Siapa yang tak tahu Palestina? Kota yang dulu menjadi salah satu pusat peradaban, saat ini dalam kondisi terkerat-kerat dan porak-poranda. Kota yang dulunya menjadi mercusuar keagungan Islam, kini hanya untuk menampakkan identitas Islam saja penduduknya harus meregang nyawa. Kota yang dulu pernah menjadi saksi bagaimana jaminan Islam diberikan kepada kaum Kristen untuk meninggalkannya dengan damai dan tanpa ketakutan, kini berubah menjadi penjara kota yang mengerikan. Kota yang dulu memancarkan kedamaian dan kesejahteraan dalam naungan Islam, kini mencekam karena teror pembunuhan yang mengancam tiap detiknya bagi penduduknya. Itulah sebagian kecil potret dari Palestina. Kota suci dan disucikan oleh Islam, kini terhinakan.
Palestina, saat Rasulullah saw. memulai dakwah dan mendirikan Negara Islam di Madinah, masih berada di bawah kekuasaan Romawi. Bangsa Yahudi terus merembes ke Semenanjung Arabia (di antaranya di Khaibar dan sekitar Madinah), kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang Romawi melawan Persia. Orang-orang Nasrani Romawi telah menjadikan Baitul Maqdis sebagai tempat pembuangan sampah sebagaimana orang-orang Yahudi mengotori al-Qamamah tempat orang yang menyerupai Isa disalib. Orang Nasrani menjadikan kiblat orang Yahudi menjadi lubang sampah, sebagai balasan perbuatan orang-orang Yahudi terhadap mereka pada waktu lampau.
Bumi yang diberkahi oleh Allah ini pun kemudian berupaya untuk ditaklukkan oleh kaum Muslim. Ketika Abu Ubaidah selesai menaklukkan Damaskus, dia segera menulis surat kepada penduduk Illiya yang berada di Baitul Maqdis agar mereka memeluk agama Allah dan masuk Islam, atau mereka membayar jizyah. Jika tidak, mereka akan diperangi. Namun, mereka enggan menerima tawaran itu. Akhirnya, Abu Ubaidah segera mengerahkan segenap pasukannya untuk menyerbu mereka. Dia menunjuk Said bin Zaid sebagai pimpinan sementara di Damaskus. Setelah itu dia mulai mengepung Baitul Maqdis. Akhirnya, mereka terjepit dan meminta damai, dengan syarat, yang datang langsung adalah Amirul Mukminin Umar bin al- Khaththab. Abu Ubaidah segera menuliskan surat kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab. Khalifah Umar ra. langsung mengumpulkan para Sahabat untuk bermusyawarah.
Utsman ra. menyarankan agar Khalifah Umar ra. tidak pergi memenuhi tuntutan tersebut agar mereka semakin terhinakan. Namun, Ali menyarankan agar Khalifah Umar ra. memenuhi permintaan mereka untuk datang ke Baitul Maqdis. Hal ini pasti akan lebih meringankan pasukan Islam yang telah bersusah-payah mengepung mereka, namun tidak berhasil menaklukkannya hingga kini. Akhirnya, Khalifah Umar ra. cenderung memilih pendapat Ali.
Saif bin Umar menyebutkan dalam riwayatnya bahwa Umar ra. menaiki kudanya dari Madinah agar segera sampai ke Baitul Maqdis setelah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti sementara di Madinah. Khalifah Umar ra. berjalan hingga sampai di Jabiyah. Dia telah menulis surat kepada para panglima pasukan untuk bertemu dengan beliau pada hari yang telah ditentukan di Jaabiyah. Akhirnya, mereka bertemu di sana.
Setelah berdiskusi dengan seluruh panglima pasukan dan memberikan arahan, Khalifah Umar ra. terus berjalan hingga membuat perdamaian dengan warga Nasrani di Baitul Maqdis. Khalifah Umar ra. mengisyaratkan kepada mereka untuk mengusir semua orang Romawi dalam tempo tiga malam. Setelah itu Khalifah Umar ra. memasuki Baitul Maqdis. Beliau masuk ke Masjid dari arah Rasulullah saw. masuk ketika Peristiwa Isra’ Mi’raj. Ada yang menyebutkan bahwa Khalifah Umar ra. mengucapkan talbiyah ketika memasuki Baitul Maqdis, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat di dekat Mihrab Dawud. Beliau pun sempat mengerjakan shalat subuh di sana bersama seluruh kaum Muslim. Khalifah Umar ra. segera menulis surat jaminan keamanan dan perdamaian untuk penduduk Baitul Maqdis, dengan konsekuensi, mereka harus membayar jizyah. Khalifah Umar ra. juga memberikan persyaratan kepada mereka sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Jarir.
