Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 1865 orang korban akibat serangan Israel terhadap Gaza Palestina sejak 7 Juli 2014. Korban luka sejumlah 9563 orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan wanita. Selain korban jiwa, serangan Israel mengakibatkan kehancuran tempat-tempat penting. Sejak agresi militer Israel selama lebih dari sebulan, Zionis Israel telah menghancurkan sekitar 161 masjid di Jalur Gaza. Menteri Wakaf Palestina Yousef Dois melaporkan sekitar 41 masjid hancur total dan 120 masjid lainnya rusak. Sejumlah lembaga keagamaan juga menjadi target serangan Israel yang dilakukan mulai 7 Juli lalu.
Serangan Zionis Israel kali ini dilakukan dengan alasan melindungi rakyat Israel dari serangan roket yang diluncurkan oleh Hamas. Mereka bersikukuh untuk menghancurkan Hamas dan menyerang setiap tempat yang diduga sebagai markas pergerakan Hamas.
Selain serangan yang dilakukan secara konvensional melalui serangan udara dan darat, Israel juga menggunakan senjata-senjata mematikan. Inilah penderitaan amat menyakitkan yang dialami oleh penduduk Gaza. Tak heran, kita setiap hari disuguhi oleh berita-berita yang menyesakkan dada.
Persoalan Agama, Bukan Sekadar Kemanusiaan
Dalam konteks Humanitarian Law, apa yang dilakukan Israel sudah mengusik nilai-nilai kemanusiaan; sudah masuk dalam kategori crimes agains humanity sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Roma.
Namun demikian, kita tidak boleh memandang persoalan Palestina hanya sekadar persoalan kemanusiaan semata. Barat memang telah membuat berbagai regulasi dengan berbagai konvensi internasionalnya untuk menjaga martabat manusia. Namun, international law tidak lepas dari kepentingan negara-negara Barat. Karena itu jika persoalan Palestina dijadikan hanya sebagai persoalan kemanusiaan maka standarnya adalah kemanusiaan versi Barat, yang pada praktiknya tidak luput dari kepentingan dan standar ganda.
Inilah juga yang terjadi di Palestina. Bagaimana bisa, misalnya, Amerika Serikat tetap membela Israel yang telah membunuhi rakyat Gaza? Bagaimana bisa ada demonstrasi di Australia yang menyalahkan Hamas atas apa yang terjadi di Palestina?
Maka dari itu, bagi umat Islam, persoalan Palestina adalah persoalan agama. Persoalan ini harus ditinjau dari bagaimana syariah Islam memberikan solusi atas masalah tersebut.
Dengan menjauhkan persoalan Palestina sebagai persoalan agama, umat Islam merasa bahwa persoalan Palestina bukan lagi urusannya. Tak perlu ada pembelaan dalam kacamata akidah Islam. Lebih jauh, saat ini terjadi pengkerdilan masalah Palestina dari masalah Islam menjadi masalah bangsa Arab saja. Bahkan bangsa Arab pun didorong untuk memandang bahwa masalah Palestina adalah masalah bagi bangsa Palestina saja; bukan masalah bagi Mesir, Yordania, Arab Saudi atau yang lainnya. Pasalnya, prinsip nation-state telah membatasi urusan mereka masing-masing.
Penderitaan Palestina dari Masa ke Masa
Apa yang dialami rakyat Gaza saat ini bukanlah yang pertama. Sejak jatuhnya bumi Palestina dari kaum Muslim, dimulailah penderitaan rakyat Palestina. Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani setelah kalah dalam keterlibatannya pada Perang Dunia I menjadikan tiada lagi institusi negara yang menjadi pembela Palestina.
Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian menjadi Perserikatan Bangsa Bangsa alih-alih menyelesaikan masalah Palestina. PBB malah memberikan sebagian besar wilayah Palestina kepada Israel melalui Resolusi Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1947.
Tidak cukup dengan itu, Israel malah secara sepihak memproklamasikan berdirinya negara Israel pada tahun 1948, yang seketika diakui keberadaannya oleh Amerika Serikat. Jadilah seolah Israel resmi dan diakui oleh dunia internasional.
Berbagai kekejaman Israel terus berlangsung sejak penjajahan Israel terhadap Bumi Palestina. Kekejaman ini menyebabkan terjadinya pengungsian rakyat Palestina untuk menghindari berbagai kekejaman yang dilakukan Israel. Hal ini menjadikan UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) sebagai lembaga PBB yang terlama yang mengurusi pengungsi.
Hingga kini ada lebih dari 1 juta pengungsi yang ditangani oleh UNRWA akibat kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina. Untuk serangan ke Gaza terakhir saja, jumlah pengungsi di Gaza akibat serangan Israel meningkat menjadi 440 ribu orang. Dengan jumlah pengungsi sebanyak itu, PBB membutuhkan dana sebesar 369 juta US$ atau setara Rp 4,34 Triliun. Para pengungsi ini akan ditampung di 86 lokasi pengungsian yang keadaannya juga tidak aman dari serangan Israel.
