Kota di Cina Melarang Pria Berjenggot dan Wanita Berkerudung Naik Bus
Sebuah kota di wilayah Xinjiang barat laut Cina telah melarang orang-orang yang berjenggot lebal atau berpakaian Muslim untuk naik bus. Demikian laporanmedia Pemerintah.
“Pihak berwenang di Karamay melarang Muslimah yang berjilbab, kerudung, niqab, atau pakaian dengan simbol bintang dan bulan sabit untuk naik bus lokal,” kata koran Karamay Daily yang dikelola Partai Komunis, Senin (4/8) seperti diberitakan Aljazeera dua hari kemudian.
Larangan di Karamay itu dimaksudkan untuk membantu memperkuat keamanan selama pelaksanaan pertandingan olahraga yang berakhir pada tanggal 20 Agustus, kata laporan itu.
Xinjiang adalah tempat bagi orang-orang Muslim Uighur yang berbicara dalam bahasa Turki.
Kelompok HAM mengatakan pembatasan kebebasan beragama dan budaya suku Uighur telah memicu ketegangan. Kelompok Uighur yang diasingkan dan para aktivis HAM mengatakan kebijakan Pemerintah di Xinjiang, termasuk kontrol atas Islam, telah memprovokasi kerusuhan.[]
Yordania Deportasi Pengungsi Palestina yang Melarikan Diri dari Suriah
Pemerintah Yordania telah dikritik oleh sebuah kelompok HAM karena memaksa para pengungsi Palestina yang melarikan diri dari konflik di Suriah untuk kembali ke negara yang dilanda konflik itu.
Seperti diberitakan Aljazeera pada Kamis (7/8), Human Rights Watch (HRW) merilis sebuah laporan pada hari Kamis yang berjudul: “Not Welcome: Jordan’s Treatment of Palestinians Escaping Syria.” (Tidak Disambut: Perlakuan Yordania Terhadap Pengungsi Palestina yang Melarikan Diri dari Suriah).
HRW mengatakan bahwa lebih dari 100 warga Palestina telah diusir dari Yordania. Amman juga baru saja menolak masuk para pengungsi Palestina lainnya dari Suriah yang mencari perlindungan di negara itu. “Pengusiran ini membuat mereka berisiko tinggi untuk dieksploitasi di Yordania karena mereka tidak mendapat akses masuk ke kamp-kamp pengungsi yang dibuat untuk warga Suriah, atau untuk bekerja,” demikian kata Adam Coogle, salah satu peneliti dalam laporan itu.[]
Amerika Mengakui Keberhasilan Obama yang Paling Menonjol Adalah Menguatnya Hubungan dengan Iran
Departemen Luar Negeri Amerika mengumumkan dalam sebuah pernyataan mendadak pada malam tanggal (7/8), bahwa pilar-pilar kebijakan luar negeri Amerika telah pergi ke Jenewa untuk melakukan negosiasi bilateral dengan Iran. Ini yang ketiga kalinya Amerika melakukan negosiasi langsung dengan Iran dalam masalah nuklir, tanpa para sekutunya, Eropa. Meski demikian, Departemen Luar Negeri Amerika bersikeras bahwa negosiasi ini berlangsung dalam kerangka upaya Kelompok 5+1, yang dipimpin oleh Catherine Ashton, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa.
Surat kabar asy-Syarq al-Ausath, mengutip para pejabat Amerika, mengatakan bahwa masalah ini sebagai “keberhasilan Obama yang paling menonjol pada tingkat internasional, lima tahun setelah ia menduduki Gedung Putih.”
“Obama telah menempatkan sejumlah prioritas dalam kepemimpinannya pada tingkat luar negeri. Yang paling menonjol adalah perang melawan terorisme, penempatan perdamaian di Timur Tengah dan penyebaran kelompok-kelompok ekstremis.” Namun, terkait semua ini, ia gagal.
“Untuk itu, Obama melirik perundingan nuklir dengan Iran sebagai prioritas yang harus dilestarikan. Keberhasilannya harus menjadi keberhasilan yang mengakhiri kelesuan dengan Teheran, yang bisa dibanggakan Obama sebelum berakhir masa jabatannya pada akhir tahun 2016.”
Menurut Ketua Kantor Berita Hizbut Tahrir Osman Bakhas, ini berarti keberhasilan terbesar pemerintahan Obama adalah menegaskan Iran sebagai antek Amerika secara terbuka. Keberadaan rezim Iran yang baru sebagai antek Amerika dimulai sejak hari-hari awal revolusi.
Oleh karena itu, ketika Amerika menekan Syah hingga lengser, dan diproklamirkan Republik Iran, Hizbut Tahrir melihat hubungan rezim baru ini dengan Amerika dalam beberapa insiden. Namun semua itu dibungkus secara rapi dengan slogan-slogan palsu, seperti “Matilah Amerika”. Padahal semua mengetahui bahwa para penguasa Iran telah menyatakan lebih dari sekali tentang kerjasama mereka dengan Amerika Serikat di Irak dan Afganistan.
Kerjasama Iran dengan Amerika terlihat telanjang ketika mereka memerangi rakyat Suriah untuk melindungi antek Amerika, Basyar al-Assad. Oleh karena itu, para penguasa Iran tidak lagi malu menunjukkan bahwa mereka adalah antek Amerika. Iran telah melakukan pembantaian mengerikan bersama partainya (Hizbullah) di Libanon serta geng-gengnya yang berasal dari Irak dalam membantu rezim sekular di Suriah.
Iran telah memproklamirkan diri sebagai antek Amerika di bawah kedok perundingan program nuklir. Iran juga menyatakan kesiapannya untuk perang membantu Amerika di Irak, seperti yang dikemukakan Presiden Iran Hassan Rohani pada tanggal 14/6/2014, di depan seluruh rakyatnya melalui televisi Iran. Rohani mengatakan, “Iran tidak menolak untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat guna memulihkan keamanan Irak jika Washington menghadapi kelompok-kelompok teroris di Irak dan di tempat lain.”
Dikatakan, “Ada koordinasi antara Iran dan Amerika, khususnya di tingkat Kementerian Luar Negeri.”
Seperti dinyatakan Hashemi Rafsanjani, mantan Presiden Iran dan Ketua Badan Pengkaji Kebijakan Rezim kepada surat kabar Asahi Shimbun, yang juga dikutip oleh kantor berita AFP pada 9/7/2014, “Kami terlibat dengan Amerika Serikat dalam berbagai masalah yang sama. Kami tidak menemukan hambatan dalam kerjasama kami. Kami akan terus bekerjasama jika diperlukan.” [Joko Prasetyo dari berbagai sumber]