Pengantar Redaksi:
Untuk kesekian kalinya, Palestina kembali membara. Gaza kembali diserang oleh Zionis Israel. Sayang, seruan jihad sebagai satu-satunya solusi untuk menghentikan kekejian Zionis Israel nyaris tak terdengar. Yang nyaring terdengar sekadar kutukan demi kutukan, plus bantuan kemanusiaan yang tak mungkin bisa menghentikan penderitaan rakyat Palestina di bawah pendudukan Zionis Israel.
Hizbut Tahrir sejak lama tegas menyatakan bahwa akar persoalan Palestina adalah pendudukan, penjajahan dan perampasan Tanah Palestina oleh agresor Zionis Israel. Maka dari itu, solusi apapun yang tidak memaksa Israel diusir dari Bumi Palestina adalah solusi semu, bahkan palsu.
Untuk mengetahui lebih jelas akar persoalan Palestina dan solusinya, Redaksi mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, M. Ismail Yusanto. Berikut petikan wawancaranya.
Gaza kembali diserang dengan brutal oleh Israel. Bagaimana Ustadz melihat kondisi itu?
Pertama: Ini membuktikan untuk kesekian kalinya betapa brutal dan biadabnya Zionis Israel. Tanpa sungkan sedikitpun, mereka membombardir Gaza. Tak peduli, siapa saja dan apa saja menjadi sasaran amuk mereka. Laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan bayi menjadi korban. Bangunan rumah, sekolah, bahkan tempat ibadah mereka hancurkan. Apa yang terjadi di Gaza adalah pembantaian, bukan perang. Kalau perang, ada dua pihak yang sama-sama bersenjata. Ini satu pihak bersenjata lengkap dan canggih, sementara di pihak lain bisa dikatakan tidak bersenjata sama sekali. Ini karena memang Israel, AS dan sekutu-sekutunya tidak membolehkan Otoritas Palestina baik di Tepi Barat maupun di Gaza untuk mempunyai angkatan bersenjata, apalagi pesawat-pesawat tempur. Walhasil, Palestina adalah “negara” yang sangat lemah. Apalagi Gaza. Sudahlah lemah karena tidak dilengkapi dengan persenjataan semestinya, wilayah ini juga sudah sekian tahun lamanya diblokade oleh Israel dengan tembok keliling setinggi 23 meter. Jadilah Gaza kini bak penjara raksasa yang terbuka bagian atasnya. Dari kejauhan Israel dengan leluasa menjatuhkan bom, menembakkan altileri, dan bila perlu mengirim pesawat tempur untuk menghajar sasaran tembak seperti yang mereka lakukan saat mengeksekusi Syaikh Ahmad Yasin rahimahulLah beberapa tahun lalu. Akibat serangan brutal Israel itu, ada lebih dari 1800 warga Gaza tewas, ribuan lagi luka-luka dan ribuan bangungan, termasuk masjid, hancur.
Kedua: Hipokritnya negara-negara Barat, khususnya AS. Mereka selalu berteriak di mana-mana soal demokrasi dan perlindungan terhadap HAM. Mereka langsung bereaksi begitu ada warganya atau warga negara sekutunya yang tewas. Tapi lihatlah, bila menyangkut Dunia Islam seperti dalam soal Gaza, mereka diam dan pura-pura tak melihat apa yang terjadi di sana. Alih-alih mengutuk Israel, AS malah menyalahkan HAMAS yang dianggap telah menyerang Israel lebih dulu.
Ketiga: mandulnya PBB dan lembaga-lembaga dunia lain setiap kali berhadapan dengan Israel. Bukan kali ini saja PBB tidak berdaya. Terhadap kebiadaban-kebiadaban Israel sebelumnya, PBB juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan puluhan resolusi PBB yang terkait Israel yang diabaikan begitu saja oleh Israel pun PBB diam saja. Sebaliknya, terhadap resolusi yang terkait negara selain Israel, seperti terhadap Irak yang dianggap melakukan pelanggaran wilayah Kuwait beberapa waktu lalu, PBB sigap bergerak. Mengapa begitu? PBB selama ini memang tidak lebih dari sekadar alat dari negara-negara Barat untuk menjaga kepentingan mereka. PBB tentu tidak akan berani berbuat bila itu bertentangan dengan kepentingan Barat.
