Kata dawlah berasal dari kata dâla–yadûlu–dawlah. Di dalam Qâmûs al-Muhîth, ad-dûlah adalah pergiliran zaman dan harta, sedangkan ad-dawlah dalam hal peperangan; Atau keduanya adalah sama.
Menurut al-Fara’ seperti dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah, ad-dawlah digunakan untuk dua pasukan: yang satu menang, lalu yang menang itu dikalahkan. ad-dûlah dalam hal kepemilikan dan sunan (?) yang diubah dan diganti sepanjang waktu.
Menurut al-Jawhari dalam Ash-Shihah fi al-Lughah, ad-dawlah itu dalam hal perang, satu pihak dimenangkan atas yang lain; sedangkan ad-dûlah dalam hal harta. Menurut Abu Ubaid, ad-dûlah adalah sebutan sesuatu yang diedarkan. Menurut Isa bin Umar, keduanya (ad-dûlah dan ad-dawlah) sama, digunakan dalam hal peperangan dan harta.
Ad-Dawlah juga bermakna al-ghalabah (menang). Ini seperti dalam ungkapan Abu Sufyan kepada Hiraklius nudâlu ‘alayhi wa yudâlu ‘alaynâ, yakni kadang kami menang atas dia dan kadang dia menang atas kami.
Di dalam al-Quran dan as-Sunnah penggunaan kata ad-dûlah dan ad-dawlah dalam makna bahasa itu. Ini seperti yang dinyatakan dalam firman Allah SWT:
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) (QS Ali Imran [3]: 140).
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).
Kata dawlah tidak digunakan oleh nash syariah selain dalam makna bahasa itu. Dengan begitu kata dawlah itu bukan haqiqah syar’iyah.
Adapun secara istilah, di dalam Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah pada topik ad-dawlah dikatakan, “Penggunaan istilah ad-dawlah oleh para fukaha tidak secara luas. Istilah ad-dawlah digunakan di dalam sebagian buku-buku as-siyâsah asy-syar’iyah dan al-ahkâm as-sulthâniyah.”
Penggunaan kata ad-dawlah secara istilah sendiri belum dikenal sejak awal. Hal itu bisa dirujuk pada literatur-literatur bahasa dan istilah. Buktinya, Ibn Manzhur (w. 711 H/1211 M) yang menghimpun semua ungkapan orang Arab asli (iqhâh) dalam karyanya Lisân al-’Arab, menyatakan kata dawlah tidak pernah digunakan oleh orang Arab sebagai sebuah istilah, melainkan digunakan dalam makna bahasanya.
Awal penggunaan istilah ad-dawlah oleh para ulama dan fukaha sendiri tidak ada catatan pastinya. Boleh jadi, kata ad-dawlah sebagai sebuah istilah dengan konotasi negara (state) itu digunakan untuk menerjemahkan istilah state yang ada dalam literatur Yunani, khususnya karya Plato dan muridnya, Aristoteles. Plato menuangkan gagasan tentang state dalam bukunya Republic (Republik) dan Statesman (Negarawan). Adapun Aristoteles menjelaskan gagasan tentang state dalam bukunya, Politic.
Dalam laporan Ibn an-Nadim (w. 380 H) dalam Al-Fihrits, buku Politic telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunayn bin Ishaq (w. 260 H). Ini berarti sekitar pertengahan abad ke-3 H itulah, istilah state akhirnya dikenal oleh kaum Muslim. Istilah ad-dawlah boleh jadi digunakan untuk menerjemahkan istilah state itu dan mulai digunakan. Ini dikuatkan dengan karya Ibn Qutaybah ad-Daynuri (w. 250 H), Al-Imâmah wa as-Siyâsah.Di dalamnya istilah dawlah Islâmiyyah sudah digunakan oleh beliau.
Plato dan Aristoteles tidak mendefinisikan kata state (negara) secara spesifik, melainkan menjelaskan gagasan umum mengenai sebuah negara yang diidam-idamkan. Menurut Plato, negara lahir sebagai akibat dari perasaan manusia yang saling memerlukan (interdependency) dan pembagian kerja secara sosial (social division of labour). Plato lalu membayangkan, negara yang baik adalah negara yang dipenuhi kebajikan, dan negara yang dipenuhi kebajikan hanyalah negara yang dipimpin oleh orang yang baik. Karena itu, menurut dia, kepala negara harus seorang raja yang baik (the Philosopher King). Adapun Aristoteles berpendapat bahwa negara merupakan organisme tubuh, dengan desa-desa yang terdiri dari keluarga-keluarga sebagai komponennya. Aristoteles menggambarkan bahwa negara merupakan institusi politik yang paling berdaulat, yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyatnya (lihat: Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hlm. 28-36, Darul Falah, Jakarta, cet. I, 1999,).
Mungkin karena kata state mempunyai ciri-ciri pembagian kerja, kekuasaan politik, penguasa dan pergilirannya, sirkulasi harta, dan sebagainya maka istilah state itu lalu diterjemahkan dengan kata dawlah, yang mempunyai makna al-uqbah (pergiliran) harta dan kekuasaan dan al-ghalabah (kemenangan atau kekuasaan).