Berbagai serangan sepihak dari Israel untuk memperluas wilayahnya di Palestina terus dilakukan. Beberapa yang menjadi catatan dunia internasional antara lain: keganasan tentara teroris Israel pada tragedi 30 September 2000 yang dipicu oleh kedatangan mantan Menteri Pertahanan Ariel Sharon ke tempat suci ketiga kaum Muslim, yaitu Masjid al-Aqsha yang ada di Baitul Maqdis (Yerusalem); kejadian pada bulan September 1996 ketika tentara Israel menewaskan 71 orang Palestina yang memprotes penggalian terowongan di bawah Masjid al-Aqsha; kejadian pada Ramadhan 1994 saat seorang Yahudi Baruch Goldstein memberondong jamaah shalat subuh di Masjid Ibrahim di Hebron dan menewaskan 29 orang. Pada Oktober 1990 tentara Israel juga membantai 18 orang yang shalat di Masjid al-Aqsha dan melukai 150 orang lainnya.
Ketika Intifadah mencapai tahun kelima akhir 1991, Pusat Informasi HAM Palestina di Jerusalem dan Chicago melaporkan statistik kumulatif: 994 pembunuhan atas orang Palestina oleh pasukan Israel; 119.300 orang terluka; 66 deportasi; 16.000 penahanan administratif; 94.830 penyitaan tanah; 2.074 penghancuran dan penyegelan rumah; 10.000 jam malam terus-menerus atas wilayah dengan penduduk lebih dari 10.000 orang; dan 120.000 pencabutan pohon-pohon dari akarnya.
Itu sebenarnya hanyalah beberapa bagian dari bagian panjang pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran, perampokan dan berbagai kebiadaban yang dilakukan oleh Yahudi Israel sejak tahun 1920-an.
Dukungan Amerika Serikat dan Barat
Israel menantang international regime yang selama ini menjadi panduan interaksi international community. Kekejaman Zionis Israel didukung oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Bila merunut perjalanan sejarah, hal ini tidak mengherankan. Pasalnya, Inggrislah yang membidani lahirnya Israel, serta Amerika Serikatlah yang membesarkan dan menjaga Israel hingga kini.
Dalam serangan Israel terhadap Gaza Palestina terakhir ini, Presiden AS Barack Obama menganggap apa yang dilakukan Israel adalah hak untuk mempertahankan diri. AS selalu mendukung penuh sikap Israel. Terbukti, AS senantiasa memveto setiap rencana Dewan Keamanan PBB untuk menyerukan genjatan senjata. Apalagi bila resolusi tersebut dianggap merugikan Israel.
Tidak hanya itu. AS juga mengirim persenjataan canggih untuk mendukung serangan Israel. Sejumlah pejabat AS mengungkapkan bahwa sejak pemerintahan Bush, AS memutuskan untuk mengirimkan bom-bom berpresisi tinggi untuk membantu Israel menghadapi serangan roket dari Hamas.
PBB dan OKI Mandul
Serangan Israel ke Gaza Palestina tidak hanya menyasar pejuang Hamas dan tempat-tempat yang diduga sebagai markas mereka, namun juga sekolah milik PBB. Sekolah PBB di Jabaliya yang juga dijadikan tempat penampungan pengungsi menjadi sasaran serangan Israel. Sedikitnya 15 orang tewas di tempat itu.
Terkait hal tersebut, Dewan HAM PBB (United Nations Human Right Commitee) telah mengeluarkan resolusi untuk memulai penyelidikan atas serangan Israel di Gaza. Dari 46 negara anggota hanya 24 negara yang setuju dan 17 abstain (semuanya adalah negara-ngara Eropa). Satu-satunya yang menentang adalah Amerika Serikat.
Dewan Keamanan PBB juga telah menerbitkan resolusi untuk Israel dan Palestina agar mereka menghentikan serangan dalam rangka kemanusiaan dan menghormati Idul Fitri. Namun demikian, resolusi ini tidak memiliki ketegasan dan kekuatan hukum untuk menghentikan agresi Israel di Gaza.
Sekalipun demikian, PBB, yang katanya sangat menjunjung tinggi HAM, ternyata tidak berani mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan negara agresor dan Zionis Yahudi Israel itu. PBB sulit bersikap tegas terhadap Israel karena Amerika Serikat memiliki dominasi di organisasi internasional tersebut.
Yang memprihatinkan adalah apa yang ditunjukkan oleh organisasi internasional yang anggotanya adalah negeri-negeri Muslim seperti Organisasi Kerjasama Islam atau Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sikap Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tidak berubah dengan sikap sebelumnya bila terjadi serangan Israel terhadap Palestina. Mereka hanya menyuarakan keprihatinan mendalam, mengutuk dan menyerukan bantuan bagi korban Gaza. Demikianlah sebagaimana yang diungkapkan oleh Sekjen OKI Iyad Madani. Tidak ada mobilisasi opini politik bagi Dunia Islam, apalagi menggalang kekuatan secara militer di kalangan anggota-anggota OKI untuk dapat menghentikan serangan Israel bahkan sampai mengenyahkan pendudukan Israel terhadap bumi Palestina.