Keempat: Tragedi Gaza membuktikan betapa rapuh dan lemahnya umat Islam sedunia yang saat ini berjumlah lebih dari 1,6 miliar. Sungguh ironis. Umat Islam yang begitu banyak tak berdaya menghadapi kebiadaban negara Israel yang hanya berpenduduk sekitar 7 juta orang. Bahkan saking lemahnya, berpikir logis pun umat Islam tak mampu. Lihatlah, meski sudah dibombardir begitu rupa, tetap saja seruan untuk mengirim pasukan ke sana tak pernah ditanggapi secara serius. Penguasa negeri-negeri Muslim hanya berkutat pada kutukan, seruan atau penggalangan bantuan dana, makanan dan obat-obatan. Pengiriman pasukan dari negeri Muslim tidak pernah masuk dalam daftar tindakan.
Bagaimana seharusnya peran para penguasa itu?
Bantuan pangan, obat-obatan dan dana memang sangat diperlukan; tetapi itu semua untuk para korban. Lalu apa tindakan terhadap pihak yang menimbulkan korban, dalam hal ini Israel? Tidak ada. Paling jauh penguasa negeri-negeri Muslim, khususnya negara-negara Arab yang dekat dengan kawasan Gaza, melakukan kecaman atau langkah-langkah diplomasi, lobi politik dan semacamnya. Ingat, Israel ini negara yang sangat tidak beradab. Mana mempan mereka dengan kecaman. Lihat saja, ada ribuan kecaman, kutukan bahkan demo besar dilakukan di seantero dunia termasuk di negara-negara Barat. Semua itu tak sedikitpun menyurutkan kebiadaban mereka. Tetap saja mereka melanjutkan pembantaian terhadap warga Gaza. Begitu juga dengan langkah diplomasi. Semua tak digubris. Resolusi PBB bisa disebut puncak dari ikhtiar diplomasi internasional. Namun, lihatlah juga, sudah puluhan resolusi PBB diacuhkan begitu saja oleh Israel, dan anehnya dunia internasional juga diam saja. Oleh karena itu, tidak ada cara yang masuk akal untuk menghentikan kebiadaban Israel ini kecuali dengan kekuatan militer. Karena itu, mestinya, penguasa negeri-negeri Muslim ini kompak mengirimkan pasukan ke sana. Andai saja masing-masing negara mau mengirimkan satu batalion tentara maka akan terkumpul lebih dari 25 batalion. Jumlah itu saya kira lebih dari cukup untuk menghajar negara zionis ini.
Banyak pihak secara internasional mengedepankan solusi dalam bentuk mengadukan Israel ke DK PBB atau Mahkamah Internasional. Apakah solusi itu efektif?
Sama sekali tidak efektif. Itu hanya solusi pura-pura. Buang-buang waktu saja. Dengan segepok bukti mandulnya lembaga dunia itu, masihkah kita percaya pada lembaga dunia seperti PBB? Juga, sudah puluhan kali Israel melakukan kejahatan perang, tetapi apa yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional? Tak ada. Bodoh sekali kita kalau masih percaya dan berharap pada lembaga-lembaga semacam itu, yang jelas-jelas berlaku sangat diskriminatif terhadap Dunia Islam.
Lalu apa yang diserukan oleh Hizbut Tahrir untuk menyelesaikan Tragedi Gaza itu?
Dalam jangka pendek ini, selain pengiriman bahan makan dan obat-obatan, Hizbut Tahrir menyerukan agar negeri-negeri Muslim mengirimkan tentaranya ke Gaza. Bahan makanan dan obat-obatan diperlukan oleh korban. Adapun pengiriman tentara diperlukan untuk menghentikan kebiadaban Israel. Untuk jangka panjang, Hizbut Tahrir menyerukan kepada umat, khususnya para ahlul quwwah dan ahlus sultah, untuk bersungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah. Hanya Khilafahlah yang akan mampu mempersatukan umat Islam seluruh dunia. Dengan persatuan itu umat Islam menjadi kuat sehingga mampu melindungi harkat martabat umat serta melindungi wilayah negeri-negeri Muslim yang demikian kaya dan strategis itu, termasuk Gaza, dari kebiadaban musuh-musuh Islam.
Ada yang mengatakan, Hizbut Tahrir menyerukan jihad itu Cuma omong doang. Mengapa Hizb tidak memobilisasi para syababnya untuk berjihad?
