Pengantar
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah tentu terdiri dari negeri-negeri yang sangat luas. Namun demikian, sistem pemerintahan Islam bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Negara Islam (Khilafah) dibagi dalam beberapa bagian. Setiap bagian disebut wilayah (daerah). Setiap wilayah dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut dengan ‘imalah. Lalu siapa kepala daerah ini, dan seperti apa kekuasaannya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 52, yang berbunyi: “Seluruh negeri yang dikuasai oleh Negara Islam (Khilafah) dibagi ke dalam beberapa bagian. Setiap bagian dinamakan wilayah (provinsi). Setiap wilayah (propinsi) terbagi menjadi beberapa ’imalat (kabupaten). Mereka yang memerintah wilayah (provinsi) disebut wali atau amir dan yang memerintah ‘imalat disebut ‘amil atau hakim.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 16).
Pembagian Wilayah Khilafah
Negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Khilafah dibagi dalam beberapa daerah administratif yang disebut wilayah (daerah provinsi). Setiap wilayah dibagi lagi dalam beberapa daerah administrtif yang disebut ‘imalah (daerah kabupaten). Setiap orang yang memimpin wilayah disebut wali atau amir dan orang yang memimpin ‘imâlah disebut ‘amil atau hakim.
Kemudian setiap ‘imalah dibagi dalam beberapa bagian administratif yang disebut qashabah (kota atau kecamatan). Selanjutnya setiap qashabah dibagi dalam beberapa bagian administratif yang lebih kecil, yang disebut dengan hayyu (dusun, desa, atau kampung). Orang yang mengurusi qashabah atau hayyu, masing-masing disebut dengan mudir (pengelola), yang tugasnya adalah hanya untuk tugas-tugas administrasi saja (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 73).
Para wali adalah para penguasa (hukkam) karena wewenangnya adalah wewenang pemerintahan. Di dalam Qamus al-Muhith dikatakan: “Wa waliya asy-syay’a wa waliya ‘alayhi wilayat[an] wa walayat[an]. Kata wilayat[an] atau wilayah adalah mashdar (infinitif) yang artinya adalah al-khuththah (jalan), al-imarah (kepemimpinan) dan as-sulthan (kekuasaan) (Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhith, hlm. 1781.”
Karena wali adalah penguasa, maka untuk menduduki jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Sebab, wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah. Hal ini didasarkan pada aktivitas Rasulullah saw. Beliau telah mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau memberi mereka hak (wewenang) untuk memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan ‘Adn (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 189; Zallum, Nizam al-Hukm fi al-Islam, hlm. 170; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 73).
Mengingat seorang wali itu adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa dan pemimpin di suatu wilayah (provinsi), maka para wali adalah wakil Khalifah. Karena itu mereka harus menjalankan semua aktivitas yang diwakilkan oleh Khalifah kepada dirinya. Untuk jabatan wali ini, syariah tidak menetapkan batasan tertentu. Setiap orang yang ditunjuk untuk mewakili Khalifah dalam menjalankan aktivitas pemerintahan adalah wali terkait aktivitas itu, sesuai dengan konteks redaksi yang ditetapkan Khalifah ketika pengangkatannya sebagai wali. Akan tetapi, terkait kekuasaannya terhadap suatu wilayah, maka tempatnya dibatasi. Sebab, Rasulullah saw. telah membatasi daerah atau wilayah yang akan menjadi daerah atau wilayah kekuasaan wali yang beliau angkat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 189; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 170).
Dua Bentuk Wilayah
Jika Khalifah mengangkat seorang amir (pemimpin) untuk suatu daerah, wilayah atau negeri, maka kepemimpinan dan kekuasaannya ada dua bentuk: kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) dan kekuasaan khusus (wilayah khashshah) (Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 170; al-Mawardi, Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm. 30).
Kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) artinya bahwa wewenangnya meliputi semua urusan pemerintahan yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika Khalifah mengangkat dia untuk suatu daerah atau wilayah, maka Khalifah memberi dia wewenang untuk mengatur semua urusan rakyatnya, dan menyelesaikan semua tugas-tugas yang dikuasakan kepada dia. Dengan kata lain, wewenang yang diberikan Khalifah kepada dia adalah wewenang secara umum.
Adapun kekuasaan khusus (wilayah khashshah) artinya bahwa wewenangnya dibatasi untuk mengatur angkatan bersenjata (militer), mengurusi warga, melindungi wilayah, atau membela perempuan dan anak-anak di wilayah dan daerah kekuasaannya. Ia tidak boleh menangani peradilan (al-qadha’), mengumpulkan kharaj dan shadaqah.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. telah mengangkat wali dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah). Rasulullah saw. mengangkat Amr bin Hazm untuk menjadi wali di Yaman dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah). Rasulullah juga telah mengangkat wali dengan kekuasaan khusus (wilayah khashshah). Rasulullah saw. mengangkat Ali bin Abi Thalib menjadi wali di Yaman dengan wewenang khusus untuk menangani peradilan.
Praktik seperti itu terus berjalan di era Kekhilafahan sesudah Rasulullah saw. Karena itu mereka juga mengangkat wali dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah). Khalifah Umar bin Khaththab ra. telah mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah). Mereka juga mengangkat wali dengan kekuasaan khusus (wilayah khashshah).
Khalifah Ali bin Abu Thalib ra. telah mengangkat Abdullah bin Abbas ke Bashrah khusus untuk mengurusi selain al-mal (harta), dan secara bersamaan mengangkat Ziyad khusus untuk mengurusi al-mal. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 190; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 171).