Kota Baitul Maqdis telah ditaklukkan oleh kaum Muslim pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab al-Faruq secara damai pada tahun 638 Masehi atau 18 Hijrah. Baitul Maqdis pernah juga dikuasai secara bergantitian antara kaum Muslim dan kaum salib. Kaum salib berhasil menduduki kembali Baitul Maqdis pada saat kaum Muslim sedang lengah pada tahun 1098 Masehi atau 492 Hijrah. Kemudian pada tahun 1188 Masehi, Baitul Maqdis kembali ditaklukkan oleh panglima Islam Shalahuddin al-Ayyubi, kemudian dikuasai lagi oleh kaum salib dari Raja Al-Kamil pada tahun 1228 Masehi. Lalu kaum Muslim kembali menguasai Baitul Maqdis pada tahun 1239 Masehi oleh An-Nashir al-Ayyubi. Kemudian sekali lagi Baitul Maqdis kembali dikuasai oleh kaum salib pada tahun 1243 Masehi berlalu waktu satu tahun. Yang terakhir, ia dikuasai oleh kaum Zionis Salibisme setelah penyerbuan 1967 Masehi.
Ide mendirikan negara Yahudi dalam perkembangan gerakan Zionis sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Theodore Herzl. Dalam tulisannya, Der Jadenstaat (Negara Yahudi), dia mendorong organisasi Yahudi dunia untuk meminta persetujuan Khilafah Usmani sebagai penguasa di Palestina agar diizinkan membeli tanah di sana.
Theodore Herzl menggelar Kongres Zionis sedunia di Basel Swiss. Peserta Kongres I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa umat Yahudi tidaklah sekadar umat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi umat Yahudi—walaupun secara rahasia—pada “tanah yang bersejarah bagi mereka”. Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah protektorat Uganda atau di Amerika Latin! Di kongres itu, Herzl menyebut, Zionisme adalah jawaban bagi “diskriminasi dan penindasan” atas umat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun.
Pada tahun 1901, pendiri gerakan Zionis, Theodor Hertzel, mengunjungi Istanbul dan berupaya menemui Khalifah, tetapi hanya diterima Ketua Dewan Menteri. Theodor Hertzel menawarkan bantuan kepada Khilafah Islamiyah sabagai berikut: (1) Membayarkan lunas utang Khilafah Islamiyah; (2) Membangun Angkatan Laut Khilafah Islamiyah; (3) Uang 35 juta Lira Emas tanpa bunga untuk kesejahteraan Khilafah Islamiyah.
Konsekuensi dari tawaran tersebut adalah: (1) Mengizinkan orang Yahudi berkunjung ke Palestina sembarang waktu mereka inginkan dan bermukim selama mereka inginkan “berziarah ke tempat-tempat suci”; (2) Mengizinkan orang Yahudi membangun pemukiman dan mereka menginginkan lokasi dekat dengan Yerusalem.
Khalifah menolak tawaran Hertzel tersebut. Beliau menyuruh Ketua Dewan Menteri untuk menyampaikan pesan Khalifah:
Nasihati Mr. Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.
Kaum Yahudi hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya ambisi politik (lihat: Palestine and The Arab-Israeli Conflict, 2000: 95).
Perjanjian rahasia Sykes-Picot oleh sekutu (Inggris, Prancis dan Rusia) saat meletusnya Perang Dunia (PD) I pada tahun 1916 digagas untuk mencengkeram wilayah-wilayah Arab dan Khalifah Utsmaniyah serta membagi-bagi di antara mereka. PD I berakhir dengan kemenangan sekutu. Turki Utsmani termasuk dalam pihak yang kalah. Akhirnya, Inggris mendapat kontrol atas Palestina. Dalam PD I ini, wilayah Turki Ustmani dikerat-kerat sesuai dengan isi Perjanjian Sukes-Picot. Inilah yang kemudian semkain membuat kekuatan Khilafah semakin pudar dan hancur. Tidak bisa menjaga lagi Bumi Palestina.
Pada tahun 1917 Menlu Inggris keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, dalam Deklarasi Balfour memberitahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina dalam membantu pembentukan tanah air Yahudi. Lima tahun kemudian, Liga Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) memberikan mandat kepada Inggris untuk menguasai Palestina.
Tahun 1944, Partai Buruh Inggris yang sedang berkuasa secara terbuka memaparkan politik: “membiarkan orang-orang Yahudi terus masuk ke Palestina jika mereka ingin jadi mayoritas. Masuknya mereka akan mendorong keluarnya pribumi Arab dari sana.” Kondisi Palestina pun memanas. [Gus Uwik]