Menyerukan jihad adalah bagian dari amar makruf nahi mungkar. Dalam pelaksanaannya, jihad ada yang bisa dilakukan oleh individu dan kelompok secara langsung. Ada juga yang memerlukan campur tangan negara. Nah, jihad di Gaza yang akan dilakukan oleh warga di luar wilayah Gaza jelas sekali memerlukan campur tangan negara. Siapa yang bisa mengirim tentara, logistik dan persenjataan ke sana? Tentu negara. Negaralah yang memiliki segala hal yang diperlukan untuk jihad seperti personel yang terlatih, logistik dan persenjataan serta alat transportasi untuk mengangkut semua itu ke wilayah jihad. Negara juga yang memiliki kemampuan untuk membuka akses menuju Gaza. Jadi, secara teknis jihad memang tidak mungkin dilakukan oleh kelompok apalagi oleh individu yang tinggal di luar Gaza. Jadi ketika Hizbut Tahrir menyerukan kepada para penguasa negeri Muslim untuk mengirim tentara, itu adalah seruan yang rasional karena memang negaralah yang bisa melakukan hal itu.
Adapun mengenai peran syabab Hizb yang tinggal di luar Gaza, berbagai ikhtiar sudah dilakukan seperti melakukan aksi hingga penggalangan dana. Anggota Hizbut Tahrir yang berada di wilayah Gaza secara personal tentu sudah melakukan apa yang semestinya dilakukan sebagai seorang Muslim pejuang yang tengah berhadap-hadapan dengan musuh.
Apa alasan rasional dan syar’i atas seruan solusi Hizbut Tahrir itu?
Secara rasional, para korban saat ini jelas memerlukan bantuan makanan dan obat-obatan. Namun, secara faktual mereka sesungguhnya juga memerlukan bantuan kekuatan militer guna menghentikan serangan militer Israel. Sederhana saja toh, kekuatan militer tentu harus dihadapi juga dengan kekuatan militer. Bila kekuatan militer Israel tidak segera dihentikan, sama saja kita membiarkan munculnya korban baru, sementara korban lama belum tertangani. Jadi, kalau penguasa negeri-negari Muslim menolak untuk mengirimkan tentara, itu sama saja mereka rela warga Gaza terus dibantai, dan secara tidak langsung itu artinya mereka mendukung kebiadaban Zionis Israel.
Adapun secara syar’i, karena umat Islam adalah bersaudara, wajib bagi kita untuk mengulurkan tangan kepada saudara kita yang tengah dizalimi. Juga jelas sekali, bahwa secara syar’i kita wajib mempertahankan harta, jiwa dan kehormatan serta agama kita dari serangan pihak manapun. Melalui al-Quran Surah al-Baqarah ayat 190 Allah SWT mewajibkan kita membela diri dengan cara balik memerangi siapa saja yang yang memerangi kita. Inilah jihad difa’i atau jihad untuk tujuan mempertahankan diri. Siapa saja yang mati dalam jihad, matinya adalah mati syahid. Inilah setinggi-tingginya derajat kematian. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang menolak solusi jihad. Sudahlah secara rasional cara ini akan menghentikan kebiadaban, andaipun meninggal ia akan mendapatkan ganjaran surga. Jadi, mengapa ditolak?
Masalahnya, di tengah kaum Muslim masih ada kendala nasionalisme, negara bangsa dan adanya para penguasa sekular yang mengabaikan solusi jihad. Bagaimana itu?
Itulah persoalannya. Salah satu yang membuat rapuhnya umat Islam memang adalah keterpecahbelahan umat oleh paham nasionalisme. Menurut Hans Kohn dalam buku Masa Depan Dunia Islam yang ditulis oleh pemikir Muslim terkemuka Ziaudin Zardar, nasionalisme diartikan sebagai keadaan pada individu yang dalam pikirannya ia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air. Paham seperti ini jelas bertentangan dengan akidah Islam yang mengajarkan bahwa pengabdian kita paling tinggi adalah untuk Allah SWT semata.