Dengan demikian kekuasaan (wilayah) pada masa awal telah mengenal dua bentuk wilayah: wilayah ash-shalah dan wilayah al-kharaj. Karena itu kita menjumpai buku-buku sejarah ketika membicarakan masalah ini menggunakan dua bentuk ini bagi para amir (wali), yaitu: al-imarah ‘ala ash-shalah (kepemimpinan atas shalat) dan al-‘imarah ‘ala ash-shalah wa al-kharaj (kepemimpinan atas shalat dan kharaj). Artinya, seorang amir kadang-kadang diangkat menjadi amir shalat dan kharaj; kadang-kadang menjadi amir shalat saja; dan kadang-kadang menjadi amir kharaj saja.
Makna shalat dalam masalah wilayah (kekuasaan) atau imarah (kepemimpinan) ini bukan berarti menjadi imam masyarakat dalam memimpin pelaksanaan shalat saja, namun kekuasaan dan kepemiminan atas mereka berlaku dalam seluruh urusan. Sebab, penggunaan kata shalat di sini masuk dalam ithlaqu juz[in] wa iradati kull[in] (menyebutkan sebagian, namun maksudnya keseluruan).
Akan tetapi, dalam masalah ini dikecuali urusan al-mal (harta). Dengan demikian kata shalat di sini maksudnya adalah mengurusi semua urusan pemerintahan, kecuali masalah pengumpulan harta.
Jika seseorang diangkat menjadi wali shalat dan kharaj sekaligus, maka wilayah (kekuasaan dan kepemimpinan) yang diberikan kepada dia bersifat umum, yakni ia sebagai wali dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah). Jika seseorang diangkat menjadi wali untuk shalat saja, atau kharaj saja, maka dengan pembatasan ini, ia adalah seorang wali dengan kekuasaan khusus (wilayah khashshah).
Dalam masalah pemberian wilayah (kekuasaan dan kepemimpinan) yang sifatnya khusus ini, semuanya kembali pada pengaturan (kebijakan) Khalifah. Khalifah berhak mengkhususkan wilayah (kekuasaan dan kepemimpinan) seorang wali hanya untuk masalah kharaj saja. Khalifah juga berhak mengkhususkannya untuk masalah qadha’ (peradilan) saja. Khalifah juga berhak mengkhususkannya untuk masalah selain harta (al-mâl), peradilan (qadha’) dan pasukan (al-jaisy). Dalam hal ini, Khalifah berhak melakukan apa saja yang ia pandang baik untuk mengatur negara, atau untuk mengatur suatu wilayah. Sebab, syariah tidak menentukan aktivitas-aktivitas tertentu bagi jabatan wali. Syariah juga tidak mewajibkan agar seorang wali mengurusi seluruh urusan pemerintahan. Syariah hanya menentukan bahwa aktivitas wali atau amir adalah aktivitas pemerintahan dan kekuasaan; menentukan bahwa wali adalah wakil Khalifah; juga menentukan bahwa wali atau amir itu menjadi amir (pemimpin) untuk tempat tertentu. Hal itu sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Namun demikian, syariah juga menetapkan bahwa Khalifah berhak mengangkat wali dengan wewenang yang bersifat umum (wilayah ‘ammah). Ia berhak pula mengangkat wali dengan kepemimpinan yang bersifat khusus (wilayah khashshah) untuk suatu tugas tertentu menurut pandangan Khalifah. Hal itu tampak dalam aktivitas Rasulullah saw. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 190; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 172; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 75).
Wilayah ‘Ammah atau Wilayah Khashshah
Khalifah memang boleh mengangkat wali dengan kekuasaan dan kepemimpinan umum (wilayah ‘ammah); boleh juga mengangkat wali dengan kekuasaan dan kepemimpinan khusus (wilayah khashshah). Namun, pada masa-masa terjadinya kelemahan para khalifah Abbasiyah, maka kekuasaan dan kepemimpinan wali yang bersifat umum (wilayah ‘ammah) ini benar-benar telah memberikan kemungkinan beberapa wilayah (daerah) menjadi independen hingga tidak tersisa lagi kekuasaan bagi Khalifah, kecuali sekadar sebutan namanya dan pencetakan mata uang atas namanya. Dari sini ternyata pemberian kekuasaan dan kepemimpinan yang bersifat umum (wilayah ‘ammah) itu telah menyebabkan dharar (kemadaratan dan ancaman) bagi keutuhan dan kesatuan Negara Islam.
Dengan mempertimbangkan bahwa wilayah (kekuasaan dan kepemimpinan) yang bersifat umum (wilayah ‘ammah) itu ternyata telah mengakibatkan kemadaratan, bahaya dan ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan negara, maka Hizbut Tahrir mengadopsi pengangkatan wali dengan kekuasaan dan kepemimpinan yang bersifat khusus (wilayah khashshah) untuk urusan selain urusan yang memungkinkan seorang wali terlepas (independen) dari Khalifah, pada saat ketakwaan wali itu lemah. Berdasarkan pendalaman terhadap realitas, maka urusan-urusan yang kekuasaan dan kepemimpinannya tidak diberikan kepada wali adalah urusan militer (al-jaisy), peradilan (al-qadha’) dan keuangan (al-mal). Dengan demikian, urusan-urusan tersebut diurusi oleh struktur tersendiri yang dikontrol langsung oleh Khalifah sebagaimana halnya struktur-struktur Khilafah yang lain. Maksudnya, urusan militer, peradilan dan keuangan ini berdiri sendiri, tidak masuk dalam wilayah (kekuasaan) seorang wali (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 75).
WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muhith, (Kairo: Darul Hadits), Cetakan I, 2008.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah (Beirut: Dar al-Fikr), Cetalakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.