alam dikuasai segelintir orang? Bagaimana bisa keadaan menjadi lebih baik jika sistem yang diterapkan justru melempangkan jalan bagi penjajahan?
Keadaan ini kian diperparah dengan penguasa yang hanya sibuk memikirkan pengembalian modal politik yang telah dikeluarkan plus keuntungannya yang berlipat-lipat. Rakyat hanya diingat saat pemungutan suara.
Patut juga saya tegaskan, seandainya mereka dapat merealisasikan janjinya—ini hanya seandainya—tidak akan membuat rakyat menjadi tenteram lahir-batin.
Mengapa?
Karena dalam Surat Thaha ayat 123 Allah SWT telah menegaskan: Wa man a’radha ‘an dzikrî fa inna lahu ma’îsyatan dzanka. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan: Siapa pun yang menyelisih perintah-Ku dan apa yang Aku Tu-runkan kepada para rasul-Ku, berpaling darinya, melupakannya, dan mengambil selainnya sebagai petunjuknya maka bagi dia peghidupan yang sempit di dunia. Kata Ibnu Katsir, tidak ada ketenteraman bagi dia, tidak ada kelapangan di dadanya. Bahkan dadanya terasa sempit karena kesesatannya meskipun secara lahiriah terlihat nikmat; berpakaian dan makan apa pun yang dia inginkan serta tinggal di mana pun dia suka. Hatinya tak akan sampai pada keyakinan dan petunjuk. Hatinya akan merasa gelisah tak menentu dan penuh keraguan. Hatinya selalu diliputi sangsi dan kebimbangan. Menurut Ibnu Katsir, inilah ma’îsyatan dhanka, penghidupan yang sempit itu.
Yang lebih penting lagi, bukan hanya menderita di dunia. Ketika berpaling dari syariah-Nya, azab di akhirat jauh lebih dahsyat akan diterima.
Apakah itu sudah disuarakan oleh Hizbut Tahrir sebelum Pemilu?
Tentu. Bukan hanya menjelang Pemilu. Perubahan sistem selalu disuarakan oleh Hizbut Tahrir. Itu pula yang diperjuangkan. Hizbut Tahrir senantiasa mengingatkan bahwa sumber masalah di negeri Islam, bahkan di seluruh dunia ini, adalah pemberlakuan Kapitalisme dan semua sistem lain produk hawa nafsu manusia.
Khusus menjelang Pemilu Presiden, Hizbut Tahrir mengadakah Konferensi Islam dan Peradaban di 70 kota. Tema yang diangkat adalah “Indonesia Milik Allah: Saatnya Khilafah Menggantikan Demokrasi dan Sistem ekonomi Liberal”. Dalam konferensi itu kita membongkar kerusakan sistem dari Barat tersebut.
Kita juga menerbitkan nasyrah khusus yang menjelaskan hukum syariah tentang Pemilu Presiden. Selain disebarkan secara masif, tema nasyrah tersebut juga dijadikan sebagai bahan diskusi, seminar, tabligh akbar, khutbah Jumat, kontak dan lain-lain.
Bisa diterangkan secara singkat isinya?
Dalam nasyrah tersebut dijelaskan bahwa Pemilu Presiden (Pilpres) berbeda dengan Pemilu Legislatif (Pileg). Jika pada Pileg berkaitan dengan wakalah, Pilpres berkaitan dengan pengangkatan hâkim atau penguasa. Dalam hal ini, ada dua perkara penting yang harus dilihat. Pertama: perkara yang berkaitan dengan syarat sah seseorang untuk menjadi penguasa. Kedua: perkara yang menyangkut sistem yang akan diterapkan.
Apa syarat sah yang harus dipenuhi oleh seseorang bisa menjadi kepala negara?
Ada tujuh syarat yakni: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (tidak fasik) dan mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara. Jika syarat itu tak terpenuhi, seseorang tak layak menjadi kepala negara.
Yang berkaitan dengan sistem yang diterapkan?
Sistem yang wajib diterapkan adalah sistem Islam. Inilah yang harus ditegaskan oleh calon pemimpin itu kepada rakyat. Ia harus meyakinkan bahwa sistem yang akan diterapkan adalah Islam. Jika berani dia menjanjikan penerapan syariah Islam secara terbuka tanpa tedeng aling-aling dan berbelit-belit, rakyat boleh memilih dia.
Perlu diingat, di antara hukum Islam yang wajib diimplementasikan adalah menegakkan sistem Khilafah, menyatukan negeri-negeri Islam di bawah Khilafah, membebaskan negeri-negeri Islam dari pendudukan dan pengaruh kaum kafir dalam segala aspek kehidupan, serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Adakah yang memenuhi syarat tersebut?
Semua orang akan berkesimpulan sama: tak ada seorang di antara mereka yang berjanji akan menerapkan syariah, apalagi akan mengumumkan penegakan Khilafah.
Berarti tidak ada pilihan?
Secara tegas Hizbut Tahrir mengatakan bahwa secara syar’i tak boleh memilih siapa-pun dari mereka sebagai kepala negara. Memilih mereka, sementara mereka akan terus menja-lankan sistem sekular adalah tindakan haram.
Ini termasuk perkara yang jelas. Sebab, Allah SWT telah mengharamkan berhukum pada selain hukum-Nya. Dalam QS al-Maidah 45 dan 47, siapapun yang tidak berhukum dengan hukum-Nya adalah zalim dan fasik. Bahkan dalam ayat 44, pelakunya disebut sebagai kafir jika tidak mau berhukum dengan syariah-Nya karena ingkar dan menganggap syariah Islam tak layak diterapkan. Demikianlah penjelasan para ulama mu’tabar sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dan asy-Syaukani.
Apa yang akan dilakukan oleh Hizbut Tahrir pasca Pilpres?
Siapapun Presidennya tidak akan berpengaruh. Hizbut tahrir akan terus melanjutkan perjuangannya menegakkan Khilafah Rasyidah yang akan menerapkan Syariah Islam secara Kaffah. Dalam hal ini Hizbut Tahrir akan terus secara konsisten berpegang teguh kepada metode perjuangan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. hingga akhirnya Khilafah Rasyidah tegak menaungi kita semua.
Lalu apa seruan Hizbut Tahrir?
Kitamenyerukan agar umat menempuh langkah yang benar dengan mendeklarasikan Indonesia sebagai benih Daulah al-Khilafah ar-Rasyidah kedua yang telah diberitakan Rasululllah saw.: Tsumma takûna Khilâfah ‘alâ minhâj nubuwwah. Artinya: kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.
Kita juga mengingatkan bahwa era Khilafah ar-Rasyidah itu telah dekat, insya Allah. Kaum Muslim di seluruh negeri mereka, khususnya di Indonesia, rindu untuk dihukumi dengan syariah Islam dan hidup dengan kehidupan yang islami di dalam naungan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. []