Dubes Palestina untuk Indonesia, Faris N Mehdawi, “Tak ada perang di Gaza. Yang ada adalah pembantaian.”(Kompas, 7/16/2014).
Sejak 8 juli 2014, Zionis Israel menggempur Jalur Gaza-Palestina melalui laut, darat dan udara dengan mengerahkan sekitar 86 ribu serdadunya. Hingga tulisan ini dibuat, berdasarkan sumber dari Kementerian Kesehatan Palestina pada hari Selasa (5/8/2014), hampir sebulan agresi penjajah Zionis ke Jalur Gaza telah menelan korban sebanyak 1.867 warga gugur (insya Allah syahid) dan 9.563 luka-luka.
Melihat jumlah korban yang meninggal ataupun yang luka, jelas sekali bahwa yang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan sebuah pembantaian. Korban yang gugur dari pihak Israel hanyalah buah dari perlawanan bangsa Palestina yang tidak rela dibunuh oleh invasi Zionis Israel yang telah terjadi sejak tahun 1948. “Satu-satunya kesalahan saya adalah bahwa saya berdiri dan berjuang untuk tanah saya yang hilang dan untuk segala sesuatu yang saya sayangi. Dunia menuduh saya teroris hanya karena saya menolak untuk dibunuh seperti binatang. Akan tetapi, bukankah binatang pun akan berjuang untuk mempertahankan hidupnya?” tulis Maisam Abumorr, seorang blogger Palestina pada artikel berjudul, “Sebuah Pertanyaan dari Gaza: Apakah Saya Bukan Manusia?” (Arrahmah. com, 8/6/2014).
Sebelumnya, kematian tiga remaja Israel (Naftali Frenkel, Gilad Shaar, dan Eyal Yifrach) yang diculik pada 12 Juni 2014 di Hebron Tepi Barat menjadi “alasan” Israel untuk melakukan agresi ke Palestina. Israel menuduh Hamas sebagai otak di balik penculikan dan pembu-nuhan tersebut. Israel pun bersumpah akan membalas. Hamas berulang-ulang membantah tuduhan Israel tersebut.
Akar Masalah Palestina: Penjajahan
Penderitaan bangsa Palestina sebenarnya dimulai ketika Negara Zionis Israel berdiri pada tahun 1948 melalui dukungan Inggris, Amerika dan PBB. Israel kemudian membangun pemukiman untuk penduduk Yahudi di atas tanah kaum Muslim Palestina. Akibatnya, pengusiran besar-besaran pun dilakukan, disertai dengan pembunuhan dan pembantaian. Itu terus terjadi sampai sekarang. Artinya, sudah lebih dari 66 tahun penderitaan ini dialami oleh bangsa Palestina sampai sekarang.
Sebelum Israel bercokol di Timur Tengah khususnya di Tanah Palestina yang mereka diami sekarang, Palestina merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Ustmaniyah. Keinginan bangsa Yahudi untuk punya tanah air sendiri sudah lama terpendam. Salah seorang tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl (1860-1904) menulis cita-citanya dalam buku yang berjudul Der Judenstadt (Negara Yahudi). Alasan pemilihan Palestina adalah latar belakang historis untuk mengembalikan “Haikal Sulaiman” yang merupakan lambang puncak kejayaan Kerajaan Yahudi di Tanah Palestina (sekitar 975 – 935 SM).
Pada Juni tahun 1896 M, pemimpin Yahudi Internasional Theodore Herzl ditemani Neolanski mendatangi Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan mereka adalah untuk meminta Khalifah agar memberikan Tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberikan iming-iming,“Jika kami berhasil menguasai Palestina, kami akan memberi uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan memberikan hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk membereskan masalah keuangan Turki.”
Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras. Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina) karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyirami tanah ini dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku hidup, aku lebih rela menusuk tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!”
Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang ia keluarkan pada tahun 1890 M, “Wajib bagi semua menteri untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut.” (As-Sulthan Abdul Hamid II, hlm. 88).
Ketegasan Khalifah menjadikan Herzl tak berdaya. Dia pun menyampaikan, “Sesungguh-nya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya” (Al-Yahud wa ad-Dawlat al-Utsmaniyah, hlm. 158).
Pada tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti: memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan; membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling; membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank; memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan membangun sebuah Universitas Utsmani di Palestina.