Para Penguasa Muslim Diam
Apa yang menjadi sikap OKI mencerminkan sikap negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim. Tidak ada sikap keras yang ditunjukkan oleh para pemimpin negeri Muslim tersebut. Mereka hanya menunjukkan keprihatinan, mengutuk dan paling banter menggalang bantuan bagi korban Gaza. Padahal bantuan itu pun hanya sebatas retorika belaka. Pasalnya, untuk dapat mengirimkan bantuan ke Gaza pastinya terkendala dengan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.
Kondisi ini tentu akan membuat makin banyak umat Islam tidak percaya kepada lembaga-lembaga dunia seperti PBB dan OKI, termasuk kepada para penguasa negeri Islam yang tidak melakukan aksi yang nyata. Sangat mengherankan melihat para penguasa Timur Tengah dan negeri Islam lain diam. Padahal di depan mata mereka telah terjadi pembunuhan dan pembantaian terhadap umat Islam.
Pengkhianatan negara Arab juga telah menjadi penyebab tanah-tanah Palestina maupun negeri Arab lainnya dirampas oleh Israel dengan mudah, tanpa ada perlawanan yang berarti.
Direkayasa pula berbagai perang dengan Israel. Tujuannya antara lain untuk menunjukkan kehirauan rezim Arab tersebut terhadap Palestina. Kenyataan sebenarnya adalah pengkhianatan.
Sebenarnya tidak pernah terjadi perang yang habis-habisan. Empat perang yang pernah terjadi 1948, 1956, 1967, 1975, semuanya berakhir cepat dan dihentikan dengan intervensi internasional. Wilayah kaum Muslim pun diserahkan kepada Israel dengan alasan kalah perang. Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel tanpa berperang. Pada tahun yang sama Gamel Abdul Nasser menyerahkan Gurun Sinai dan Jalur Gaza. Hafedz Assad dari Suriah menyerahkan Dataran Tinggi Golan.
Kemunculan Palestine Liberation Organization (PLO) justru dibentuk atas rekayasa Amerika Serikat dalam Konferensi Liga Arab di Kairo tahun 1964. Tujuannya adalah untuk mengalihkan perjuangan pembebasan Palestina dari perjuangan Islam dan bangsa Arab menjadi persoalan bangsa Palestina saja.
Penandatanganan Perjanjian Camp David pada 17 September 1978 alih-alih menghentikan perang dengan Israel, malah mengakui keberadaan negara Israel, yang artinya mengakui penjajahan Israel atas Palestina.
Akhirnya, seolah upaya untuk membebaskan Palestina ini kemudian berhenti setelah Kesepakatan Osloantara PLO dan pihak Zionis Israel terjadi. Ini terjadi setelah PLO mengurangi kewajibannya atas Palestina yang diduduki sejak tahun 1948, juga setelah perundingan dengan Yahudi dimulai pada tahun 1967 di seputar wilayah pendudukan, yang tidak sampai melebihi seperlima bagian wilayah Palestina. Setelah itu pihak ‘penguasa’ Palestina rela atas bagian dari seperlima itu. Padahal orang-orang Yahudi sendiri tidak merelakannya. Fenomena ini hanya menunjukkan makin bertambahnya penghinaan dan pelecehan atas bangsa Palestina dan kaum Muslim.
Akar Penyebab Persoalan Palestina
Masalah Palestina dimulai saat Zionis Israel mendirikan negara di bumi Palestina dengan merampas tanah kaum Muslim. Menyusul perampasan itu adalah pengusiran penduduk Palestina dari daerahnya sendiri. Inilah yang tidak boleh kita lupakan.
Krisis ini dimulai karena Israel yang didukung Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat, merampas tanah kaum Muslim. Karena itu masalah Palestina bukanlah persoalan bagaimana Israel mempertahankan negaranya, atau bagaimana Israel menjamin keamanan nasionalnya, atau melindungi warganya, salah satunya dari serangan Hamas; sebagaimana yang terus diopinikan saat ini.
Ada semacam asumsi keliru yang dibangun media massa Barat dalam memberitakan krisis Palestina sehingga apapun yang dilakukan Israel menjadi lebih mulia, wajar dan bisa diterima. Dengan demikian tindakan Israel dianggap merupakan tindakan negara mempertahankan keamanannya yang terancam. Israel kemudian menjadi sah melakukan apa saja dengan alasan demi keamanan negara. Menahan orang-orang Palestina tanpa prosedural hukum, menyiksa tahanan, menembak mati pelaku intifadah, menghancurkan rumah-rumah orang Palestina, menutup perbatasan dan lain-lain seolah bisa diterima. [Dari berbagai sumber] [H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; (Lajnah Khusus Intelektual DPP Hizbut Tahrir Indonesia; Dosen Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM Bandung; Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran)]