Beban berat hanya mungkin dipikul oleh orang yang kuat dan hebat. Tugas penting hanya mungkin dijalankan oleh orang pilihan. Amanah yang utama hanya mungkin dilaksanakan oleh orang yang memiliki keutamaan. Taklif istimewa hanya mungkin bisa diemban oleh orang yang juga istimewa.
Beban berat, tugas penting, amanah utama dan taklif istimewa tak mungkin dipikul oleh orang lemah, sembarangan, berkualitas rendah atau biasa-biasa saja.
Dakwah—apalagi dakwah demi tegaknya syariah dan Khilafah—adalah beban berat, tugas penting, amanah utama dan taklif istimewa dari Allah SWT kepada kita. Dakwah ini hanya akan sukses dan berhasil mencapai tujuannya jika diemban oleh orang-orang yang kuat dan hebat, yang memiliki keutamaan dan istimewa; bukan oleh orang-orang yang lemah, sembarangan, berkualitas rendah dan biasa-biasa saja.
Dakwah ini hanya mungkin berhasil mewujudkan tujuannya jika diemban oleh orang-orang sekelas generasi para Sahabat ra. Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., para Sahabat ra. sebagai generasi terbaik terbukti sukses memikul beban dakwah di Makkah hingga berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah.
Karena itu, agar sukses dakwah hari ini sama dengan sukses dakwah yang diraih generasi Sahabat pada masa lalu, mau tak mau, para pengemban dakwah hari ini harus meng-copy paste kepribadian (syakhshiyyah) mereka; baik dalam hal kualitas keimanan dan ketakwaan mereka; banyaknya zikir dan taqarrub mereka kepada Allah SWT; kekhusyukan mereka dalam ibadah dan doa; keluasan ilmu agama mereka; banyaknya amal shalih mereka; keagungan perilaku dan akhlak mereka; besarnya semangat dan ghirah dakwah mereka; serta luar biasanya pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT. Saat para pengemban dakwah gagal meng-copy paste seluruh keteladanan generasi para Sahabat ini, dipastikan gagal pula dakwah yang mereka lakukan.
*****
Pengemban dakwah harus selalu menyadari, bahwa sebuah gerakan dakwah seperti Hizb acapkali memiliki kelemahan bukan pada gagasan/ide (fikrah) maupun metode (thariqah) dakwah/perjuangannya yang terbukti telah teruji selama puluhan tahun. Kelemahan sering justru terletak pada sosok sebagian aktivis dakwahnya.
Harus diakui, kualitas kepribadian (syakhsiyyah) sebagian pengemban dakwah masih amat jauh dari kepribadian (syakhsiyyah) generasi para Sahabat. Dengan kata lain, sebagian dari kita gagal meng-copy-paste kepribadian (syakhsiyyah) generasi Sahabat.
Mengapa gagal? Bukankah gerakan dakwah seperti Hizb punya segalanya dalam membentuk kepribadian islami (asy-syakhsiyyah al-islamiyyah) para aktivisnya? Bukankah Hizb punya kekayaan tsaqafiyyah luar biasa, juga aturan idariyyah yang istimewa, yang mampu membentuk ‘aqliyyah islamiyyah (pola pikir islami) dan nafsiyyah islamiyyah (pola perilaku islami) para syabab-nya? Benar. Itu tak diragukan lagi.
Namun, dalam tataran implementasi, harus diakui, upaya pembentukan ‘aqliyyah islamiyyah dan nafsiyyah islamiyyah para syabab tak sepenuhnya berhasil. Sebabnya, tak semua dari kita menjalankan secara serius dan sungguh-sungguh komitmen kita sebagai pengemban dakwah. Akibatnya, sebagian kita gagal meng-copy-paste keteladanan generasi Sahabat tersebut.
Penguasaan sebagian kita atas tsaqafah Islam, misalnya, masih amat minim; tentu tak bisa dibandingkan dengan kefaqihan Sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas atau Muadz bin Jabbal ra. Semangat belajar sebagian kita pun masih sangat lemah. Masih banyak dari kita yang bahkan tak pernah merasa tertantang sedikit pun untuk sekadar menguasai bahasa Arab. Padahal kita paham betul, di antara faktor kemunduran sekaligus kebangkitan umat adalah bahasa Arab.
Masih banyak di antara kita yang juga tak termotivasi secara kuat untuk menguasai ulumul quran, ulumul hadis, fiqih dan ushul fiqih, dll. Banyak di antara kita yang sudah merasa puas belajar seminggu sekali dalam halaqah.
Akhlak sebagian kita pun masih jauh dari akhlak para Sahabat, semisal Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Kita mungkin masih sering kurang ikhlas, kurang sabar, kurang amanah, gampang emosi, berlaku kasar, berlisan kotor dan memiliki pandangan mata yang kadang masih ‘liar’.
Shalat malam sebagian kita belumlah seperti shalat malam para Sahabat, semisal Umar bin al-Khaththab ra. yang tak pernah terlewat dan senantiasa dilakukan dengan penuh kekhusyukan bahkan tangisan. Aktivitas membaca al-Quran sebagian kita belumlah sesering yang dilakukan para Sahabat, semisal Utsman bin Affan ra. yang bisa mengkhatamkan al-Quran minimal seminggu sekali, terutama di tengah-tengah shalat malamnya.
Semangat dakwah sebagian kita jugabelumlah seperti semangat dakwah para Sahabat yang senantiasa bergelora, sebagaimana ditunjukkan oleh Mushab bin Umair ra. saat diutus oleh Rasulullah saw. berdakwah ke Madinah. Keberanian sebagian kita belumlah menandingi keberanian para Sahabat semisal Ali bin Abi Thalib ra. yang pernah menggantikan posisi Rasulullah saw. di tempat tidur beliau saat beliau justru diancam untuk dibunuh orang-orang Qurays. Ketegaran sebagian kita belumlah selevel ketegaran para Sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud ra. yang pernah sendirian menyerukan Islam di tengah-tengah sebuah pasar meski untuk itu ia harus babak-belur digebuki oleh orang-orang kafir. Hebatnya, hal itu ia lakukan tidak hanya sekali meski untuk itu ia pun babak-belur kembali dihajar massa berkali-kali. Kesabaran sebagian kita dalam menanggung derita pun tak sebanding dengan kesabaran para Sahabat, seperti Bilal bin Rabbah ra. atau keluarga Yasir ra.
Pengorbanan harta sebagian kita pun masih sangat jauh dibandingkan infak yang dikeluarkan para Sahabat seperti Abdurrahman bin Auf ra. Beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 40 ribu dinar (sekitar Rp 80 miliar). Beliau pun pernah menghibahkan seluruh harta perdagangannya (termasuk emas dan perak) yang diangkut oleh 700 ekor unta untuk fakir-miskin di Kota Madinah. Itu belum termasuk infak beliau dalam sejumlah jihad fi sabilillah yang tak terhitung banyaknya. Jika Sahabat Abdrurahman bin Auf ra. berinfak secara ‘royal’ seperti orang yang tak pernah takut jatuh miskin, sebagian kita malah ‘hemat’ dalam berinfak karena khawatir jatuh miskin. Sebagian kita memang ada yang bertekad untuk mencontoh Abdurrahman bi Auf ra., tetapi hanya dalam hal banyaknya harta kekayaan beliau, bukan dalam hal besarnya infak beliau yang amat luar biasa di jalan Allah SWT.
Singkatnya, kita belum menjadi generasi terbaik, sebagaimana generasi para Sahabat Nabi saw. Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]