Secara politis, nasionalisme telah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk memecah-belah wilayah dunia Islam. Setelah runtuhnya Khilafah Utsmani pada 1924, wilayah Dunia Islam yang dulu begitu luas, kemudian dikuasai sebagian oleh Inggris; sebagian lagi oleh Itali, Perancis, Spanyol dan lainnya. Lalu wilayah itu, setelah dikerat-kerat, lantas satu-persatu dimerdekakan. Jadilah negara-bangsa (nation state) seperti yang kita lihat sekarang ini. Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair dan lainnya adalah negara-negara yang muncul setelah tahun 1924 di atas puing-puing wilayah Khilafah Utsmani. Akibat nasionalisme itu, tiap negara hanya mementingkan negaranya masing-masing. Dalam kasus Palestina, setelah Gurun Sinai kembali, misalnya, Mesir merasa tak punya urusan lagi dengan Israel. Begitu juga dengan Yordan, Suriah dan Libanon juga merasa tak lagi berurusan dengan Israel setelah Tepi Barat Sungai Yordan, Dataran Tinggi Golan dan Libanon Selatan masing-masing kembali ke Yordan, Suriah dan Libanon. Walhasil, akhirnya tinggallah Palestina yang ringkih itu; ia sendirian menghadapi Israel yang didukung oleh AS dan negara Barat lain. Akibat nasionalisme, Dunia Islam yang dulu demikian kuat dan disegani, kini menjadi sangat lemah dan rapuh.
Banyak pihak menganggap solusi apapun tanpa restu atau dukungan dari negara besar terutama AS tidak akan bisa jalan?
Dalam sejarahnya Israel memang bisa berdiri berkat dukungan Liga Bangsa-Bangsa dan negara Barat, utamanya Inggris. Jadi, tak aneh bila sekarang mereka terus mendukung negara Zionis itu. Apalagi harus diakui, dengan kekuatan dana, media dan lobi politik, gerakan Zionis kini amat berpengaruh khususnya di AS. Oleh karena itulah, mengharap dukungan negara-negara Barat dalam mencari solusi atas Palestina tak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan. Mustahil.
Maka dari itu, sungguh aneh bila di antara umat Islam masih saja ada yang mengharap belas kasihan dan pengertian negara-negara itu dalam penyelesaian masalah Palestina.
Namun demikian, kita tentu tidak boleh putus asa. Harapan itu jelas masih ada. Kapan? Ketika kita bersatu. Dengan persatuan, kita bakal memiliki kekuatan untuk menghadapi dominasi negara-negara Barat yang zalim itu. Di sinilah pentingnya perjuangan bagi terwujudnya kembali persatuan umat yang hakiki di bawah Khilafah menjadi mutlak adanya.
Apakah potensi kaum Muslim jika dikerahkan di bawah komando Khilafah akan mencukupi?
Sangat cukup. Bahkan lebih dari cukup. Lihat saja, andai dari 1,6 miliar umat Islam sedunia itu ada 1% yang mau menjadi tentara, maka akan terkumpul 16 juta orang. Dengan jumlah sebanyak ini, ditambah dengan persenjataan yang modern dan semangat jihad yang luar biasa, tentu akan menjadi angkatan bersenjata terkuat di dunia dan akan menggetarkan siapa saja yang mencoba-coba untuk bermain-main dengan umat Islam. AS saja sekarang yang dianggap memiliki angkatan bersenjata terkuat di dunia hanya punya 5 juta tentara. Itu pun dengan mentalitas yang amat rapuh. Terbukti di Vietnam, juga di Irak dan Afganistan, mereka keok. Tentara Islam dengan semangat jihad tentu akan menjadi tentara yang akan sangat tangguh. Mereka akan siap melindungi harkat dan martabat umat Islam di manapun berada serta menjaga wilayah Dunia Islam yang aslinya memang sudah sangat luas.
Apa yang bisa dan harus dilakukan sekarang?
Teruslah kita membantu saudara-saudara kita di Gaza dengan dana, makanan dan obat-obatan; juga dengan doa. Namun, jangan berhenti untuk terus menekan pemerintah negeri-negeri Muslim untuk mengirim tentara ke sana. Meski seruan itu tak pernah digubris, kita tidak boleh berhenti karena kalau berhenti maka secara mental kita sudah terkalahkan.
Yang paling penting tentu saja adalah kita tidak boleh berhenti untuk berjuang bagi tegaknya kembali Khilafah. Inilah solusi yang sesungguhnya dari semua kedzaliman yang tengah menimpa umat Islam di berbagai tempat, khususnya di Gaza. Ini pula yang akan mewujudkan kembali izzul Islam wal Muslimin serta mengembalikan posisi umat Islam sebagai khayru ummah. Insya Allah. []