Namun, semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II. (Beberapa catatan menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi Yahudi mendatangi Istana Khalifah untuk meloloskan proposal ini. Di antara dialog yang menyarankan agar orang-orang Yahudi membeli Palestina terjadi antara Sir Moses Haim Montefiore dengan Shah Nasr ad-Dhin.( Namun, Khalifah Abdul Hamid II menolak dan mengatakan kepada delegasi tersebut,( “Nasihatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Saya tidak dapat mundur dari tanah suci Palestina ini. Sebab, tanah ini bukan milik saya. Tanah suci ini adalah milik rakyat saya. Nenek moyang kami telah berjuang demi mendapatkan tanah suci ini. Mereka telah menyirami tanah ini dengan tumpahan darah. Cabik-cabiklah dulu tubuh dan raga kami, jika bisa! Ingat, kami tidak akan membiarkan raga kami dicabik-cabik selama hayat masih dikandung badan!” (Al-Yahud wa ad-Dawlat al-Utsmaniyah, hlm. 116).
Beliau pun pernah menyatakan, “Wahai kaum Muslim, kita tidak dapat meninggalkan al-Quds. Dia adalah kota suci kita. Al-Quds selamanya harus berada di tangan kita.” (Al-Utsmaniyyun fi at-Tarikh wa al-Hadharah, hlm. 57).
Setelah tidak berhasil dengan upaya tersebut, kaum Zionis berpindah cara, yakni dengan cara menggunakan kekuatan negara Inggris. Bagaimana caranya? Yakni dengan menjerat negara Inggris dengan utang beserta ribanya. Hal ini terjadi pasca Perang Dunia I.
Perang Dunia I
Kekhilafahan Turki Ustmani terlibat Perang Dunia I, yakni bersekutu dengan Jerman. Selama Perang Dunia I (1914-1918), Turki menjadi sekutu Jerman. Ketika Jerman dan Turki kalah, pada tahun 1916 kontrol atas wilayah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani dilimpahkan kepada Inggris (British Mandate) dan Prancis (France Mandate). Ini dilakukan di bawah Perjanjian Sykes-Picot yang membagi Arab menjadi beberapa wilayah. Libanon dan Syria di bawah kekuasaan Prancis (France Mandate). Irak dan Palestina termasuk wilayah yang saat ini dikenal dengan negara Jordan di bawah kekuasaan Inggris (British Mandate).
Lewat jeratan utang, Rothschild, seorang bankir Yahudi ternama di Inggris, kemudian memutar uangnya dengan mekanisme riba hingga mampu mengutangi negara-negara yang terlibat perang dan butuh biaya besar. Ketika leher Inggris sudah terjerat utang dan ribanya, Rothschild meminta tanah untuk bangsanya. Pemerintahan Inggris, dalam hal ini Ratu Inggris, mengiyakan permintaan dari Zionis Yahudi tersebut.
Akhirnya, Menteri Luar Negeri Pemerintah Inggris, yakni Arthur James Balfour, pada 2 November 1917 mengeluarkan sebuah surat yang ditujukan kepada Rothschild. Surat ini dikenal dengan nama Deklarasi Balfour 1917. Surat tersebut adalah menyatakan bahwa Pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina serta akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan pencapaian tujuan tersebut.
Akhirnya, secara resmi pada 14 Mei 1948, melalui dukungan Inggris, Amerika Serikat dan PBB, diproklamirkanlah pendirian negara Israel di atas tanah wakaf milik kaum Muslim, yakni Palestina. Sejak saat itu, dimulailah penderitaan bangsa Palestina di bawah pendudukkan dan penjajahan Zionis Israel. Mereka kemudian mengusir bahkan membunuhi bangsa Palestina. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga saat ini.
Solusi Semu
Terhadap apa yang terjadi pada bangsa Palestina, berbagai solusi ditawarkan baik dari negeri-negeri Muslim maupun dari negara-negara Barat.
- Solusi dua negara (two state solution).
Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina telah muncul sejak 1974. Ini dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993. Tawaran solusi ini sebenarnya berasal dari resolusi PBB 181 yang ingin membagi Tanah Palestina menjadi dua bagian: satu untuk Palestina dan satu untuk Israel (two state solution). Dengan solusi ini diharapkan Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Tawaran solusi ini adalah tawaran batil. Solusi tersebut sama saja artinya dengan mengakui keberadaan negara Israel di tanah wakaf milik kaum Muslim. Ibaratnya, ada perampok yang ingin mengambil sebidang tanah; lalu datanglah pihak lain yang mendamaikan dengan memberikan solusi sebidang tanah tersebut di bagi dua, yakni separuh untuk si perampok dan separuhnya untuk si pemilik asli tanah tersebut. Jelas solusi ini tidak mungkin karena batil. Pasalnya, status Tanah Palestina adalah milik kaum Muslim sampai hari kiamat berdasarkan Perjanjian ‘Illiya. Sikap penguasa negeri kaum Muslim yang turut menyetujui usulan solusi dua negara tersebut hakikatnya merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kaum Muslim sendiri.
- Solusi berupa doa.