Karena tidak dijelaskan oleh nash, untuk mendefinisikan ad-dawlah itu maka tidak bisa menggunakan nash, tetapi harus berpijak pada realitas negara itu sendiri. Negara terbentuk dengan terbentuknya pemikiran baru yang menjadi dasarnya dan kekuasaan di dalamnya berubah sesuai perubahan pemikiran itu. Sebab, ide jika sudah menjadi pemahaman—yakni dipahami konotasinya dan dibenarkan—akan berpengaruh pada perilaku manusia dan membuat perilakunya berjalan menurut pemahaman itu.
Adapun kekuasaan tidak lain adalah pemeliharaan berbagai kemaslahatan ini dan pengelolaan pengaturannya. Karena itu pandangan hidup menjadi asas tegaknya negara dan adanya kekuasaan. Pandangan hidup itu diadakan oleh pemikiran tertentu tentang kehidupan. Pemikiran tertentu tentang kehidupan itu tercermin dalam akumulasi pemahaman/konsepsi (mafâhîm), standar/norma (maqâyîs) dan keyakinan (qanâ’ât). Adapun kekuasaan tidak lain memelihara urusan masyarakat dan mengatur pelaksanaan kemaslahatan masyarakat sesuai akumulasi ini. Akumulasi mafâhîm, maqâyîs dan qanâ’ât itu mengadakan pandangan tentang kehidupan dan berikutnya mewujud-kan pandangan tentang kemaslahatan; sementara kekuasaan memelihara, mengatur dan menjalankannya sesuai akumulasi ini.
Dengan demikian ad-dawlah bisa didefinisikan sebagai entitas implementatif (kiyân tanfîdziyun) untuk mengimplementasi-kan serangkaian pemahaman/konsepsi (mafâhim), standar/norma (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ah) yang diemban oleh umat (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 5, Hizbut Tahrir, 2009).
Pengertian ini menjelaskan bahwa membentuk atau mengubah sebuah negara bukanlah melalui kekuatan dan paksaan, melainkan dengan menanamkan akumulasi mafâhîm, maqâyîs dan qanâ’ât sehingga diterima dan diemban oleh rakyat. Ini meniscayakan proses dakwah secara intelektual dan politik, bukan perang dan aktivitas fisik. Sebab, perubahan mafâhîm, maqâyîs dan qanâ’ât hanyalah dengan proses intelektual dan politik, bukan dengan kekerasan, aksi fisik dan paksaan. Perubahan kekuasaan juga terjadi jika mafâhîm, maqâyîs dan qanâ’at baru itu diterima dan diusung oleh mereka yang memiliki akses pada perubahan kekuasaan yaitu ahlul quwah. Ini sekaligus menunjukkan aktivitas thalab an-nushrah merupakan keharusan. Dari semua itu, membentuk dan mengubah negara dan kekuasaan di dalamnya secara permanen harus dilakukan melalui proses dakwah yang bersifat intelektual dan politik serta aktivitas thalab an-nushrah.
Daulah Islamiyah
Pengertian ad-dawlah itu bersifat umum bisa diterapkan pada semua negara. Sifat dan identitas sebuah negara ditentukan oleh pemahaman/konsepsi (mafâhim), standara/norma (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ah) yang diusung oleh negara itu.
Dalam konteks ini, Ibn Khaldun di dalam bukunya, Muqaddimah Ibn Khaldûn, membedakan siyâsah (politik dan pengaturan) di dalam dawlah menjadi dua. Pertama: beliau namakan siyâsah ‘aqliyyah (politik dan pemerintahan akal) karena undang-undang atau hukum yang diterapkan oleh negara itu bersumber dari akal dan tokoh-tokoh negara. Negara demikian beliau sebut al-mulk atau ad-dawlah saja. Kedua: siyasah syar‘iyyah karena undang-undang atau hukum yang diterapkan oleh negara bersumber dari syariah Allah. Negara model ini beliau sebut ad-dawlah al-islâmiyyah. Yang beliau maksud dengan ad-Dawlah al-Islâmiyyah itu tidak lain adalah Khilafah. Karena itu pembahasan ad-Dawlah al-Islâmiyyah itu beliau muat dalam bab tersendiri yaitu bab “Fî Ma’nâ al-Khilâfah wa al-Imâmah,” tidak disatukan dengan pembahasan al-mulk atau ad-dawlah karena memang berbeda.
Cara seperti itu bukan monopoli Ibn Khaldun, melainkan cara yang ditempuh oleh para fukaha. Di dalam Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, pada topik dawlah dikatakan bahwa dalam pembicaraan tentang karakteristik dan wewenang ad-dawlah, para fukaha memasukkan itu di dalam pembicaraan tentang wewenang dan kekhususan imam. Para fukaha menganggap bahwa ad-dawlah itu terepresentasi pada person imam a’zham atau khalifah dan yang mengikutinya berupa berbagai wewenang, kewajiban dan hak.
Dengan demikian para fukaha tidak berbeda pendapat bahwa ad-Dawlah al-Islâmiyyah itu tiada lain adalah Khilafah, bukan kerajaan (al-mulk) atau sembarang ad-dawlah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]