Sebagian kaum Muslim ada yang berpendapat bahwa solusi Palestina adalah dengan doa. Memang disebutkan dalam sebuah hadis, “Takutlah kamu akan doa seorang yang terzalimi, karena doa tersebut tidak memiliki hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, berdoa saja tentu tidaklah cukup. Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menghentikan kebiadaban pembantaian terhadap bangsa Palestina oleh Zionis Israel tersebut. Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat beliau pun dulu, selain berdoa, juga bersungguh-sungguh berjihad melawan kaum kafir Qurays dengan menggunakan taktik militer yang brilian seperti saat terjadi Perang Badar dan Perang Khandaq.
- Pengiriman bantuan dana dan obat-obatan.
Apa yang terjadi di Palestina harus dilihat dari dua sisi, yakni korban (Palestina) dan pelaku (Israel). Untuk korban, baik bantuan dana dan obat-obatan serta bantuan material lainnya telah dan akan terus diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum Muslim di Palestina. Namun, seharusnya juga ada tindakan konkrit terhadap pelakunya, yakni terhadap Zionis Israel. Kalau solusi konkrit yang dilakukan hanyalah untuk korban saja, bukan untuk pelaku, maka itu sama artinya dengan memperlama penderitaan kaum Muslim di Palestina. Ibaratnya, tangan kanan yang diobati, Israel akan melukai tangan kiri; kemudian diobati lagi, Israel kemudian melukai bagian kaki; diobati lagi dan begitulah seterusnya. Dengan demikian pemberian dana dan obat-obatan tersebut tidak akan bisa menghentikan penindasan Israel terhadap kaum Muslim Palestina. Tentu setiap bantuan dana dan obat-obatan sedikit-banyak bisa mengurangi penderitaan mereka. Namun, sekali lagi, hal tersebut bukanlah thariqah atau metode yang bisa menghentikan kekejaman Israel terhadap kaum Muslim di Palestina.
Solusi Hakiki: Khilafah dan Jihad
Islam sudah menetapkan metode dan tuntunan dalam menghadapi atau mengatasi berbagai persoalan. Metode itu merupakan bagian dari hukum syariah yang harus diikuti. Metode syar’i untuk menghadapi invasi musuh adalah dengan jihad. Metode mengatasi penjajahan adalah dengan mengusir penjajah juga dengan jihad.
Demikian pula dengan persoalan Palestina. Persoalan yang terjadi adalah adanya invasi dan penjajahan oleh Zionis Israel terhadap Palestina. Karena itu metode syar’i untuk menghilangkan segala bentuk invasi dan penjajahan Israel adalah dengan jihad, bukan dengan metode yang lain. Caranya adalah dengan mengirimkan tentara-tentara dari negeri-negeri kaum Muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah.
Di sinilah relevansi dan sekaligus pentingnya Khilafah. Khilafah adalah institusi pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri kaum Muslim kemudian mengerahkan tentaranya untuk mengusir entitas Yahudi dari Tanah Palestina. Bersatunya tentara-tentara dari negeri kaum Muslim tersebut akan membuat gentar entitas Zionis Israel yang hanya berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa tersebut. Tanpa Khilafah, umat Islam akan tetap tercerai-berai, tersekat atas nama nation state (negara bangsa). Akibatnya, mereka sulit untuk bersatu-padu mengusir Israel. Selain itu, para penguasa di negeri kaum Muslim saat ini memang enggan mengirimkan tentaranya untuk membantu bangsa Palestina, kecuali hanya berani mengutuk dan mengecam serta mengirimkan bantuan dana dan obat-obatan saja.
Dulu, Theodore Herzl merasa putus harapan untuk menguasai Palestina karena ketegasan penguasa Muslim kala itu, Khalifah Abdul Hamid II. Beliau tidak mau berkompromi sedikitpun dengan Theodore Herzl. Namun kini, Israel tidak merasa gentar kepada Dunia Islam. Padahal negerinya besar-besar dan penduduknya lebih dari 1,6 miliar. Mengapa? Sebab, kaum Muslim terpecah-pecah dan penguasanya tidak tegas seperti Khalifah Abdul Hamid II. Israel pun sadar dan paham, bahwa penguasa di negeri-negeri kaum Muslim hanya berani mengecam. Karena itu mereka berani untuk terus melakukan pembantaian terhadap kaum Muslim Palestina sampai sekarang.
Selama Zionis Israel masih berada di Tanah Palestina, selama itu pula penderitaan kaum Muslim akan terus terjadi. Oleh karena itu, tidak ada solusi yang bisa menuntaskan masalah Palestina selain dengan pengerahan tentara dari negeri-negeri kaum Muslim hingga Zionis Israel keluar dari tanah wakaf milik kaum Muslim tersebut. Dengan kata lain, solusinya adalah dengan Khilafah dan jihad! WalLahu a’lam bis-shawab. [Adi Victoria; Humas HTI Kota Samarinda]